Narasi

Membongkar Pesan Damai dalam Kurban

Ibadah Kurban tidak hanya dimanifestasikan sebagai ritual menyembelih sapi, kambing atau pun domba guna memperoleh dagingnya.Ibadah kurban juga tidak hanya dimaknai sebagai sarana untuk memuaskan perut. Lebih dari itu, ibadah kurban bisa ditransformasikan untuk memperkuat tali persaudaraan dan perdamaian. Ibadah kurban sejatinya sebagai ekspresi anti-egoisme dan sikap arogan. Sikap manusia yang rakus, amarah, mentalitas temperamen, dikikis melalui kurban agar tetap berada di jalur perdamaian.

Perjalanan Nabi Ibrahim yang mengikhlaskan anaknya dikurbankan menjadi narasi sahih bagaimana klimaks perintah Allah dilaksanakan. Nabi Ibrahim secara sukarela dan ikhlas mengorbankan Ismail, putera satu-satunya yang sekaligus yang disayang.Melalui mimpi yang terus berulang, akhirnya Ibrahim melaksanakan perintah-Nya.

Perintah Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail merupakan ujian terberat. Bagi Ibrahim, Ismail tidak hanya laki-laki yang dilahirkan ke dunia. Namun merupakan anak idaman yang telah lama diiginkan oleh Siti Hajar. Namun karena kesalehan Ibrahim terhadap Allah, ia ikhlas mengorbankan anaknya. Inilah yang menjadikan ujian bagi Ibrahim sekaligus lompatan besar keimanan kepada Allah. Singkatnya, Ismail diganti dengan Domba.

Di tengah krisis identitas dan  hampa perdamaian yang melanda bangsa ini, momentum kurban bisa menjadi pelecut untuk menyatukan kembali nilai-nilai persaudaraan. Anti-kedamaian akhir-akhir ini yang menjadi panglima di tengah-tengah masyarakat, tidak hanya terjadi antar beda agama. Melainkan sesama agama saling bermusuhan. Kita sering melihat orang sesama agama, namun berbeda pandangan, dan argumentasi, akhirnya saling bermusuhan. Padahal, agama mana pun termasuk agama Islam tidak mengamini sikap permusuhan.

Maka, kurban menjadi jawaban untuk  menghilangkan permusuhan karena adanya perbedaan pandangan. Bagi yang mapan secara ekonomi, perayaan kurban menjadi momentum untuk menjadi katalisator perdamaian. Dalam artian, mereka bersatu pada melaksanakan kurban tanpa melihat identitas, strata sosial, dan ekonomi. Inilah yang sesungguhnya nilai-nilai dalam kurban diperlukan ketika masyarakat yang plural dalam keadaan krisis identitas.

Dalam Alquran, Allah SWT memerintahkan kepada hamba-Nya untuk mendirikan shalat dan berkurban (surat al-Kautsar Ayat1-2), firman Allah tersebut menegaskan kepada seluruh umat Islam untuk melaksanakan kurban bagi yang kuat secara finansial. Bagi yang kurang mampu, mereka dapat membantu dengan tenaga. Mereka saling bersatu padu melaksanakan kurban. Di sinilah kemudian kurban termanifestasi dalam perdamaian karena bergandengan tangan. Ini juga selaras dengan apa yang dikatakan oleh Abdullah Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an; Translation andf commentary, bahwa ibadah kurban memiliki makna spiritual dan berdampak terhadap kehidupan sosial.

Dalam konteks perdamaian, ibadah kurban merupakan jihad melawan keegoisan. Ketika nilai-nilai ego, sarkastis, anarkistis, dan mementingkan diri sendiri menguasai manusia, kurban hadir sebagai upaya untuk menghancurkan kehidupan yang penuh dengki, konflik dan perpecahan. Dengan berkurban, kita merasa satu rasa dengan yang fakir. Kita saling merasakan bagaimana pola hidup bermasyarakat. Yang miskin dapat bercengkerama dengan si kaya. Tidak ada sekat pembatas antara si Kaya dan Si miskin.

Melaksanakan kurban juga tidak hanya sebagai upaya menghilangkan nyawa hewan. Melainkan mengubur semua perilaku yang tidak berkemanusiaan. Imam Ghazali dalam bukunya yang berjudul Ihya al-Ilmu ad-Din pernah mengatakan bahwa menyembelih kurban sama saja kita dengan menyembelih sikap kehewanan kita. Untuk itu, berkurban merupakan sarana untuk meningkatkan kepekaan kita dan tidak egois seperti hewan. Sikap kita yang seperti binatang, tidak mau mengalah, menebar pertengkaran, diharapkan mati dan hilang.

Akhirnya, banyak sekali makna yang dapat di ambil dalam narasi berkurban. Di antara hikmah-hikmah yang terkandung dalam kurban tersebut, menyemai perdamaian menjadi salah satu hal yang niscaya. Ibadah kurban menjadi sarana integral untuk meningkatkan tali persaudaraan dan silarurahmi antar sesama, baik sesama agama maupun beda agama.

Aminuddin

Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan aktif menulis di berbagai media massa lokal dan nasional

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

7 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

7 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

7 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

7 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago