Wajah media sosial kita seharusnya penuh dengan kedamaian dan cinta. Media sosial harus jadi perekat kemanusian antara sesama. Akan tetapi, dalam realitasnya, wajah media sosial kita penuh dengan debu kotor. Debu kotor itu berbentuk ujaran kebencian, konten rasisme, intoleransi, paham-paham radikal, hoax, dan sederet konten yang bermuatan negatif lainnya. Buruknya wajah media sosial kita memang tak lepas dari sifatnya sendiri yang bersifat maya. Karena bersifat maya, akibatnya setiap orang bisa lebih leluasa dan bebas bersuara. Kebebasan bersuara ini dalam beberapa kasus justru terperosok ke dalam suatu yang menimbulkan kebencian dan dis-hormonisasi.
Wajah ini perlu dibersikan segera, jika tidak ia akan merusak muka bangsa ini sebagai bangsa dan negara yang berdaulat. Membiarkan wajah medsos kita terus menerus diterpa debu-debu kotor, sama dengan membiarkan wajah dan masa depan bangsa ini buram. Dalam konteks ini, salah satu cara untuk menghilangkan debu-debu yang mengurita ini adalah dengan cara memolesnya.
Memoles di sini maksudnya adalah mempercantik, merawat, memberikan hiasan, dan konten tandingan. Di sini penulis menawarkan dua acara memoles media social. Pertama, opensif, artinya memberikan perlawanan terhadap konten-konten yang memperburuk wajah media sosial kita. Kedua, defensif, maksudnya meminimalisir atau setidaknya menyaring konten-konten kebencian.
Menebarkan Konten Kedamaian dan Cinta
Cara opensif di sini adalah dengan memberikan perlawan sebagai konten tandingan terhadap konten yang memperburuk wajah media sosial. yakni menebarkan konten-konten kedamaian dan cinta kasih. Konten seperti ini perlu diperbanyak dan disebarluaskan. Dengan begitu sendirinya akan mempengaruhi netizen di dunia maya.
Baca juga : Jihad Modern; Membanjiri Sosmed dengan Pesan Cinta dan Damai
Tak jarang masifnya konten-konten negatif yang menyebabkan buruknya wajah medsos kita tak lepas kerena minimnya konten tandingan. Ibarat makan, warga netizen hanya diberikan satu pilihan, yakni konten kebencian, intoleransi, rasisme, radikalisme, dan semacamnya, dan tidak ada pilihan lain, kalau pun ada, kalah banyak dari konten positif. Akibatnya mau tidak mau, sang netizen dengan sendirinya –dipaksa atau tidak –akan mengkonsumsi konten yang tersedia. Akan tetapi, jika ada konten tandingan –berupa kedamaian dan cinta kasih –maka sang netizen dengan sendirnya akan punya pilihan alternatif untuk dikonsumsi.
Di sisi lain, Saring Sebelum Sharing sebagai metode defensive bias digunakan. Saring dimaksud di sini adalah sikap selalu memverifikasi, mengkonfirmasi, melakukan check and rechek, bersikap skeptisme sebelum menanggapi suatu konten di medsos. Sikap ini perlu dianut dan diamalkan oleh seluruh netizen. Karena seperti sering diungkapkan, hate speech –hoax termasuk di dalamnya –dirancang oleh segelintir orang penipu, disebar oleh pembenci, kemudian dipercaya oleh orang dungu. Dengan melakukan Saring (baca: penyaringan), itu artinya kita telah lepas dari kebodohan dan sudah ikut menyelamatkan kedamaian, keharmonisan dan kewarasan di media sosial. Di sinilah letak netizen cerdas.
Saring juga dengan sendirinya menyelamatkan netizen dari pemelintiran yang terjadi di media sosial. Studi terakhir menunjukkan, bahwa banyaknya kegaduhan dan kebencian di media sosial tidak lain dari banyak pemelintiran konten di medsos. Dengan melakukan Saring, akan menghilangkan –setidaknya meminimalisir –pemelintiran.
Demikian juga, sikap Saring ini bisa diaplikasikan apakah betul suatu konten, baik itu berita, informasi, maupun pernyataan bersumber dari akun asli/resmi. Banyaknya penyebar kebencian, baik itu lewat kolom komentar Facebook, group-group on-line, cuitan di linimasa Twitter, Instagram, dan seterusnya, justru muncul dari akun-akun fiktif. Akun-akun fiktif ini dalam banyak kasus dikerahkan oleh segelintir orang dengan motif tertentu. Tak jarang motif itu adalah kepentingan politik dan bisnis. Dengan melaksanakan Saring, netizen bisa dengan sendirinya tahu, mana akun yang asli, mana yang fiktif.
Bila Saring di atas diarahkan kepada pengguna medsos, maka Saring juga bisa diarahkan kepada pelaku kepada penyebar konten negatif. Dalam hal ini, Damar Junarto selaku Farum Demikrasi Digital, menyatakan ada beberapa kunci dalam menangkal konten negatif ketika menemukannya di media sosial. Yakni, memberikan informasi kepada orang yang bersangkutan, bahwa konten yang dia tulis itu mengandung unsur negatif yang akan menyulut kemarahan. Ini bisa dilakukan, ketika ada sikap Saring.
Selain itu, cara mengingakat pelaku, bahwa apa yang dia lakukan bisa dijerat UU ITE dan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Diskriminasi Rasial. Bila kedua cara ini belum juga digubris, maka sebagai netizen cerdas kita wajib melaporkan dan memastikan bahwa orang lain juga tahu bahwa akun ini adalah penyebar kebencian. Ulasan di atas menunjukkan bahwa, Saring sebelum mengambil dan memvonis sesuatu di media sosial sangat memberikan efek dalam menangkal kebencian. Dengan membiasakan Saring, maka kebencian dengan sendirinya akan hilang.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…
View Comments