Narasi

Memproduksi dan Mengkonsumsi Isu PKI sebagai Tolak Ukur Kegagahan Rasa Keindonesiaan Kita?

Sebenarnya produksi dan konsumsi masyarakat terhadap isu PKI bukanlah hal yang baru. Bahkan isu ini kerap membanjiri lini massa seperti di media sosial dan ruang publik lainnya. Tidak hanya ketika di bulan September saja isu ini menggelinding begitu deras di tengah-tengah masyarakat, melainkan pada momen-momen pilkada atau pilpres isu ini juga santer dimunculkan (kembali) oleh pihak tertentu.

Fenomena itu lantas memberikan gambaran kepada rakyat Indonesia bahwa PKI masih (belum) mati. Tak ayal jika sebagian rakyat Indonesia meyakini bahwa paham komunis masih ada dan semua itu harus diwaspadai serta dicemaskan. Dari sini pula, isu PKI menjadi perkara yang sangat sensitif dan mengundang emosi banyak orang.

Lebih-lebih ada ormas yang gemar mengaitkan beberapa peristiwa seperti penyerangan ustad di berbagai tempat termasuk yang terakhir menimpa Syekh Ali Jaber, dengan komunisme. Ia menilai bahwa penyerangan semacam itu kerap dilakukan oleh komunisme dalam rangka menumpas ustadz dan ulama, yang memang pada peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965 simpatisan PKI banyak menyerang bahkan menghabisi nyawa para kyai, ustadz, dan ulama.

Memang, tidak ada yang dapat memungkiri bahwa PKI pernah menorehkan luka begitu dalam bagi seluruh bangsa ini karena pernah mencoba melakukan pemberontakan dengan cara menumpahkan darah, menghabisi kyai, tokoh bangsa dan elemen masyarakat yang menentang PKI pada waktu itu. Mengenang peristiwa berdarah ini sah-sah saja. Bahkan sudah seyogyanya masyarakat Indonesia mengenang kekejaman PKI.

Namun yang menjadi persoalan adalah, isu PKI ini seringkali dijadikan alat oleh kelompok tertentu untuk menggerus suara dan pengaruh kelompok lain yang tak sejalan dengan mereka. Dan masyarakat memang sangat doyang terhadap isu kebangkitan PKI.

Padahal, ideologi PKI ini sudah lama mati. Bahkan generasi saat ini sudah tidak cukup bergairah untuk membawa komunisme kembali ke ranah politik (Rahadian, 2020). Selain tidak memungkinkan karena hukum di negeri ini sudah sangat tegas mematikan gerak langkah PKI. Pun jika ditinjau dari karakter asli orang Indonesia, PKI sesungguhnya tidak akan berkembang di negeri yang sangat kental dan memegang teguh nilai-nilai agama.

Masa Depan Narasi PKI

Mewaspadai PKI termasuk sikap yang harus terus disematkan dalam diri rakyat Indonesia. Namun, memproduksi dan mengkomsumsi isu PKI untuk kepentingan praktis kelompok tertentu, patut dihentikan. Masyarakat harus mulai kritis; kapan harus waspada terhadap PKI dan segera sadar jika ada kelompok yang menunggangi isu PKI untuk memuluskan kepentingan pragmatis mereka.

PKI memang identik dengan gerakan politik yang bar-bar, memusuhi ulama atau tokoh agama karena mereka anti-agama. Oleh oknum tertentu, karakter ‘sengkuni’ yang melekat pada simpatisan PKI ini dikemas sedemikian rupa sehingga ketika seseorang berbicara tentang kebangkitan PKI dan ia menentangnya dengan lantang, maka seolah ia sudah melakukan sesuatu yang besar, gagah. Sehingga, mengkonsumsi dan memproduksi isu PKI dijadikan sebagai tolak ukur kegagahan rasa keindonesiaan.

Seolah kalau sudah mengutuk dan menyebarluaskan berita tentang PKI, rasa keindonesiaan kita belum sempurna. Hal inilah yang kemudian menjadikan isu PKI ditanggapi oleh masyarakat dengan cara berlebihan. Selama isu PKI dihembuskan, ternyata pendukung komunis tidak bisa menampakkan batang hidungnya. Para pengamat lantas mengistilahkan isu PKI di masa saat ini sebagai sebuah hantu, yang keberadaannya seringkali tak ada namun mampu membuat efek takut masyarakat.

Tolak Ukur Ke-Indonesiaan Kita

Tak dapat disangkal bahwa sikap kita yang anti terhadap PKI merupakan salah satu bentuk atau tolok ukur kegagahan ke-Indonesiaan kita. Sebab, sikap anti-PKI ini sama halnya mengamalkan butir Pancasila yang pertama. Namun demikian, tidak sepatutnya isu PKI disikapi berlebihan sehingga membuat lupa akan hal lain yang lebih prinsipil.

Lantas, sesungguhnya apa tolak ukur ke-Indonesiaan kita? Tentu jawabannya sangat beragam, tergantung perspektif apa yang akan kita gunakan dalam menjawab pertanyaan tersebut. Pada uraian ini, penulis akan mengupasnya dalam perspektif nilai-nilai kewarganegaraan.

Bukan seberapa sering kita memproduksi dan mengkonsumsi isu kebangkitan PKI yang dapat menjadikan kita gagah dan termasuk warga negera Indonesia sejati, melainkan seberapa besar kontribusi kita terhadap beberapa hal berikut ini.

Pertama, mewujudkan kerukunan. Isu PKI yang seringkali dialamatkan kepada kelompok tertentu untuk menjatuhkan dan menggerus pengaruh lawan politik ujung-ujungnya akan menghasilkan adanya polarisasi di masyarakat. Dan polarisasi ini akan mengarah pada disintregasi bangsa sehingga dapat merobohkan kerukunan di bumi pertiwi. Dengan tidak turut serta dalam kegiatan atau langkah yang mengarah pada tercerabutnya kerukunan antar anak bangsa, sesungguhnya kita dapat dikatakan sebagai pahlawan bangsa dan ini sangat gagah sekali.

Kedua, menjunjung tinggi toleransi. Khazanah budaya kita telah memiliki tradisi toleransi. Tradisi ini terekam dengan apik dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa yang merupakan seloka Empu Tantular dalam kitan Sutasoma. Dalam kitab ini, Empu Tantular memberikan makna toleransi yang sangat mendalam, yaitu kemajemukan hakikatnya satu, karena tidak ada kebenaran yang mendua. Jadi, meskipun kita beda pilihan politik, tidak sepatutnya memainkan isu PKI untuk menjatuhkan lawan. Kemajemukan atau lawan politik kita adalah kawan dalam urusan kebangsaan.

Ketiga, menggeliatkan kembali budaya gotong royong. Jangan bertepuk dada sembari mengatakan pada dunia bahwa kamu warga negara Idonesia yang baik jika mainanmu hanya itu-itu saja (isu PKI). Kuatnya isu PKI, penetrasi budaya Barat menggerus budaya gotong royong. Padahal, budaya ini merupakan budaya unggulan bangsa Indonesia. Jika ketiga nilai kebangsaan di atas masih belum menarik perhatian kita, maka kegagahan ke-Indonesiaan kita tidak akan ternilai. Bahkan yang ada adalah kita turut mempercepat kegagalan Indonesia. Oleh sebab itu, stop mengkonsumsi dan memproduksi isu Pki secara berlebihan. Gunakan waktu dan tenaga kita untuk hal-hal yang positif dan memiliki dampak besar bagi

This post was last modified on 6 Oktober 2020 10:03 AM

Kumarudin Badi’uzzaman

bergiat di Bilik Literasi, Peradaban dan Keragaman Nusantara (BiLadena) Jakarta

Recent Posts

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

23 jam ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

23 jam ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

1 hari ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

1 hari ago

Jaminan Hukum Kebebasan Beragama bisa Menjamin Toleransi?

Indonesia, dengan kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan yang beragam, seharusnya menjadi contoh harmoni antar umat…

2 hari ago

Mencegah Persekusi terhadap Kelompok Minoritas Terulang Lagi

Realitas kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi fondasi untuk memperkaya keberagaman, namun…

2 hari ago