Negara Indonesia sebagai negara yang berdemokrasi memiliki ritual sakral yang diselenggarakan sekali dalam lima tahun, yaitu, pemilihan umum. Ritual atau pesta demokrasi ini merupakan perwujudan dari kebebasan bagi seluruh warga negara untuk memilih setiap kandidat yang ia anggap mampu untuk memenuhi harapannya. Kadang kala ritual suci ini sering ternodai oleh aktor-aktor politik yang memanfaatkan perbedaan suku dan agama untuk mendongkrak elektabilitas. Politik yang semestinya mesin edukasi dimana berbagai gagasan diadu di depan publik agar masyarakat tercerdaskan membaca bangsa ini kedepan, kini berubah menjadi dangelan layaknya drama korea, yang hanya menyentuh ranah emosional saja. Akibatnya, ulah dari segelintir politisi ini acap kali menyisakan ketegangan urat syaraf dan caci maki pada masing-masing pendukung bahkan berlangsung meskipun pemilu telah usai.
Kondisi seperti ini amat rentan merobohkan kebhinekaan kita, setidaknya, menimbulkan gesekan-gesakan ringan yang tak jarang menggoyang akar rumpun, sehingga berdampak kepada mental dan kejiwaan, sebut saja, misalnya, membenci ras tertentu, membenci suku tertentu, bahkan memusuhi agama tertentu. Pada tahap selanjutnya, pendukung fanatisme akurt yang sudah termakan oleh materi politik yang tidak mencerdaskan tadi, mengalami kekecawaan yang tinggi ketika kandidat yang ia dukung tidak terpilih, bahkan saking kecewanya, ia tidak mengakui kemenangan lawan, dengan mengatakan ini bukan presidenku, ini bukan gubernurku dan ungkapan-ungkapan lain yang lebih parah dari itu.
Kelumpuhan nalar memahami politik, memaksa kaum fanatis untuk patuh dan tunduk serta tiarap pada narasi-narasi identitas. Metode asal kunyah tanpa tabayun, menjadi momen seksi bagi pengusung ideologi anti NKRI untuk mengembangkan sayapnya. Tak tetutup kemungkinan juga, realitas ini membuka ruang bagi kelompok teroris untuk melancarkan aksi menyebarkan virusnya.
Berangkat dari rentetan di atas, hal utama yang perlu kita sadari adalah bahwa pemilu bukanlah pertarungan identitas dan bukan pula pertarungan iman. Pemilu adalah pesata rakyat yang semestinya kita rayakan dengan gembira dan ceria. Penulis sangat setuju dengan adanya gerakan tagar “pemilu ceria” yang dinakhodai oleh tokoh-tokoh berpengaruh. Dengan acara-acara diskusi yang dilaksanakan oleh penyelenggara tersebut, penulis yakin akan memberi efek positif bagi pikiran masyarakat. Peran serta para elit politik dalam mencerdaskan masyarakat adalah bagain dari ladang amal yang wajib ditunaikan.
Di samping itu, sebagai manusia yang berakal, pasti memiliki timbangan kepantasan moral. Mengaktifkan kembali kesadaran moral ini begitu penting bagi kita semua, untuk memberi filter agar tidak sembarang berucap. Karena ketika ucapan keluar dari mulut pertama, sipendengar akan merespon informasi tersebut dengan ukuran pikirannya. Oleh karenanya, siapapun di antara kita semestinya menjaga ucapan terlebih-lebih narasi-narasi yang terkait dengan suku, ras dan agama.
Sebagai warga negara yang hidup di bawah satu tiang bendera, yang diikat dengan satu nusa, satu bangsa satu bahasa serta dinaungi semboyan bhineka tunggal ika, sudah begitu lengkap untuk mempersatukan kita. Dengan begitu, kita tidak layak berkilah dengan menuturkan perbedaan, kita tidak pantas berteriak mencerca suku kawan, kita tidak patut melukai keyakinan sahabat. Karena kau dan dia adalah “kita Indonesia!!!”
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…