Narasi

Menanggalkan Cara Beragama yang “Hitam-Putih”, Menuju Beragama Berbasis Cinta

Belakangan ini, lini masa kita kembali riuh. Rencana Kementerian Agama untuk menggelar perayaan Natal bersama bagi para pegawainya langsung ditanggapi sebagian kelompok dengan kecurigaan: sinkretisme, penyamaan agama, hingga gadai akidah. Alih-alih melihat keberagaman sebagai anugerah yang menghidupkan ruang sosial, mereka terjebak pada dikotomi “hitam-putih” yang menutup pintu dialog dan lebih suka mencurigai sesama. 

Padahal, para ulama sejak dahulu telah mengajarkan dengan sangat jelas batas antara akidah dan muamalah. Akidah adalah urusan keyakinan, tidak bisa dicampuradukkan, tidak bisa dinegosiasikan. Namun muamalah adalah ruang sosial tempat manusia berinteraksi, bekerja sama, saling menolong, dan membangun kehidupan bersama secara harmonis. 

Menghadiri acara keagamaan orang lain bukanlah bentuk penyatuan teologi, melainkan praktik baik hubungan sosial. Inilah yang oleh sebagian ulama disebut sebagai pro-eksistensi, yakni sikap hidup berdampingan sambil tetap teguh pada keyakinan masing-masing. Maka menuduh setiap bentuk penghormatan antaragama sebagai sinkretisme menunjukkan adanya ketidakcermatan dalam membedakan ruang normatif keagamaan dalam berbangsa. 

Persoalan ini sebenarnya bermuara pada cara kita memahami Tuhan. Kita sering menyebut diri sebagai hamba, namun sering pula bertindak seolah-olah kitalah hakim yang bertugas mengadili siapa yang ‘murni’ agamanya dan siapa yang ‘tercelup’. Kita lupa bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Dzat yang memperkenalkan diri-Nya dengan dua nama besar: Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Kasih dan sayang-Nya meliputi semua makhluk, bahkan mereka yang tidak meyakini-Nya sekalipun. Jika Tuhan saja meluaskan rahmat-Nya, mengapa kita sebagai manusia justru mempersempit ruang cinta dan menebar stigma atas nama agama? 

Karena itu, menjadi masyarakat madani adalah agenda penting. Masyarakat madani adalah masyarakat yang mampu menghargai perbedaan, mengelola konflik dengan dialog, serta mengutamakan keterbukaan dan keadaban publik. Dalam tubuh keberagaman Indonesia, masyarakat madani akan mampu menjadi jembatan antara agama dan ruang publik. 

Kita perlu menanggalkan cara beragama yang “hitam-putih”, sebab hidup tidak pernah sesederhana itu. Iman yang kokoh justru melahirkan kerendahan hati, bukan kecurigaan; melahirkan kedamaian, bukan konflik. Seperti akar pohon yang menghunjam kuat, iman yang matang akan menumbuhkan dahan yang teduh dan buah yang manis—buah yang memberi manfaat bagi siapa saja yang berteduh di bawahnya. Dan di sanalah letak kemenangan sejati agama: ketika ia menghadirkan cinta yang merangkul, bukan ketakutan yang mengucilkan.

 

Rusdiyono

Recent Posts

Jebakan Beragama di Era Simulakra

Banyak yang cemas soal inisiatif Kementerian Agama yang hendak menyelenggarakan perayaan Natal bersama bagi pegawainya,…

3 jam ago

Melampaui Nalar Dikotomistik Beragama; Toleransi Sebagai Fondasi Masyarakat Madani

Penolakan kegiatan Natal Bersama Kementerian Agama menandakan bahwa sebagian umat beragama terutama Islam masih terjebak…

3 jam ago

Beragama dengan Kawruh Atau Rahman-Rahim dalam Perspektif Kejawen

Dalam spiritualitas Islam terdapat tiga kutub yang diyakini mewakili tiga bentuk pendekatan ketuhanan yang kemudian…

3 jam ago

Natal Bersama Sebagai Ritus Kebangsaan; Bagaimana Para Ulama Moderat Membedakan Urusan Akidah dan Muamalah?

Setiap menjelang peringatan Natal, ruang publik digital kita riuh oleh perdebatan tentang boleh tidaknya umat…

1 hari ago

Bagaimana Mengaplikasikan Agama Cinta di Tengah Pluralitas Agama?

Di tengah pluralitas agama yang menjadi ciri khas Indonesia, gagasan “agama cinta” sering terdengar sebagai…

1 hari ago

Banyak Negara Muslim Memfasilitasi Natal, Indonesia adalah Salah Satunya

Desember 2025 akan mencatat sejarah baru bagi Indonesia. Untuk pertama kalinya sejak kemerdekaan, Kementerian Agama…

1 hari ago