Berkamuflase adalah salah satu strategi jitu yang dimainkan oleh para pengusung khilafah untuk bertahan. Saat pemerintah sudah menjadikan organisasi mereka sebagai organisasi terlarang, mereka pun mencari segala cara –apa pun itu –untuk bisa eksis dalam menyebarkan paham khilafah.
Salah satu bentuk kamuflase yang dimainkan sekarang adalah lewat aksi membela Pancasila. Dengan berkoar-koar bahwa mereka sangat peduli dengan Pancasila; sangat menjaga keberlangsungan Pancasila; dan sangat semangat dalam “mempertahankan” Pancasila, seolah-olah meraka adalah Pancasilais sejati.
Padahal, kalau dilihat dari latar belakang, laku, dan dakwah yang mereka mainkan, apa yang mereka koar-koarkan itu tidak lain hanyalah omong kosong dan klaim yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Bagaimana tidak, wong AD/ART mereka sendiri jelas-jelas menyatakan bahwa mereka bertujuan mendirikan khilafah islamiyah, dan tidak ada kata Pancasila sama sekali.
Laku mereka sangat bertolakang belakang dengan Pancasila. Tidak menghargai kebhinekaan, ingin penyeragaman, sangat eksklusif, bersikap intoleran, bahkan tidak jarang diiringi dengan sikap radikal dan kekerasan.
Pun, demikian dengan dakwah yang mereka mainkan. Mengejek, bukan mengajak. Mengejek sistem yang sudah disepakati, menghina –bahkan mengatakan sesat –konsensus nasional, mencap tidak islami sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia, serta menyalahkan sikap ulama sebelumnya karena tidak menawarkan khilafah sebagai sebuah sistem kenegaraan.
Dari tiga tolak ukur ini, yakni latar belakang, laku, dan dakwah yang mereka mainkan, kita dapat berkesimpulan, aksi bela Pancasila yang mereka lakukan itu tidak lain adalah bentuk dari kamuflase, strategi marketing agar jualan “khilafah” mereka itu laris manis.
Jangan Tertipu Kamuflase
Pengusung khilafah adalah makhluk yang sangat bisa berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi. Mereka tak ubahnya seperti bunglon yang bisa dan tahu kapan harus berubah dan berkamuflase. Saat ini, cara-cara frontal tentu pasti ditiggalkan, sebab mudah dideteksi.
Baca Juga : Berlindung di Balik Isu Agama dan Pancasila
Meraka sekarang memainkan strategi yang lebih halus, yakni memainkan emosi dan menarik simpati dari masyarakat. Cara ini untuk saat ini –apalagi di media sosial –sangat efektif dan manjur untuk mendulang dukungan dan simpatisan.
Memanfaatkan ormas, tokoh agama, politisi, atau kebijakan tertentu –meskipun tidak menyebut secara terangan-terangan sebagai khilafah –pasti dimainkan. Media sosial dan sentimen agama selalu jadi kunci.
Kerja-kerja untuk memproteksi strategi kampanye para pengusung khilafah itu perlu dideteksi sedini mungkin. Kita jangan mudah tertipu. Laiknya bunglon yang bisa beradaptasi dalam setiap keadaan demi keamanan dan eksistensinya, cara yang sama juga dilakukan oleh para pengusung khilafah itu dengan kerja-kerja strategi yang tak terduga.
Tugas kita bersama adalah mewaspadai itu. Boleh jadi topeng khilafah sudah tidak dipakai lagi, tetapi wajahnya masih tetap khilafah. Atau bajunya sudah ganti dengan baju lain, tetapi badannya masih tetap khilafah. Untuk itu, kerja-kerja kolektif untuk tetapi menghalau ideologi khilafah harus dilakukan sedini mungkin. Mewaspadai strategi bunglon itu salah satunya.
Pergeseran dari cara-cara frontal, kasar, dan terang-terangan menuju cara-cara yang lebih halus (soft): memainkan emosi, jadi korban terzalimi –ternyata berhasil dan mendapatkan dukungan dari khalayak ramai. Banyak yang tidak sadar, ternyata di balik itu semua adalah ideologi khilafah yang sudah dilarang.
Tiga Daya Tangkal
Untuk meproteksi strategi kamuflase dari pengusung dan pengasong khilafah, ada tida standar yang bisa kita jadikan sebagai filter sekaligus daya tangkal. Ketiganya adalah keindonesiaan, kebhinekaan, dan kemanusiaan. Ketiga nilai ini secara substantif sejatinya termaktub dalam Pancasila.
Pertama, nilai keindonesiaan dijadikan sebagai daya tangkal dalam kategori melacak latar belakang suatu ormas, gerakan, atau kelompok. Kelompok atau ormas yang berpaham impor dan berideologi transnasional dengan sendirinya tertolak dengan nilai keindonesian. Apapun gerakannya asal tidak pro terhadap nilai keindonesiaan, silakan ditolak dan buang ke keranjang sampah.
Kedua, kebhinekaan sebagai daya tangkal dalam laku. Jika ada laku, sikap, atau tindakan yang tidak menghargai kebhinekaan, pluralitas, perbedaan, silakan ditingalkan. Gerakan eksklusif dan intoleran harus dibuang jauh-jauh. Ormas yang tidak akomodatif terhadap keberagamaan, baik itu agama, budaya, ras, atau tradisi, harus dihindari.
Ketiga, kemanusiaan adalah daya tangkal dalam dakwah. Dakwah yang tidak mencerminkan nilai kemanusiaan, tidak memuliakan harkat dan martabat manusia, tidak menghormati hak asasi, harus dijauhi. Dakwah yang penuh dengan kekerasan, fitnah, provokasi serta penuh dengan umpatan kotor, harus sedini mungkin ditinggalkan. Jangan tertipu dan terperdaya. Ketiga nilai ini bisa dijadikan bergangan bersama dalam menangkal gerakan kamuflase dan strategi bunglon yang dimainkan oleh kaum khilafais.
This post was last modified on 16 Juli 2020 1:45 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…