Narasi

Mencari Vaksin Radikalisme

Virus radikalisme sudah merebak kemana-mana. Hampir semua sektor dan lini kehidupan manusia sudah dimasukinya. Mulai dari dunia keagamaan, sosial, budaya, sampai ke mimbar akedemik dunia pendidikan.

Bukan hanya Covid-19 yang perlu kita carikan vaksinnya, melainkan juga radikalisme harus ditemukan vaksinnya sebagai anti-virus untuk memproteksi imunitas kolektif sosial kita.

Bentuknya pun bermacama-macama. Ada virus radikalisme berbentuk takfiri, jihadi, dan ideologi-politik.

Virus radikalisme berbentuk takfiri adalah suatu sikap atau tindakan yang meng-kafir-kan pihak lain yang tidak sejalan dengan golongannya.

Radikalisme bentuk ini bisa ditanggulangi dengan memberikan materi akan pluralitas agama dan keragaman pemahaman keagamaan.

Virus radikalisme berbentuk jihadi, yakni aksi-aksi terror dan kekerasan yang diklaim dengan jihad. Radikalisme ini bisa ditanggulangi dengan menangkap para pelakunya, densus 88 bisa dimaksimalkan, dan BNPT bisa melaksanakan kontra-radikalisasi, yakni berupa pencegahan terjadinya aksi-aksi terorr lainnya.

Virus radikalisme berbentuk ideologi-politik, yakni radikalisme yang berusaha ingin mengubah dasar, falsafah, konstitusi, dan tata-kelola bernegara dengan sistem khilafah mau tidak mau harus ditangkal dengan ideologi tertentu juga.

Ideologi radikalisme yang menganggap bahwa NKRI belum syar’i, sistemnya tidak islami, dan tata kelola dan tata politiknya masih jahiliyah, bisa merongrong sendi-sendiri kehidupan manusia baik dalam level bermasyarakat, berbangsa, terutama bernegara.

Menyasar Generasi Bangsa

Ketiga bentuk radikalisme di atas menyasar para generasi bangsa kita. Anak-anak muda, mahasiswa, dan milenial menjadi sasaran empuk para pembajak agama.

Kekhawatiran  terhadap radikalisme yang merasuki anak-naka muda medapat bukti di lapangan. Setara Institute (31/05/2019) meluncurkan hasil riset yang menunjukkan, bahwa beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) terpapar gerakan radikalisme agama.

Sesuai dengan riset di lapangan, setidaknya ada dua bentuk indoktrinasi radikalisme agama yang tumbuh subur pada anak muda. Pertama, radikalisme dengan bentuk puritanisme agama. Kedua, radikalisme berbentuk ideologi-politik.

Radikalisme bentuk yang pertama adalah sikap, tindakan, dan pola pikir yang ketat sesuai doktrin-doktrin agama. Bagi kelompok ini, agama harus dibebaskan dari segala macam pengaruh dari luar. Agama harus menjadi landasan segalanya, termasuk ilmu pengetahuan.

Puritanisme agama dibangun pada asumsi bahwa agama itu komprehensif dan sempurna (syamil wa kamil). Agama harus dijadikan otoritas penentu terhadap segala hal, bahkan terhadap penemuan ilmiah sekalipun.

Pemahaman agama yang ketat ditambah dengan keyakinan akan kesempurnaannya menjadikan individu lebih sibuk ke dalam, tertutup, tidak bisa mewarnai dan diwarnai, tekstual, dan susah berdialog dengan tradisi dan kebudayaan lain.

Baca Juga : Melihat Ulang Jejak Ikhwanul Muslimin di Indonesia

Bentuk yang pertama ini adalah bentuk radikalisme soft. Meski demikian, akan menjadi hard ketika masuk faktor-faktor lain. Faktor lain itu adalah ideologi-politik.

Ideologi politik yang menjadikan keyakinan akan kesempurnaan agama sebagai landasan politik. Akibatnya, semua hal mau dihakimi dan diukur dengan agama. Celakanya agama yang dijadikan ukuran adalah agama yang kaku dan ketat.

Radikalisme berbentuk ideologi-politik ingin menggantikan semua hal tenteng sistem politik, pemerintahan, dan tata-kelola negara dengan sistem yang dinilai lebih Islami. NKRI mau diubah dengan konsep khilafah, Pancasila dan UUD 1945 mau diganti jadi syariah, demokrasi diubah menjadi syura’, presiden dengan khalifah.

Puritanisme agama bersambut gayung dengan ideologi politik yang ingin mengganti semua sistem. Tentu ini sangat berbahaya bagi generasi bangsa.

Pertanyaan besarnya, apa anti-virus, yang dijadikan sebagai vaksin radikalisme agar Indonesia tidak masuk zona merah radikalisme? Atau dengan bahasa lain, apa solusi riil untuk mencegah generasi bangsa  agara keluar lingkran setan  radikalisme?

Di sini saya mengajukan dua jawaban. Pertama, perlunya pendikan integratif. Kedua, perlunya penguatan Kebangsaan kepada generasi bangsa.

Pendidikan Integratif

Pendidikan integratif bisa menjadi solusi untuk mencegah para anak bangsa agar tidak terjebak pada indoktrinasi radikalisme.Pendidikan integratif yang dimaksud adalah pendidikan yang memadukan semua elemen, unsur, dan disiplin.

Dengan kata lain, adanya dialog dan upaya saling menyapa antar disiplin, tradisi, dan kebudayaan. Belajar agama tidak melulu soal ibadah, halal-haram, mukmin-kafir, tetapi harus menyapa sistem dan unsur lain semisal kebudayaan, kemasyarakatan, perkembangan dunia, dan penemuan ilmiah.

Belajar agama yang hanya berhenti pada tataran dokrin dan wilayah mahdahsemata, akan menjadikan manusia kaku, sempit, dan eksklusif. Sikap integrasi dengan budaya, tradisi, perkembangan ilmu pengetahuan, menjadikan anak bangsa tidak terasing lagi.

Sikap saling menyapa lintas disiplin, budaya, dan tradisi, melahirkan manusia yang kritis.Sikap kritis ini muncul dari karakteristik pendidikanintegratif itu sendiri yang mensyaratkan adanya tiga syarat terkait dengan uji kebenaran.

Pertama, uji kebenaran keherensial.Sesuatu dianggap benar ketika sesuai dengan premis sebelumnya yang dianggap sebagai premis umum.Doktrin agama dianggap benar jika sesuai dengan premis utama agama itu sendiri, yakni rahmatanlil’alamin, rahmat bagi sekalian alam.

Jika ada ajaran, provokasi, dan ajakan kekerasan, pembunuhan, bom bunuh diri, dan segala macamnya tetapi mengatasnamakan agama, maka itu bukan agama.Sebab, bertentangan dengan premis utama agama.

Kedua,uji kebenaran korespondensial. Kebenaran dianggap sebagai kebenaran jikaia sesuai (berkorespondensi) dengan fakta di lapangan.

Doktrin radikalisme yang mengajarkan untuk mengganti Pancasila dan segala turunannya adalah salah.Sebab, Pancasila adalah hasil kesepakatan bersama, dasar negara, dan sumber dari segala sumber hukum.Jika ada yang mau menggantinya, artinya itu bertolak belakang dengan fakta di lapangan.

Ketiga, uji kebenaran pragmatis.Dianggap sebagai suatu kebenaran, jika menimbulkan nilai praksis.Membunuh, menebar ketakutan, bom bunuh diri, anti-Pancasila, anti-NKRI, dan anti-anti yang lain, tidak melahirkan nilai praksis.Justru sebaliknya, menimbulkan madarat.

Doktrin radikalisme ternyata tidak lolos dari ujian kebenaran sebagai syarat penting dari pendidikan integratif.Untuk itu, jika Kementerian agama mau merombak buku agama, maka hal yang perlu diprioritaskan adalah pentingnya pendidikanintegratif dalam buku agama.Dengan demikian, kita sudah berupaya agar generasi bangsa bebas dari doktrin radikalisme agama.

Penguatan Kebangsaan

Selaian itu, semua elemen bangsa harus aktif untuk tetap melindungi Pancasila dari gempuran ideologi radikal, yang ingin mengubah semuanya. Salah satu yang mendasar adalah dengan memperkuat wawasan kebangsaan.

Anak bangsa sebagai penerus gerak bangsa ini perlu melek terhadap sejarah, hakikat, semangat, perjuangan, dan spirit kebangsaan. Wawasan kebangsaan yang dimaksud adalah konsepsi cara pandang yang dilandasi akan kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara akan diri dan lingkungannya  di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Wawasan kebangsaan ini berlandaskan pada sila-sila yang tertera pada Pancasila sebagai kristalisasi dari alam bawah sadar manusia Indonesia. Wawasan kebangsaan harus merawat keragaman, menghargai perbedaan, dan menjungjung tinggi semangat gotong-royong, dan mengedepankan rasa welas asih dan toleransi.

Dalam konteks kebangsaan, semua adalah kita, tidak ada mereka. Kita satu bahasa, satu tanah air, satu bangsa, dan satu tujuan. Kita melebur dalam ikatan kebangsaan, yakni sama-sama mempunyai pengalaman yang sama.

Dalam berbangsa, segala bentuk primordialisme harus ditanggalkan. Suku, ras, agama, budaya, pilihan politik, bukan menjadi penghalang bagi kita untuk tetap selalu bergandengan tangan.

Dengan wawasan dan adanya kesadaran akan kebangsaan makan proses imunisasi memproteksi masyarakat dari ancaman virus radikalisme berjalan mulus.

Adanya internalisasi nilai-nilai Pancasila, maka kita bisa melebur dan menghilangkan sekat-sekat perbedaan;  kita bisa bersatu sambil tetap eksis dalam agama, budaya, dan tradisi masing-masing. Kita terikat dengan moral publik bersama di satu sisi, tetapi di saat yang sama, kita bisa bebas dengan simbol dan identitas latar belakang kita masing-masing. Internalisasi Pancasila menjadikan ideologi dari luar tidak ada ruang masuk. Ia dengan sendirinya tidak terterima.

This post was last modified on 4 September 2020 4:07 PM

Ahmad Kamil

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

17 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

17 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

17 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

17 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago