Faktual

Mencegah Radikalisasi di Lingkungan Aparat Negara

Beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan dengan penangkapan dua oknum aparat polisi di Lampung oleh Densus 88. Pendalaman dan penyidikan masih terus ditindaklanjuti. Apa yang mengagetkan bahwa aparat penegak hukum pun tidak imun dari paham dan jaringan terorisme.

Persoalan ini memang bukan kali pertama. Salah satu mantan teroris yang kita kenal dari aparat kepolisian, Sufyan Tsauri, adalah bagian dari proses radikalisasi yang terjadi di tubuh institusi ini. Sebelumnya juga telah banyak berita dan cerita aparat kepolisian yang terpapar paham radikal. Tidak hanya di Polri, TNI dan ASN pun telah dimasukin kelompok ini.

Apa yang perlu dipahami bahwa radikalisme sejatinya tidak melulu tentang tindak kekerasan, namun juga mengarah kepada sikap intoleransi. Radikalisme merupakan fase awal yang menyebabkan seseorang bertindak kekerasan. Biasanya pemahaman ini dimulai dengan sikap intoleran yang mulai menggugat berbagai keragaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai sebuah kekayaan bangsa.

Virus intoleransi dan radikal memang lebih sangat berbahaya ketika merasuki lingkungan kerja pemerintahan. Mereka yang dididik dengan wawasan kebangsaan dan bekerja untuk pemerintahan saja masih mudah terpengaruh paham radikal. Bahkan tidak hanya pemikiran, tetapi ada pula yang sudah bergabung dalam organisasi dan jaringan yang terlarang.

Pemerintah memang telah mengantisipasi dengan menerbitkan Surat Edaran Bersama Menteri PANRB dan Kepala BKN Nomor 2 Tahun 2001 No. 2/SE/I/2021 yang diterbitkan pada 25 Januari 2021. Yang berbunyi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Tjahjo Kumolo, melarang Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) berhubungan maupun mendukung seluruh organisasi yang dilarang pemerintah seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan Front Pembela Islam (FPI).

Tindaklanjutnya, Kemenpan RB menyebutkan telah melakukan langkah pemecatan sekitar 30 sampai 40 ASN tiap bulan karena berbagai pelanggaran, di antaranya tersangkut radikalisme maupun yang tergabung dalam organisasi terlarang dan tidak mengakui Pancasila dan UUD 1945. Memang tidak mengherankan karena menurut hasil penelitian The Habibie Center, seperti yang disebut Direktur Program dan Riset Muhammad Hasan Ansori, pada 2017 menunjukkan setidaknya 30%-40% ASN di Indonesia telah terpapar paham radikal.

Memang banyak hal yang perlu dibenahi dalam membentengi wawasan kebangsaan para aparat negara. Bayangkan mereka akan menjadi duri dalam sekam yang memanfaatkan anggaran negara sementara mereka bisa memilih tergabung dalam organisasi yang intoleran, menolak Pancasila, dan mendirikan khilafah atau negara Islam. Tidak sedikitnya aparat negara yang memilih untuk bergabung dalam organisasi tersebut harus mendapatkan perhatian.

Pemerintah memang perlu sangat tegas dan tidak boleh main-main dalam urusan ideologi di lingkungannya. Tidak toleransi bagi mereka yang memilih mengabdi buat negeri untuk memiliki pandangan yang bertentangan dengan NKRI. Pembinaan ideologi sejatinya tidak hanya dimarakkan kepada masyarakat umum, tetapi aparat pemerintah sejatinya garda depan untuk dilakukan pembinaan yang masif.

Namun, persoalannya pemerintah tidak boleh hanya fokus pada sangsi. Semakin banyak yang menerima sangsi bahkan pemecatan sejatinya bukan suatu keberhasilan, tetapi justru menjadi kemunduran. Fokus utama yang dilakukan adalah mencegah dan menyembuhkan. Pemerintah harus mempunyai strategis dari hulu hingga hilir yang bisa mencegah dan mengantisipasi radikalisasi di lingkungan aparat negara.

Pemecatan sejatinya langkah terakhir jika memang sudah jelas terbukti memiliki afiliasi dengan organisasi terlarang. Tetapi langkah pemecatan juga harus dibarengi dengan pendampingan. Jika tidak timbulnya balas dendam dan benci terhadap negara akan menimbulkan persoalan. Dan bukan tidak mungkin, ini akan menjadi alasan kuat untuk terjerat dalam jaringan radikal terorisme.

Pemerintah harus mempunyai formula tepat dalam menanggulangi radikalisasi di kalangan aparat negara. Bukan sekedar sangsi, tetapi ikhtiar pembinaan ideologi mutlak dilakukan. Setelah mereka berikrar dan sumpah setia terhadap NKRI, persoalan selanjutnya adalah menjaga wawasan kebangsaan ini tetap teguh.  Jika tidak, mereka hanya menjadi duri dalam daging. Keberadaannya bisa menjadi benalu dan virus yang bisa mematikan. Tidak besar tetapi dapat menggangu roda perjalanan.

This post was last modified on 28 November 2022 12:36 AM

Imam Santoso

Recent Posts

Tiga Nilai Maulid ala Nusantara; Religiusitas, Kreativitas, Solidaritas

Menurut catatan sejarah, perayaan Maulid Nabi Muhammad secara besar-besaran muncul pertama kali di Mesir pada…

18 jam ago

Muhammad dan Kehidupan

Konon, al-Ghazali adalah salah satu ulama yang memandang sosok Muhammad dengan dua perspektif, sebagai sosok…

20 jam ago

Meneladani Nabi Muhammad SAW secara Kaffah, Bukan Sekedar Tampilan Semata

Meneladani Nabi adalah sebuah komitmen yang jauh melampaui sekadar tampilan fisik. Sayangnya, sebagian kelompok sering…

20 jam ago

Warisan Toleransi Nabi SAW; Dari Tanah Suci ke Bumi NKRI

Toleransi beragama adalah energi lembut yang dapat menyatukan perbedaan. Itulah kiranya, salah satu ajaran mulia…

2 hari ago

Walima, Tradisi Maulid ala Masyarakat Gorontalo yang Mempersatukan

Walima, dalam konteks tradisi Maulid Nabi, adalah salah satu momen yang sangat dinanti dan dihormati…

2 hari ago

Darul Mitsaq; Legacy Rasulullah yang Diadaptasi ke Nusantara

Salah satu fase atau bagian paling menarik dalam keseluruhan kisah hidup Rasulullah adalah sepak terjang…

2 hari ago