Narasi

Menegaskan Peran Ulama Sebagai Pewaris Nabi dan Penjaga NKRI

Dua tahun terakhir, yakni tahun 2019 dan 2020 tidak diragukan merupakan tahun krusial bagi bangsa Indonesia. Bagaimana tidak? Di tahun 2019 kita menghelat hajatan politik nasinoal, yakni Pemilu, Pileg dan Pilpres secara bersamaan alias serentak. Fatalnya lagi, pesta demokrasi yang seharusnya menjadi momentum sirkulasi elite dengan berbasis pada pertarungan gagasan, program kerja dan integritas serta rekam jejak itu justru diwarnai oleh sejumlah praktik politik kotor. Satu yang paling kentara dan berpotensi merobek tenun kebangsaan ialah maraknya politik identitas yang mengeksploitasi perbedaan agama, suku dan ras menjadi komoditas politik untuk meraup keuntungan elektoral.

Dibanding isu kesukuan dan ras, sentimen perbedaan agama harus diakui masih menjadi komoditas politik yang laku keras di ruang publik kita. Para elite politik bermental Machiavellian (rela menghalalkan cara untuk meraih kekuasaan) tidak segan menjadikan sentimen fanatisme keagamaan sebagai materi kampanye hitam berupa fitnah, ujaran kebencian dan provokasi adu-domba. Maka menjadi tidak mengherankan jika di masa-masa kempanya Pilpres 2019 lalu, semburan kebohongan dan fitnah berbalut isu agama membanjiri ruang publik kita. Ironisnya, fenomena itu tidak lantas mereda meski Pilpres 2019 telah usai dan para politisi di level elite sudah melakukan rekonsiliasi.

Seperti kita lihat, sepanjang tahun 2020 kemarin ruang publik terutama virtual kita masih didominasi oleh narasi-narasi perpecahan yang berakar dari polarisasi politik yang menjadi residu Pilpres 2019. Ruang publik virtual kita nyaris tidak pernah sepi dari kegaduhan yang ditimbulkan oleh perang opini dan wacana seputar agama dan politik. Di tengah kegaduhan itu, selalu saja ada pihak-pihak yang memanfaatkan keadaan dengan membenturkan dimensi keagamaan dan kenegaraan. Narasi-narasi yang berusaha menarik garis demarkasi alias pembatas yang tebal antara identitas keindonesiaan dan identitas keislaman kian santer terdengar di ruang publik kita. Lebih fatal lagi, narasi-narasi itu justru datang dari sejumlah tokoh agama atau yang lazim kita sebut sebagai ulama.

Ulama dan Tiga Teladan Nabi

Fenomena maraknya ulama yang gemar mengumbar narasi untuk membenturkan agama dan negara, serta Islam dan NKRI tentu menimbulkan keprihatinan bersama. Sebagai negara bangsa (nation state) dengan penduduk mayoritas muslim, Indonesia jelas membutuhkan ulama sebagai pihak yang otoritatif tidak hanya dalam hal agama, namun juga dalam konteks sosial, politik dan budaya. Ulama ialah salah satu pilar penting tegaknya bangsa dan negara. Lantas, apa jadinya jika para ulama justru terjebak dalam sengkarut labirin kebencian dan perpecahan akibat politisasi agama dan politik identitas? Maka dari itu, lembaran baru tahun 2021 yang baru kita tapaki dalam hitungan hari ini kiranya bisa menjadi momentum bersama untuk menegaskan peran ulama sebagai pewaris Nabi (warasatul anbiya) sekaligus penjaga NKRI.

Menurut Ahmad bin Ajibah sebagaimana dikutip Moh. Romzi gelar “warastul anbiya” sebagaimana lekat pada ulama memiliki makna bahwa ulama haruslah meneladani sikap Nabi setidaknya dalam tiga hal. Pertama, alim yakni mewarisi kecakapan para Nabi dalam hal ilmu pengetahuan, baik agama maupun ilmu umum. Kedua, abid yakni mewarisi perbuatan Nabi terutama dalam hal ibadahnya serta laku sosialnya di tengah umat. Ketiga, arif yakni mewarisi sikap bijaksana sekaligus kedalaman spiritualnya yang mewujud pada munculnya sikap zuhud, wara’, dan ma’rifah. Ini artinya, belum otoritatif gelar ulama yang disandang seseorang manakala ia belum menanamkan dan mempraktikkan ketiga dimensi kenabian tersebut. Jika kita mengacu pada konteks keislaman di Indonesia, dapat dikatakan bahwa menjadi ulama bukanlah semata menjadi pemimpin umat dalam hal keagamaan dan spiritualitas. Lebih dari itu, ulama harus mampu tampil menjadi role model bagi kehidupan dalam konteks negara bangsa yang multikultur dan multireliji.

Ulama dan Kesadaran Kebangsaan

Maka dari itu, selain menjadi sosok yang memiliki otoritas dalam hal keagamaan, ulama idealnya juga menjadi penjaga NKRI. Ulama harus menjaga NKRI dari ancaman-ancaman baik internal maupun eksternal. Ancaman eksternal itu berupa persaingan ekonomi-politik global yang tidak jarang menempatkan Indonesia sebagai sasaran hegemoni dan dominasi asing. Di titik ini, peran ulama sangat penting untuk ikut serta membumikan perspektif wawasan kebangsaan di kalangan umat. Ulama harus membangun kesadaran umat bahwa mencintai dan membela tanah air serta tunduk pada pemerintahan yang sah (ulil amri) ialah bagian dari keimanan terhadap ajaran Islam. Ulama juga harus menjelaskan pada umat bahwa nasionalisme dan patriotisme sama sekali tidak bertentangan dengan Islam.

Sementara ancaman internal bisa diidentifikasi dari maraknya penyebaran paham intoleran-radikal yang tidak hanya memecah belah umat, namun juga berpretensi menghancurkan struktur bangunan kebangsaan dari dalam. Dan, seperti kita tahu, maraknya aksi intoleransi dan radikalisme agama erat kaitannya dengan praktik politik identitas yang belakangan ini menjadi semacam trend dalam panggung politik baik lokal maupun nasional. Pendek kata, politik identitas dan politisasi agama menyumbang andil besar pada kian akutnya gejala intoleransi dan radikalisme yang mengancam keutuhan NKRI. Dalam konteks ini, ulama wajib berperan menjadi tameng bagi NKRI dan secara aktif menghalau setiap paham dan gerakan yang potensial menggoyang eksistensi bangsa dan negara.

Untuk menjalani perannya sebagai penerus para Nabi dan penjaga NKRI tersebut, ulama haruslah memiliki kesadaran penuh bahwa keislaman dan keindonesiaan ialah dua hal yang integratif alias tidak terpisahkan satu sama lain. Menjadi muslim yang kaffah tidak lantas dilakukan dengan menanggalkan identitas keindonesiaan lalu menggantinya dengan identitas yang diklaim lebih islami, misalnya dengan mengadaptasi simbol-simbol kearaban. Demikian pula, menjadi manusia Indonesia yang nasionalis, patriotis dan Pancasilais bisa dilakukan tanpa harus mengesampingkan ajaran-ajaran Islam. Dua identitas (keislaman dan keindonesiaan) itu hakikatnya telah manunggal dan melebur dalam perspektif yang sama dan tidak patut dipertentangkan.

This post was last modified on 11 Januari 2021 3:48 PM

Arfi Hidayat

Recent Posts

Negara dalam Pandangan Islam : Apakah Sistem Khilafah Tujuan atau Sarana?

Di dalam fikih klasik tidak pernah dibahas soal penegakan sistem khilafah, yang banyak dibahas adalah…

15 jam ago

Disintegritas Khilafah dan Inkonsistensi Politik Kaum Kanan

Pencabutan izin terhadap Hizbut Tahrir Indonesia dan Front Pembela Islam ternyata tidak serta merta meredam propaganda khilafah dan wacana…

17 jam ago

Kritik Kebudayaan di Tengah Pluralisasi dan Multikulturalisasi yang Murah Meriah

Filsafat adalah sebuah disiplin ilmu yang konon mampu menciptakan pribadi-pribadi yang terkesan “songong.” Tempatkan, seumpamanya,…

20 jam ago

Spirit Kenaikan Isa Al Masih dalam Menyinari Umat dengan Cinta-Kasih dan Perdamaian

Pada Kamis 9 Mei 2024, diperingati hari Kenaikan Isa Al Masih. Yakni momentum suci di…

20 jam ago

Pembubaran Doa Rosario: Etika Sosial atau Egoisme Beragama?

Sejumlah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) yang sedang berdoa Rosario dibubarkan paksa oleh massa yang diduga diprovokasi…

2 hari ago

Pasang Surut Relasi Komitmen Kebangsaan dan Keagamaan

Perdebatan mengenai relasi antara komitmen kebangsaan dan keagamaan telah menjadi inti perdebatan yang berkelanjutan dalam…

2 hari ago