Narasi

Peran Ganda Ulama; Penerus Nabi, Pilar NKRI

Tahun 2020 merupakan tahun penuh rintangan dan problem kebangsaan yang kompleks. Salah satunya ialah memuncaknya politik identitas dan politisasi agama yang mendominasi corak politik kita. Jika diurut ke belakang, fenomena politik identitas dan politisasi agama itu sudah muncul sejak momen Pilpres tahun 2014, lalu berlanjut di Pilkada DKI 2017 dan memuncak di Pilpres 2019 lalu. Memuncaknya politik identitas dan politisasi agama bisa jadi merupakan salah satu dinamika kita dalam mengupayakan konsolidasi demokrasi selama dua dekade belakangan. Demokrasi yang menjadi salah satu agenda gerakan Reformasi 1998 justru dibajak oleh kelompok tertentu untuk menyebarkan pandangan yang anti-demokrasi.

Fenomena politik identitas dan politisasi agama sebenarnya bukan khas Indonesia, melainkan terjadi di hampir seluruh negara di dunia. Fareed Zakaria dalam kolomnya menyebut bahwa dalam satu dekade terakhir, kualitas demokrasi global mengalami penurunan drastis lantaran bangkitnya kekuatan populisme konservatif sayap-kanan (right wing conservative populism) yang gemar mengumbar retorika kebencian berbasis ras, etnis, agama, jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan dan identitas sejenisnya. Para politisi populis gemar melakukan kampanye dengan menebar kebencian pada kelompok agama minoritas, dan kelompok rentan lainnya seperti imigran, kaum LGBT, komunitas kulit hitam dan sejenisnya.

Fenomena populisme ini terjadi bahkan di AS yang dikenal sebagai the father of democracy. Kemenangan Donald Trump pada Pilpres AS 2016 lalu tidak bisa dilepaskan dari model kampanyenya yang mengumbar kebencian pada kelomopok minoritas AS, seperti muslim, imigran dan kulit hitam. Hal sama dilakukan oleh Presiden Brazil Jair Bolsonaro dan Perdana Menteri Inggris Boris Johson. Baik Bolsonaro maupun Johson keduanya dikenal sebagai politisi yang gemar mengeksploitasi sentimen identitas sebagai komoditas politiknya. Di kawasan Asia, kebangkitan populisme ditandai dengan naiknya Narendra Modi sebagai Perdana Menteri India. Seperti Trump, Bolsonaro dan Johson, Modi juga dikenal sebagai politisi populis yang anti-kelompok minoritas.

Kebangkitan Populisme Islam Konservatif di Indonesia

Gelombang populisme konservatif sayap kanan itu tampaknya juga melanda Indonesia. Fenomena itu kian mendapat momentumnya pada Pilkada DKI 2017 lalu yang berlangsung sangat panas di tengah isu penistaan agama yang menyasar salah satu kandidat. Gelombang protes berjilid-jilid yang mengusung jargon “Bela Agama”, “Bela Ulama” dan “Bela Islam” tidak lain merupakan representasi dari gelombang populisme konservatif sayap kanan yang berjubah Islam. Agenda mereka sebenarnya ialah meraih kekuasaan politik praktis. Namun, agar tampak suci mereka membalutnya dengan sentimen keagamaan. Patut disayangkan pula bahwa para eksponen penting dari gerakan populisme Islam kanan itu sebagian besarnya ialah sosok-sosok yang oleh umat kerap disebut sebagai ulama.

Keterlibatan ulama dalam politik praktis memang bukan hal tabu, apalagi haram. Bahkan, Nabi Muhammad sendiri semasa kehidupannya sebagai Nabi dan Rasul menjalani peran ganda sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin politik. Sebagai pemimpin agama, ia menjadi rujukan bagi semua persoalan keagamaan yang mengemuka di kalangan umatnya. Sebagai pemimpin politik, ialah sosok yang memiliki otoritas tertinggi untuk mengambil kebijakan dalam urusan sosial-politik. Namun demikian, peran ganda itu tidak lantas menjadikan Nabi Muhammad sebagai sosok oportunis apalagi diktator.

Karen Amstrong dalam bukunya berjudul Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis menyebutkan bahwa Nabi Muhammad ialah sosok pemimpin agama satu-satunya yang bisa mengubah wajah masyarakat Arab yang sebelumnya gemar berperang, tidak menghargai perempuan dan chauvinistik ke arah masyarakat yang demokratis. Nabi Muhammad, sebut Amstrong, telah mengubah kondisi Jazirah Arab yang kurang berperadaban (uncivilized) menjadi berperadaban (civilized). Bahkan, pada fase selanjutnya yakni ketika berada di Madinah, Nabi Muhammad berhasil membangun sebuah masyarakat yang dilandasi oleh nilai-nilai egalitarianisme, inklusivisme dan penghargaan tinggi terhadap nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM).

Menegaskan Peran Ulama di Ranah Spiritual dan Sosial

Adalah tugas ulama sebagai sosok yang digelari warasatul anbiya untuk meneruskan dan mengembangkan apa yang telah dirisalahkan oleh Nabi Muhammad dan nabi-nabi terdahulu.  Masykuri Abdillah (1999) menyebut bahwa ulama memiliki peran ganda, yakni di ranah spiritual dan sosial. Di ranah spiritual, ulama harus menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, yakni mengajak umat menjalankan kebaikan dan menjauhi kemunkaran. Peran dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar ini dapat diejawantahkan ke dalam setidaknya dua tindakan. Pertama, menjadi sumber rujukan ilmu pengetahuan agama bagi umat. Dalam konteks ini, ulama memiliki kewajiban untuk mendidik umat dan mencerahkannya dengan ilmu keagamaan. Kedua, melakukan kontrol moral sosial berbasis pada ajaran dan nilai keislaman. Di titik ini, ulama idealnya berperan menjadi penjaga moral masyarakat agar tidak menyimpang dari ajaran Islam.

Tidak hanya di ranah spiritual, ulama juga memiliki tanggung jawab untuk berperan di ranah sosial. Dalam konteks sosial, ulama diharapkan mampu menjadi agen sekaligus motor bagi perubahan sosial (social transformation). Ini artinya, ulama harus senantiasa menjadi bagian dari pemecahan masalah (problem solver) bagi problematika yang dihadapi umat. Bukan justru sebaliknya, ulama justru menjadi pembuat masalah (trouble maker). Dalam konteks Indonesia saat ini, peran ulama di ranah sosial ini idealnya juga direpresentasikan melalui komitmen untuk setia pada NKRI dan menjaganya dari ancaman musuh. Di tengah naiknya gelombang populisme Islam konservatif sayap kanan yang mewujud pada politik identitas dan politisasi agama, ulama hendaknya memposisikan diri sesuai khittah-nya sebagai penerus nabi sekaligus pilar NKRI.

Untuk itu, para ulama dan umat Islam pada umumya harus memiliki kesadaran bahwa kepentingan membela agama masih ada dalam satu tarikan nafas dengan membela negara. Juga bahwa meneruskan risalah Nabi bukan suatu hambatan untuk tetap merawat eksistensi NKRI. Dalam konteks yang lebih luas, para ulama dan umat pada umumnya harus menyadari bahwa negara tempat tinggal kita ialah wilayah dimana kita hidup; bekerja sekaligus beribadah. Maka, sudah menjadi kewajiban bersama untuk mewujudkan Indonesia sebagai daral salam alias negeri yang damai agar umat muslim bisa menjalankan keagamaan dan peribadatannya dengan tenang dan khidmat.

This post was last modified on 11 Januari 2021 3:47 PM

Nurrochman

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

17 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

17 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

17 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago