Narasi

Meneladani Para Kiai dalam Mencintai Tanah Air

Indonesia adalah bangsa yang sangat besar. Terdiri dari ragam agama, ras, suku, dan bahasa yang berbeda. Ketika dalam suatu bangsa itu ada yang di istimewa-kan, atau ada yang di kecilkan,  maka negara yang besar itu akan mengalami disintegrasi sosial yang berujung pada kehancuran.

Nasionalisme akan  benar-benar kokoh dan kuat jika dibangun dengan cara menghargai sebuah perbedaan. Namun fakta yang terjadi di Indonesia justru kebalikan dari menghargai suatu perbedaan. sebagian kelompok agamawan yang tidak mencerminkan akan hal itu banyak melakukan diskriminasi, kekerasan terhadap mereka yang berbeda. Bahkan mereka mendoktrin orang-orang untuk tidak perlu ikut serta dalam kepentingan negara, dilarangnya untuk cinta tanah air, haramnya seseorang untuk berjiwa nasionalis.

Ali Maschan Moesa, Dalam bukunya yang berjudul “Nasionalisme Kiai Konstruktif Sosial berbasis Agama” Menjelaskan tentang pentingnya mencintai tanah air.  Dengan mengambil teladan para Kiai yang sudah mempunyai semangat nasionalisme yang tinggi, serta wawasan keagamaan yang sangat luas. Agar mampu memberikan pengaruh terhadap masyarakat secara umum. kajian dalam buku tersebut menekankan pada peran agama dalam menumbuhkan nilai nasionalisme yang tinggi di Indonesia.

Adapun relasi agama dan negara, para Kiai memberikan konsep negara yang tidak harus menggunakan simbol Islam. Sejatinya hal itu memang sudah menjadi bukti awal kemerdekaan. Para Kiai tidak serta-merta menamakan negara ini menjadi negara Islam. Karena kita berjuang bersama. Jadi  yang terpenting di Indonesia  adalah Islam mampu memberikan warna terhadap negara dengan nilai-nilai atau ajarannya.

Dilihat dari  sejarah perkembangan masyarakat di Eropa Barat mengenai sistem kenegaraan.  Pada abad pertengahan 7 M hingga abad ke 15 M. Para pastor memanfaatkan banyaknya Gereja untuk menguasai aktivitas kehidupan masyarakat dalam bernegara. Sehingga Para pastor dengan mudah menggabungkan agama dan negara. Semua aturan harus di bawah kekuasaan para pastor Gereja. Istilah penyebutan saat itu Patristic Romawi.

Adapun fungsi Gereja saat itu bukan hanya digunakan sebagai tempat ibadah keagamaan. Namun juga berfungsi sebagai Institusi negara. Semua digabung menjadi satu-kesatuan antara agama dan negara.  Sehingga orang-orang pada saat itu banyak melakukan penyelewengan dalam bernegara dengan mengatasnamakan kepentingan agama. Baik tidak acuhnya terhadap kepentingan negara, nilai sosial mereka semakin renggang, sehingga ada pergeseran mengenai paham kenegaraan. Penyelewengan tersebut memberikan pengaruh besar bagi perkembangan negara pada saat ini.

Di Indonesia persoalan tentang semangat kenegaraan sangat begitu mengkhawatirkan. Dari kondisi masyarakat yang mulai lemah dalam berjiwa nasionalis, hingga sampai adanya propaganda mengenai haramnya nasionalisme dengan atas dasar agama.  Sejak masa Soekarno dan M. Natsir, persoalan tentang agama dan negara terjadi perdebatan yang belum usai hingga saat ini. Soekarno berpandangan bahwa agama dan negara harus dipisahkan secara eksistensinya. Pandangan tersebut didasarkan pada tujuan bahwa politik adalah kekuasaan negara, sedangkan tujuan agama adalah kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Sementara M. Natsir memiliki pandangan yang berbeda. M. Natsir menganggap bahwa agama dan negara tidak bisa dipisahkan eksistensinya. Landasan berpikir ini didasari oleh pemahamannya bahwa agama sendiri terdapat ajaran yang memerintahkan untuk hidup bernegara demi mewujudkan kebahagiaan bersama dalam beragama dan bernegara.

Dari perbedaan pandangan kedua tokoh tersebut bukan lantas keduanya saling bertolak belakang dan berusaha untuk menyatukan dan berusaha memisahkan antara agama dan negara. Akan tetapi  ada kekhawatiran dalam diri mereka tentang kondisi bangsa pada saat ini mengenai masyarakat dalam beragama dan bernegara. Semuanya adalah tokoh nasionalis yang cinta tanah air. Karena mencintai tanah air adalah suatu tindakan yang akan  memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan dan kemajuan negara kita.

Kita adalah masyarakat yang beragama, yang mana dalam agama terkandung ajaran tentang pentingnya ber-sosial dengan baik. Karena nilai sosial yang baik merupakan  modal utama dalam bermasyarakat dengan baik pula.  Karena  dalam suatu negara jika memiliki masyarakat yang baik, adil, rukun dan damai, maka akan tumbuh jiwa nasionalisme yang tinggi dalam diri masyarakat tersebut. Karena  masyarakat nantinya bisa saling memberikan motivasi dan semangat satu sama lain dalam berjuang demi tercapainya cita-cita bangsa ini. Wallahu a’lam bishawab.

This post was last modified on 10 Agustus 2018 10:09 AM

Saiful Bahri

Recent Posts

Cara Islam Menyelesaikan Konflik: Bukan dengan Persekusi, tapi dengan Cara Tabayun dan Musyawarah

Konflik adalah bagian yang tak terelakkan dari kehidupan manusia. Perbedaan pendapat, kepentingan, keyakinan, dan bahkan…

2 hari ago

Beragama dalam Ketakutan: Antara Narasi Kristenisasi dan Persekusi

Dua kasus ketegangan umat beragama baik yang terjadi di Rumah Doa di Padang Kota dan…

2 hari ago

Bukti Nabi Sangat Menjaga Nyawa Manusia!

Banyak yang berbicara tentang jihad dan syahid dengan semangat yang menggebu, seolah-olah Islam adalah agama…

2 hari ago

Kekerasan Performatif; Orkestrasi Propaganda Kebencian di Ruang Publik Digital

Dalam waktu yang nyaris bersamaan, terjadi aksi kekerasan berlatar isu agama. Di Sukabumi, kegiatan retret…

3 hari ago

Mengapa Ormas Radikal adalah Musuk Invisible Kebhinekaan?

Ormas radikal bisa menjadi faktor yang memperkeruh harmoni kehidupan berbangsa serta menggerogoti spirit kebhinekaan. Dan…

3 hari ago

Dari Teologi Hakimiyah ke Doktrin Istisyhad; Membongkar Propaganda Kekerasan Kaum Radikal

Propaganda kekerasan berbasis agama seolah tidak pernah surut mewarnai linimasa media sosial kita. Gejolak keamanan…

3 hari ago