Narasi

Menjadi Islam Berjiwa Nasionalisme untuk Indonesia Damai

HOS tjokroaminoto pernah berujar bahwa Islam memajukan nasionalisme sejati dan bukan nasionalisme yang sempit. Sepenggal pernyataan pendiri Sarekat Islam ini, bisa menjadi penguat bahwa Islam merupakan agama yang mendukung nasionalisme dan menjunjung tinggi kebhinekaan. Kalau kita tilik rekam jejak sejarah nasional, Islam pun mudah masuk ke Nusantara yang kala itu mayoritas mempunyai latar struktur sosial dan kultural beragam. Padahal saat itu, agama mayoritas yang berkembang ialah Hindu dan Budha, tetapi karena Islam begitu lembut dan cinta damai, membuatnya mudah diterima oleh masyarakat.

Kini kelahiran republik ini akan menginjak titian ke tujuh puluh tiga. Usia yang sudah demikian matang, bahkan sudah renta untuk ukuran manusia. Dalam sejarah panjang revolusi bumi pertiwi ini, sedari perjuangan meraih kemerdekaan, perjuangan mempertahankannya, hingga kini mengisinya dengan pembangunan, kita tentu tidak menampik peran agung dari Islam. Ajaran Islam banyak tertancap, menyusup, menjiwai dalam sanubari dalam pembentukan NKRI ini.

Fakta sejarah telah berbicara salah satu tokoh heroik, K.H. Hasyim Asy’ari menggagas lahirnya resolusi jihad 22 Oktober 1945. Resolusi jihad ini menurut Muhammadun (2013) merupakan manifestasi nasionalisme para ulama serta kyai dalam membela tegaknya kemerdekaan Indonesia dengan mengeluarkan “fatwa jihad” untuk berperang melawan penjajah. Nasionalisme melekat kuat dalam diri K.H. Hasyim Asy’ari. Terlebih, saat itu umat Islam sedang digegerkan oleh ide Pan-Islamisme Jamaluddin al-Afghani yang mendorong tumbuhkembangnya jiwa nasionalisme masyarakat Islam di Indonesia.

Islam juga telah turut berkontribusi besar dalam perumusan ideologi bangsa, yakni Pancasila. Cendekiawan Islam,  KH. Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, beberapa di antara Panitia Sembilan yang urun rembuk di dalam perumusan Pancasila. Pun demikian dengan rumusan dasar negara UUD 1945, dalam alenia ketiga Pembukaan (Preambule) UUD 1945, yang berbunyi,”atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur”, merupakan penggalan yang mengandung nilai-nilai ke-Islaman.

Penegasan ini perlu ditekankan lagi, mengingat dewasa ini jamak mencuat anggapan keliru, bahwa ber-Islam, berarti tidak nasionalis atau anti-kebhinekaan. Padahal kita tahu sendiri, sejarah bumi pertiwi ini sedari awal nomenklaturnya Nusantara hingga kini Indonesia, kontribusi Islam adalah suatu keniscayaan yang tak terbantahkan. Sederetan nama pahlawan nasional dan pejuang kemerdekaan pun tak luput dari orang-orang Islam.

Kita tentu masih ingat, kumandang Allahu Akbar Bung Tomo tatkala mengobarkan semangat perjuangan arek-arek Suroboyo. Bahkan, Bung Tomo memompa semangat rakyat Surabaya yang punya semboyan, lebih baik berjuang dan mati, dari pada hidup dijajah lagi  (Muhammad, 2006: 21-27). Apakah Bung Tomo merupakan orang yang tidak nasionalis. Sementara, ia begitu getol menyulut kobaran semangat para pejuang Indonesia agar tetap menyala.

Ternyata, Bung Tomo bukan satu-satunya, Jenderal tangguh nan karismatik Sudirman, selain menggaungkan Takbir saat menakhodai perang kerap mengutip kalimat “Isy kariiman         aumut syahidan” yang bermakna ”Hidup mulia atau mati syahid”. Sang Panglima dalam setiap pidatonya juga seringkali mengutip ayat-ayat Al-Qur’an, seperti Q.S. Al-Baqarah ayat 154 serta Ash-Shaff ayat 10 dan 11 berkaitan dengan hakikat jihad. Lalu, elokkah kita menyebut Jenderal Sudirman anti-kebhinekaan, tentu tidak. Dan masih banyak lagi para pejuang Islam lainnya, yang tentunya bukan orang-orang yang menentang Pancasila.

Sederet nama-nama pahlawan Islam yang nasionalis dan cinta tanah air itu menegaskan bahwa Islam sangat menghormati nasionalisme. Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam juga harus mengukuhkan rasa nasionalisme dan cinta tanah air, sebagaimana hadist yang artinya “cinta tanah air adalah sebagian dari iman”. Makanya, kita wajib rela berkorban untuk kepentingan Indonesia, seperti halnya ajaran dalam Q.S. Ali Imran (3): 92 dan Al-Hasyr (59): 9. Hal itu dalam rangka memajukan pergaulan untuk persatuan dan juga kesatuan bangsa, sebagaimana diajarkan dalam Q.S. Al-Hujurat (49): 13. Harapannya dengan menjadi Islam yang juga nasionalis, kita akan selalu menghormati dan menghargai agama lain, sehingga persatuan dan kesatuan bangsa akan tetap kokoh terjaga. Pun demikian dengan kedamaian negeri akan senantiasa terawat, semoga.

This post was last modified on 1 Agustus 2018 11:06 AM

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

17 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

17 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

17 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

17 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago