Narasi

Menemukan Jati diri Islam Rahmatan Lil’alamin dalam Puasa

Kalau kita amati, setiap ibadah amaliah di dalam Islam sejatinya memiliki nilai Rahmatan Lil’alamin. Seperti ibadah puasa Ramadhan yang meniscayakan jati diri yang peduli sama dan bisa menumbuhkan kasih-sayang.

Puasa di bulan suci Ramadhan semata menemukan jati diri kita yang sejatinya saling membutuhkan orang lain. Maka, kesadaran ini harus tumbuh. Sebagai spirit Ramadhan yang bisa merangkul perbedaan untuk bisa saling menghargai.

Memang, menghargai perbedaan itu terasa sulit ketika kita masih menanam sikap merasa paling benar. Maka, di dalam puasa Ramadhan inilah, kita diajarkan untuk membunuh sikap pongah diri.

Cobalah kita pahami dalam konteks puasa misalnya, setiap rasa lapar dan rasa haus yang kita rasakan. Pasti akan memahami bagaimana kondisi orang yang sedang dalam posisi itu. Di sinilah rasa memiliki saudara dalam kemanusiaan itu mulai terbangun.

 Kita bisa mengenal jati diri yang sejati bahwa keberadaan dirinya juga untuk orang lain. Orientasi yang semacam ini akan semakin terbentuk yang namanya kesadaran akan pengakuan tentang di luar dirinya.

Sebagaimana yang kita ketahui, bentuk kebencian kita atas orang yang beda agama. Sebetulnya bukan sebuah kesadaran tentang agama itu sendiri. Sebab, diri kita lupa bahwa kita bersaudara dengan mereka dalam konteks kemanusiaan meskipun beda agama.

Sehingga, puasa adalah cara kita (merenungkan diri) menemukan kesejatian. Bahwa kesejatian hidup akan terbangun dalam kesadaran bahwa kita sebetulnya perlu saling melengkapi. Tanpa ada rasa saling membenci dan intoleransi.

Bulan Ramadhan yang penuh berkah adalah jalan meditasi bagi umat Islam. Sebab, rasa lapar yang dirasakan tampaknya akan semakin menjernihkan pikiran dan segala sikap kita. Menahan makan-minum dan berdiam diri menjauhi segala keburukan.

Puasa akan melatih kita untuk tetap diam, menahan segala “hasrat” keinginan duniawi. Serta, belajar untuk menahan segala yang berkaitan dengan keburukan. Sehingga, di sinilah kita sebetulnya bisa melatih mengontrol emosi.

Sebab, segala kebencian dan intolaransi itu tumbuh dalam emosi dan ego yang memuncak. Maka, dari sinilah korelasi etis bahwa puasa pada dasarnya dapat kita jadikan perisai. Untuk melawan segala kebencian dan intoleransi itu sendiri.

Seperti yang Saya sebutkan di atas. Bahwa, kebencian dan intolerant tidak akan tumbuh dalam kondisi diri yang “hening”. Puasa pada dasarnya akan melahirkan kedamaian hati dan pikiran yang terkontrol ke dalam laku kebaikan-kebaikan kita.

Saya percaya, bahwa kebencian dan intoleransi dapat kita hilangkan dalam diri. Dengan menjadikan puasa sebagai jalan untuk mengenal jati diri Islam rahmatan lil’alamin yang anti kebencian dan intoleransi.

This post was last modified on 27 Maret 2023 7:05 PM

Nur Samsi

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

38 menit ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

39 menit ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

41 menit ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

43 menit ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago