Narasi

Mengapa Butuh Khilafah?

Saya mempelajari sistem khilafah yang ditawarkan banyak orang dari berbagai literatur klasik. Salah satu yang saya pelajari adalah sebuah kitab berjudul “al Khiafah Wal Mulk” karya Ibn Taymiyyah. Defenisi yang ditawarkan Ibn Taymiyyah dalam buku ini soal khalifah adalah orang yang mengganti posisi atau kedudukan orang lain. Dasar pemikiran Ibn Taymiyyah adalah bahwa dalam beberapa hadits, Nabi selalu menganjurkan agar ada seorang pemimpin, baik dalam perjalanan maupun dalam kelompok.

Ibn Taymiyyah tidak mendefenisikan khalifah sebagai pengganti dari orang lain (khalafan ‘an ghairih). Karena, demikian Ibn Taymiyyah, khalifah merupakan hamba Allah, makhluk biasa, dan tidak lepas dari salah dan dosa (‘abdullah, makhluqun, la ma’shumun).  Oleh karena itu Ibn Taymiyyah menolak keras apa yang dikatakan oleh Ibn Araby bahwa khalifah merupakan pengganti dari Allah (naib ‘anillah). Secara spesifik Ibn Taymiyyah mengatakan Allah tidak memiliki pengganti (khalifah), tetapi khalifah yang dimaksud disini adalah pengganti dari orang lain. (la yajuzu an yakuna lillah khalifatan, bal huwa al khalifah lighairih).

Ibn Taymiyyah benar. Karena apabila disandarkan pada pendapat Abu Bakar, ra. jelas bahwa tidak ada pengganti Allah. Ketika seseorang memanggil Abu Bakar, ra. dengan panggilan “ya khalifatallah”, beliau menolak. Lastu bi khalifatillah wala kinny khalifatu rasulillah saw.. Saya bukan pengganti Allah tetapi saya hanyalah khalifah (pengganti) Rasulillah. Bahkan dalam pidato pertamanya, setelah diangkat menjadi khalifah kala itu, Abu Bakar dengan terang benderang mengatakan bahwa dirinya bukan yang terbaik. Sehingga beliau meminta untuk mentaatinya jika benar menurut al Qur’an dan hadits dan mengabaikannya jika menyalahi keduanya.

Lebih lanjut, Ibn Taymiyyah mengatakan bahwa seorang khalifah itu sangat mungkin salah. Kalau pun melakukan kebenaran tidak selamanya diterima oleh semua kalangan. Hal ini karena kebijakan seorang khalifah terkadang memang mampu menyelesaiakan persoalan umat namun sesekali mengalami kegagalan. Taratan yakunu kamilan mani’an min jami’il adza wa taratan la yamnau illa ba’dh al adza. Namun hal terpenting yang harus dikuatkan dalam hati seorang khalifah adalah tekad bulat untuk mensejahterakan seluruh umat dengan cara yang adil dan bijaksana. Oleh karena itu, Ibn Taymiyyah tidak mempersoalkan apakah orang tersebut dinamai khalifah, raja, atau sulthan. Karena kunci utama yang ditekankan oleh Ibn Taymiyyah bukan pada persoalan nama tapi kepada sikap dan tekad untuk menegakkan keadilan.

Pendapat Ibn Taymiyyah ini diperkuat oleh Abdul Ghani dalam “Al Khilafah wa Sulthah al Ummat”. Bahwa persoalan pilihan sistem khilafah merupakan masalah al furu’iyyah al fiqhiyyah yang bisa diabaikan dalam suatu waktu. Karena, demikian Abdul Ghani, sistem khilafah bukan merupakan masalah-masalah al i’tiqadiyyah yang apabila tidak dilaksanakan mengakibatkan kekufuran. Hukumnya pun hanya jaiz/boleh. Karena tujuan utama dari sebuah sistem kenagaraan adalah keadilan dan kesejahteraan rakyatnya.

Lebih jelas, Dhiya’ al Din dalam “al Nadhariyyat al Siyasah al Islamiyyah” menjelaskan bahwa salah satu tujuan utama dalam sistem khilafah adalah kebebasan berfikir bagi setiap individu (hurriyah al tafkir lil fard) dan memenuhi segala kebutuhan umat secara umum. Itulah mengapa syarat pertama dalam pemilihan kepala negara, menurut al Mawardi dalam “Al Ahkam al Sulthaniyyah” bukanlah soal agama melainkan keadilan. Keadilan inilah yang membuat orang bisa bersikap secara bijak baik terhadap kawan maupun lawan.

Berlandas pacu pada pendapat di atas penting kiranya kita menengok kondisi politik Indonesia. Sebagai umat Islam yang tinggal dan bernaung di bawah negara Pancasila akan segera mengakui bahwa arah Negara ini menuju keadilan yang beradab. Dari sejak berdirinya hingga saat ini tidak ada kegiatan-kegiatan ubudiyyah umat Islam yang dicegah dan dihalang-halangi oleh Negara. Sebaliknya, satu-satunya negara di dunia ini yang memiliki menteri agama hanyalah Indonesia. Hal ini bisa dijadikan bukti bahwa umat Islam secara leluasa bisa melaksanakan apapun yang diajarkan dalam Islam.

Demikian juga hukum-hukum yang bertebaran di dalam kitab fiqh tidak sedikit yang dijadikan landasan pacu bagi tegaknya hukum-hukum Islam baik yang furu’ lebih-lebih yang ushul. Hukum pernikahan misalnya, hampir seratus persen mengambil dari kitab-kitab fiqh syafi’iyyah. Lalu, jika negara ini sudah memberikan kebebasan bagi umat Islam untuk melaksanakan ajaran-ajarannya, lalu mengapa masih butuh sistem khilafah?

Abdul Muiz Ghazali

Pegiat sosial-keagamaan dan aktif mengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Cirebon.

Recent Posts

Agama Sumbu Pendek; Habitus Keagamaan yang Harus Diperangi!

Indonesia dikenal sebagai negara religius. Mayoritas penduduknya mengaku beragama dan menjalankan ajaran agama dalam kehidupan…

22 jam ago

Evaluasi Kebebasan Beragama di Indonesia 2025

Kebijakan presiden Joko Widodo dalam memerangi aksi ekstremisme dan ideologi radikal terorisme pada 2020 pernah…

23 jam ago

Jangan Membenturkan Kesadaran Nasional dengan Kesadaran Beragama

Dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, narasi yang mencoba membenturkan antara kesadaran nasional dan kesadaran…

23 jam ago

Dialektika dan Titik Temu Nasionalisme dan Ukhuwah

Indonesia, sebuah panggung peradaban yang tak henti menyuguhkan lakon dialektis antara partikularitas dan universalitas, adalah…

23 jam ago

Nasionalisme, Ukhuwah Islamiah, dan Cacat Pikir Kelompok Radikal-Teror

Tanggal 20 Mei berlalu begitu saja dan siapa yang ingat ihwal Hari Kebangkitan Nasional? Saya…

2 hari ago

Ironi Masyarakat Paling Religius: Menimbang Ulang Makna Religiusitas di Indonesia

Indonesia kembali dinobatkan sebagai negara paling religius di dunia menurut dua lembaga besar seperti CEOWORLD…

2 hari ago