Narasi

Mengapa Perempuan Rentan Terlibat Gerakan Terorisme?

Hanya berselang empat hari pasca aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, aksi teror kembali terjadi. Kali ini sasarannya tidak main-main; Markas Besar Polri di Jakarta. Seorang perempuan bersenjata api menerobos kantor Mabes Polri dan mengacung-acungkan senjatanya ke petugas kepolisian. Polisi pun sigap melumpuhkannya dengan timah panas.

Belakangan terungkap, pelaku berinisial ZA, perempuan berusia 26 tahun itu merupakan simpatisan ISIS. Peristiwa ini menambah daftar panjang aksi terorisme yang dilakukan perempuan. Sebelumnya, kita juga menyaksikan keterlibatan perempuan dalam sejumlah aksi terorisme, mulai dari bom Surabaya tahun 2018 sampai bom Makassar beberapa hari lalu.

Selain itu, ada beberapa aksi teror yang juga dilakukan oleh perempuan seorang diri, antara lain aksi bom panci di Bekasi yang dilakukan oleh Dian Yulia Novi pada tahun 2016. Pada tahun 2018, dua perempuan yakni Siska dan Dita berencana melakukan penyerangan ke Mako Brimob Depok. Keduanya juga merupakan anggota ISIS.  

Deretan aksi terorisme yang melibatkan perempuan sebagai pelaku utamanya ini menandai adanya pergeseran pola. Dulu, aksi terorisme identik dengan maskulinisme dan hanya dilakukan oleh laki-laki. Jika pun perempuan terlibat, perannya tidak lebih dari sekadar perantara. Namun, kini polanya mulai berubah. Banyak perempuan yang tidak lagi memegang peran minor dalam aksi teror, namun menjadi pelaku utama, bahkan pelaku tunggal.

Hal ini dilatari oleh kemunculan ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria). Berbeda dengan organisasi teroris seperti al Qaeda, Taliban, Jamaah Islamiyyah dan sebagainya, ISIS cenderung memiliki pola baru dalam mempropagandakan kekerasan dan menyebarkan ideologi teror. Salah satu titik pembedanya ialah melibatkan keluarga (termasuk perempuan dan anak-anak) dalam aksi-aksi teror mematikan.

Propaganda ideologi kekerasan yang dilancarkan ISIS memang tidak hanya menyasar laki-laki, namun juga perempuan dan anak-anak. Hal inilah yang membuat perempuan “naik kelas” tidak hanya sekedar menjadi perantara dalam aksi teror namun menjadi bagian dari aktor utama. Di Indonesia, keterlibatan langsung perempuan dalam terorisme mulai tampak pada tahun 2014 dan berlangsung hingga sekarang.

Aksi teror lone-wolf yang dilakukan ZA di Mabes Polri ialah bukti tidak terbantahkan bagaimana perempuan memiliki peran strategis dalam jaringan teroris. Data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan bahwa pada tahun 2018 ada setidaknya 13 perempuan terlibat aksi terorisme. Jumlah itu meningkat menjadi 15 orang pada tahun 2019.

Ada banyak tinjauan terkait keterlibatan perempuan dalam terorisme. Para pegiat isu gender melihat fenomena ini sebagai bentuk perlawanan terhadap ketimpangan yang dialami perempuan. Selama ini, perempuan cenderung dianggap inferior, utamanya ketika dibandingkan dengan laki-laki. Keterlibatan perempuan dalam aksi teror bisa dipahami sebagai bentuk perlawanan terhadap stigma tersebut.

Perempuan Sebagai Agen Perdamaian

Namun, sebagian kalangan justru menilai sebaliknya. Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme justru merupakan wujud dari masih kentalnya budaya patriarkisme di masyarakat. Perempuan yang tidak memiliki otonomi dan diposisikan sebagai subordinat laki-laki kerapkali dipaksa terlibat dalam aksi terorisme oleh laki-laki (suami, teman, atau keluarga) tanpa bisa mengelak. Artinya, perempuan kerap dalam posisi fait accomply alias tidak punya pilihan.

Posisi perempuan yang lemah dan cenderung memiliki loyalitas tinggi lantas dimanfaatkan oleh organisasi jaringn teroris. Perempuan pun lantas menjadi target utama indoktrinasi dan rekrutmen dari kelompok jaringan teror. Di saat yang sama, perempuan yang tidak memiliki wawasan keagamaan yang luas dan tingkat literasinya rendah sangat mudah terpapar ideologi dan gerakan radikal-terorisme.

Namun, di luar analisis gender itu, ada faktor lain yang tidak kalah signifikan. Yakni bahwa banyak perempuan yang memang secara prinsip mendukung gagasan khilafah sebagai sistem yang sesuai syariah Islam. Sejumlah survei menunjukkan bahwa banyak perempuan yang secara sadar mendukung gagsan khilafah dan bersimpati pada gerakan atau paham radikal-teroris.

Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme merupakan akumulasi dari setidaknya dua faktor, yakni internalisasi ideologi radikal sekaligus posisi perempuan yang cenderung lemah di masyarakat. Dalam kasus penyerangan di Mabes Polri misalnya misalnya, jelas bahwa faktor utamanya ialah internalisasi ideologi radikalisme. Hal ini terlihat dalam surat wasiat yang ditinggalkan pelaku untuk keluarga.

Dalam surat wasiat itu, pelaku menulis bahwa ibadah paling tinggi ialah “jihad” yang ia terjemahkan sebagai melakukan aksi teror terhadap simbol negara. Ia meyakini aksinya itu akan mengantarkannya ke surga dan bisa dijadikan sya’faat alias penolong bagi keluarganya di akhirat kelak.

Berkaca dari fenomena di atas, penting kiranya kita (pemerintah dan masyarakat) untuk merumuskan strategi bagaimana mencegah perempuan terlibat gerakan terorisme. Penting kiranya pemerintah menjadikan perempuan sebagai salah satu target narasi kontra-ekstremisme. Perempuan sebagai kelompok rentan terpapar paham radikal-terorisme harus diberikan perhatian dan porsi khusus dalam konteks kontra-radikalisasi.

Disinilah pentingnya penguatan wawasan kebangsaan bagi perempuan sekaligus penanaman moderasi keberagamaan yang kuat. Penting pula untuk melibatkan perempuan dalam pengambilan kebijakan terutama menyangkut persoalan radikalisme-terorisme. Hal ini akan membuat perempuan tidak lagi merasa hanya menjadi obyek kebijakan, namun juga memiliki kesadaran penuh untuk melawan radikalisme dan terorisme.

Dalam lingkup internal atau domestik keluarga, perlunya memberikan otonomi pada perempuan, baik sebagai istri maupun anak. Perempuan perlu diberdayakan pemikiran dan tenaganya agar tidak semata menjadi subordinat dari laki-laki (suami atau ayahnya). Otonomi perempuan penting untuk membangun kemandirian berpikir agar tidak mudah terjerumus ke dalam narasi-narasi yang bertentangan dengan ideologi bangsa.

Arkian, perempuan idealnya menjadi agen perdamaian, sebagaimana citranya sebagai sosok makhluk yang lembut dan penyayang. Jangan sampai citra perempuan itu luntur oleh ulah segelintir oknum yang terjerumus dalam gerakan radikal-terorisme.

This post was last modified on 1 April 2021 1:56 PM

Arfi Hidayat

Recent Posts

Fikih Siyasah dan Pancasila, Membaca Ulang Negara yang Berketuhanan

Ketika berbicara tentang Pancasila sebagai dasar negara, sering kali kita mendengar diskusi seputar falsafah kebangsaan,…

21 menit ago

Perihal Fatwa Memilih Pemimpin Seakidah: Kemunduran Demokrasi dan Kemandulan Ijtihad

Jelang hari pencoblosan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah mengeluarkan fatwa tentang memilih calon kepada…

22 menit ago

Mewaspadai Ancaman Radikalisme Politik Menjelang Pilkada 2024

Seluruh elemen masyarakat untuk terus waspada terhadap bahaya radikalisme dan terorisme yang dapat mencederai nilai-nilai…

1 hari ago

Memilih Pemimpin sebagai Tanggungjawab Kebangsaan dan Keagamaan

Pemilu atau Pilkada adalah fondasi bagi keberlangsungan demokrasi, sebuah sistem yang memberi kesempatan setiap warga…

1 hari ago

Pilkada Damai; Jangan Bermusuhan Hanya Karena Beda Pilihan!

Pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia selalu menjadi momen penting untuk menentukan arah masa depan…

1 hari ago

Pilkada dan Urgensi Politik Santun untuk Mencegah Perpecahan

Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…

2 hari ago