International Union of Muslim Scholars (IUMS), sebuah organisasi dari ulama muslim dari perwakilan negara yang berbasis di Qatar mengeluarkan fatwa kewajiban jihad melawan Israel. Para ulama yang tergabung menyerukan jihad sebagai fardhu ain bagi setiap individu muslim dan negara untuk membela Palestina. Kondisi semakin memburuknya situasi di Jalur Gaza pasca gencatan senjata yang tidak diindahkan oleh Israel menyebabkan tragedi kemanusiaan yang semakin tragis.
Persoalannya, apakah fatwa jihad ini mengikat seluruh umat Islam di seluruh dunia? Apakah pula fatwa jihad ini menjadi solusi yang efektif bagi perdamaian di Palestina, khususnya jalur Gaza? Apakah ada celah dari dampak negatif yang ditimbulkan dari fatwa ini?
Pertama tentu kita harus apresiasi tingkat kepedulian dan pembelaan seluruh kalangan terhadap perjuangan rakyat Gaza terhadap penjajahan rezim Zionis Israel. Solidaritas dan bantuan kemanusiaan dan peran negara dalam jalur diplomasi sangat dibutuhkan dan ditunggu oleh masyarakat Gaza. Sampai persoalan ini semua tentu sepakat dengan pembelaan terhadap kemerdekaan sejati Palestina dan pembebasan Jalur Gaza dari penindasan Israel. Tetapi, apakah fatwa jihad adalah solusi yang tepat?
Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara resmi menyatakan dengan tegas dukungannya terhadap fatwa IUMS ini. Bagi MUI fatwa tersebut sudah sejalan dengan keputusan Ijtima MUI yang selama ini dikumandangkan. Membela Palestina adalah kewajiban agama bagi mereka yang mampu. Begitu pula, Mufti Agung Pakistan Taqi Usmani juga mendukung dengan menyerukan boikot total terhadap Israel dan pendukungnya. Ia pun mendesak negara-negara muslim jihad melawan Israel.
Ulama terkemuka dari Mesir, Yasser Burhami yang pro Pemerintah, justru menolak fatwa IUMS ini. Selain dari aspek syar’I, tentu ada alasan politis yang melatari argument mereka. Fatwa ini dipandang tidak realistis dan berpotensi bertentangan dengan perjanjian damai Mesir dengan Israel 1979. Ada seruan fatwa ini agar negara muslim dan mayoritas muslim tidak berhubungan dengan Israel tentu sangat berdampak secara politis terhadap negara-negara yang mempunyai perjanjian.
Mufti Besar Mesir Nazir Ayyad juga bersilang pendapat dengan keputusan IUMS. Ia menilai bahwa tidak ada kelompok atau entitas individu yang berhak mengeluarkan fatwa tentang masalah yang sensitif tersebut. Fatwa ini dinilai akan membahayakan keamanan masyarakat dan stabilitas negara-negara muslim lainnya. Dukungan terhadap rakyat Palestina merupakan kewajiban agama, kemanusiaan dan moral yang tidak terbantahkan. Namun, dukungan tidak boleh berpotensi semakin merunyamkan kondisi yang ada.
Jihad dalam konteks hari ini, harus diwujudkan dalam otoritas negara dan kepemimpinan politik yang diakui. Bukan dengan fatwa-fatwa dari individu atau serikat yang tidak mewakili umat Islam. Seruan jihad tanpa melihat kemampuan politik, militer dan ekonomi negara muslim adalah yang tidak yang bertentangan dengan prinsip syariah. Fatwa jihad tersebut justru akan mengundang kekacauan baru bukan meredakan persoalan.
Ketakutan lain dari kritik terhadap fatwa IUMS ini adalah potensi masyarakat yang bisa menentang keputusan negara. Dengan atas nama jihad, warga negara bisa melawan dan menekan negaranya untuk melawan Israel. Fatwa ini dengan demikian, dianggap akan menjadi sumber penghasutan terhadap masyarakat muslim melawan negara yang bertentangan dengan prinsip syariah.
Terlepas dari pro kontra terhadap fatwa tersebut, persoalan solidaritas dan persatuan negara muslim memang menjadi persoalan. Sebuah survei dari Palestinian Centre for Public Opinion (PCPO) menegaskan ketidakpercayaan warga Palestina terhadap negara Arab-Islam dalam membantu Gaza dari serangan Israel. Lebih dari dua pertiga warga Palestina menegaskan hal itu.
Dalam konteks ini, sejatinya ada keraguan kebulatan suara negara-negara Arab khususnya dan negara mayoritas muslim pada umumnya terhadap perjuangan Palestina. Konteks fatwa IUMS harus dibaca secara hati-hati agar tidak menimbulkan kondisi yang lebih runyam di setiap negara muslim.
Jika dikatakan apakah wajib membela Palestina, tentu saja wajib. Apakah perlu jihad perang yang wajib mengikat setiap pribadi muslim yang mampu di berbagai negara? Ini persoalan yang perlu tafsir dan kontekstualisasi yang cermat. Ketidakcermatan dan salah tafsir rentan dimanfaatkan kelompok tertentu dengan mengatasnamakan jihad melakukan tindakan yang salah di negara masing-masing.
Ketakutan munculnya perlawanan warga muslim di negara-negara yang ditinggali bukan suatu yang dilebih-lebihkan. Sejak dulu isu Palestina kerap ditunggangi oleh kelompok politik kepentingan yang secara destruktif melakukan perlawanan dan kekerasan di tingkat lokal dan nasional. Fatwa jihad tidak boleh dibajak oleh mereka dengan melakukan kekerasan yang membabi-buta yang justru dapat melanggar prinsip syariah.
Cara menerjemahkan jihad perlawanan terhadap Israel dalam konteks hari ini adalah bahwa jihad membela Palestina dibutuhkan dengan mendorong persatuan seluruh negara Arab-Muslim untuk memberikan perlawanan diplomasi dan politik terhadap Israel. Jalur negara dan diplomasi dianggap wajib dan mutlak. Sementara di tingkat lokal masyarakat memaknai jihad dengan kemampuan harta dan boikot terhadap produk Israel.
Keluarnya fatwa jihad melawan Israel oleh International Union of Muslim Scholars kiranya dapat dipahami dari…
Persis dua tahun lalu, untuk pertama kalinya dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin 15…
Pada April 2025, Internasional Union of Muslim Scholars (IUMS), sebuah organisasi para ulama dan cendekiawan…
Pada 5 April 2025, komite Fatwa dan Yurisprundensi IUMS mengeluarkan fatwa lanjutan terkait kewajiban seluruh…
Organisasi internasional yang menaungi ulama Muslim di berbagai belahan dunia International Union of Muslim Scholars…
Suara takbir menggema di ruas-ruas jalan di berbagai negara di dunia. Nama Gaza dielu-elukan sebagai…