Narasi

Mengeliminasi 4 Hawa Nafsu Politik di Bulan Suci

Pada tanggal 20 Maret 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi telah mengumumkan hasil rekapitulasi nasional perolehan suara Pilpres dan Pileg 2024. Artinya apa? Ini adalah tanda berakhirnya keterbelahan politik yang diselenggarakan 5 tahunan itu.

Tugas kita telah selesai dan kita telah berhasil (berikhtiar) di dalam mengangkat seorang ulil amrih (pemimpin) yang harus kita terima secara bijaksana. Tugas kita selanjutnya adalah kembali (rekonsiliasi) ke jati diri yang bersaudara dan bersama membangun peradaban bangsa dengan pemimpin baru di masa depan.

Jangan terjebak ke dalam hawa nafsu politik yang menjadikan ketidakpuasan hasil pemilu sebagai legitimasi untuk merobek NKRI. Sebagaimana di momentum bulan suci Ramadhan ini, umat Islam perlu mengeliminasi 4 hawa nafsu politik pasca pemilu demi kembalinya tatanan sosial yang harmonis setelah pesta demokrasi 5 tahunan ini.

Pertama, puasa adalah (tafakkur) diri di dalam menghasilkan sikap adil dan bijaksana dalam melihat keputusan demokrasi. Sebab, ketidakadilan berpikir dan ketidakbijaksanaan itu lahir dari kecenderung ego penuh hawa nafsu yang kerap menggunakan segala cara agar pilihan politiknya menang.

Hawa nafsu politik yang demikian kerap melahirkan tindakan-tindakan yang menghalalkan segala cara. Seperti menebar fitnah seputar kecurangan pemilu, menebar kebencian dan provokasi yang melahirkan civil distrust. Hingga memunculkan pemberontakan di negeri ini.

Jadi, melalui spirit berpuasa inilah, kita dapat melunakkan kebebalan hati dan pikiran serta dapat mengeliminasi (mengontrol) hawa nafsu politik. Lalu muncul pikiran-pikiran yang menunjukkan rasa adil dan bijaksana di dalam melihat keberhasilan pemilu sebagai keberhasilan untuk kemaslahatan umat, bukan hanya sekadar ekspresi haus kekuasaan hingga sulit menerima kekalahan.

Kedua, menjadikan spirit puasa di bulan suci dalam mengeliminasi sikap fanatisme pilihan politik. Hawa nafsu politik yang cenderung fanatik terhadap pilihan politik membuat orang kerap lalai di dalam menggunakan akal sehatnya.

Terlena ke dalam kesadaran buta bahwa pilihan politiknya yang hanya dianggap paling benar dan paling layak. Di luar itu, dianggap pihak yang akan membawa keburukan. Tentu, dasar dari fanatisme politik bukanlah pikiran-pikiran yang objektif, tetapi pikiran yang penuh dengan sentiment.

Jadi, di momentum bulan puasa ini seharusnya menjadi (jalan pembersih diri). Untuk mengeliminasi hawa nafsu politik yang masih begitu banyak melahirkan perilaku yang sangat mengganggu kestabilan tatanan sosial dan perpecahan. Puasa adalah pemurnian diri untuk menghilangkan fanatisme menumbuhkan moderatisme, yaitu pikiran yang moderat dalam menyikapi pilihan politik secara damai pasca pemilu.

Ketiga, berpuasa melepaskan paradigma kebencian di dalam mengakhiri keterbelahan politik pasca pemilu. Sebagaimana, kebencian selalu melihat kebenaran bukan sebagai kebenaran. Kebencian selalu melihat kebenaran dan kebaikan hanya datang pada kelompoknya.

Kebenaran dari sisi orang lain (pilihan politik lain) dilihat sebagai yang dipandang buruk dan tak akan benar di mata yang penuh kebencian. Maka di momentum bulan suci Ramadhan, puasa kita adalah jalan pembersihan diri dari pola-pikir dan perilaku yang (penuh kebencian) agar tumbuh perilaku kasih-sayang.

Kasih-sayang pasca pemilu harus tumbuh di bulan suci. Mengakhiri segala bentuk keterbelahan politik. Dengan melihat hasil pemilu sebagai bagian dari suksesnya hajatan untuk kebaikan dan kemaslahatan bangsa ini. Jadi, berpuasa dalam mengeliminasi hawa nafsu kebencian politik yang berakar pada ego-ego kekuasaan.

Keempat, puasa adalah waktunya untuk kembali ke dalam jati diri yang bersaudara pasca keterbelahan politik. Sebagaimana di dalam puasa, kita diharuskan untuk (bersih) dari segala perilaku buruk. Bahkan, sebelum kita memasuki bulan Ramadhan, kita telah diminta untuk saling maaf-maaf-an sebagai bentuk penyucian diri untuk menyambut Ramadhan.

Puasa Ramadhan di bulan suci Ramadhan adalah waktu di mana kita harus kembali ke fitrah kita yang bersaudara dan bersama secara harmonis. Mengeliminasi segala pikiran yang terbelah secara politik. Dengan melahirkan pikiran yang (bersama dan harmonis) pasca berakhirnya keterbelahan politik itu sendiri.

Amil Nur fatimah

Mahasiswa S1 Farmasi di STIKES Dr. Soebandhi Jember

Recent Posts

Pilkada dan Urgensi Politik Santun untuk Mencegah Perpecahan

Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…

55 menit ago

Pilkada Damai Dimulai dari Ruang Publik yang Toleran

Dalam menghadapi Pilkada serentak, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan atmosfer damai yang…

58 menit ago

Tiga Peran Guru Mencegah Intoleran

Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Peringatan ini sangat penting lantaran guru merupakan…

60 menit ago

Guru Hebat, Indonesia Kuat: Memperkokoh Ketahanan Ideologi dari Dunia Pendidikan

Hari Guru Nasional adalah momen yang tepat untuk merenungkan peran penting guru sebagai motor penggerak…

1 jam ago

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago