Perkembangan teknologi dan media yang kian mutahir saat ini tidak bisa dipungkiri telah memberikan kontribusi besar terhadap kehidupan umat manusia. Salah satu manfaat yang paling terasa adalah kemudahan untuk mengakses informasi. Hanya dengan bermodalkan smartphone, setiap individu mempunyai akses tanpa batas untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dan terhubung dengan banyak orang di berbagai belahan dunia, kapanpun dan dimanapun.
Terlebih lagi dengan adanya berbagai aplikasi media sosial (baca: medsos) yang lebih memanjakan para penggunanya.
Meskipun demikian, selain mempunyai kontribusi positif yang begitu besar dalam kehidupan manusia, media sosial tidak bisa dipungkiri juga menciptakan sebuah ancaman yang tidak kalah besar pula.
Maraknya konten ujaran kebencian dan hoax merupakan salah satu contoh dari bahaya yang ditimbulkan oleh media sosial jika tidak digunakan untuk tujuan yang baik. Sepanjang tahun 2016-2017 tercatat jumlah kasus cybercrime semakin meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa media sosial bisa menjadi sebuah boomerang bagi kehidupan bermasyarakat terutama di Indonesia dengan latarbelakang yang beragam.
Ancaman tersebut semakin menghawatirkan ketika ujaran kebencian di dunia maya dimanfaatkan oleh sebagian orang dengan menggunakan isu agama untuk kepentingan pribadi atau golongan. Ironinya, mereka yang melakukan hal demikian seringkali menggunakan ayat-ayat suci sebagai alat legitimasi.
Salah satu dampak dari fenomena menjamurnya penggunaan ayat suci untuk menyebarkan kebencian di dunia maya adalah terbentuknya image buruk yang melekat pada agama – dalam hal ini Islam – itu sendiri. Islam kemmudian diasumsikan sebagai agama intoleran yang tidak memberikan ruang untuk berkompromi terhadap agama lain bahkan tidak jarang mendapatkan label sebagai agama teroris.
Semakin seseorang taat beragama, seakan-akan yang terlihat malah tidak menjadikan mereka menjadi juru damai. Sebaliknya, semakin garang dan jauh lah seseorang dari rasa kemanusiaan dan welas asih kepada sesama.
Mengembalikan Wajah Islam Damai
Citra buruk Islam sebagai agama intoleran dan teroris tidak serta merta muncul secara instant. Sebagaimana yang telah saya uraikan diatas bahwa image ini muncul karena banyaknya media daring yang menyebarkan paham intoleran dengan mengutip ayat al Quran sebagai legitimasi.
Mereka yang menyebarkan kebencian dengan menggunakan ayat al Quran pada umumnya menggunakan ayat-ayat jihad dan penggambaran orang kafir yang selalu memusuhi Islam dan tuntutan untuk memeranginya dengan tanpa melihat konteks ketika ayat tersebut diturunkan. Pemahaman yang cenderung tekstual dan mengeneralisir adalah ciri khas dari kelompok ini.
Berdasarkan hal tersebut, sudah selayaknya, gerakan tandingan dengan menyebarkan paham perdamaian dengan berlandaskan al Quran perlu untuk digaungkan. Tujuannya tidak lain adalah mengembalikan citra Islam damai yang secara tidak langsung telah dinodai oleh pemeluknya yang beraliran eksklusif radikal.
Pada tataran prakteknya, salah satu cara untuk mengembalikan citra islam sebagai agama damai dan welas asih (rahmtan lil “’alamin) adalah dengan mengkamapnyekan ayat-ayat tentang toleransi dan keniscayaan akan perbedaan.
Sebagai contoh, dalam Q.S. al Hud (11):118 yang menyatakan “Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu. Tetapi mereka selalu berselisih pendapat.”
Ayat tersebut mengajarkan bahwasa adanya perbedaan dalam kehidupan manusia memag sudah menjadi “titah” Tuhan Semesta Alam. Tujuannya tidak lain adalah agar manusia bisa saling menghormati perbedaan. Dengan saling menghargai perbedaan antar sesama, maka perdamaian pun bisa diwujudkan; karena jika dipahami lebih mendalam, kata perdamaian tidak akan pernah tanpa adanya perbedaan.
Disisi lain, penggunaan istilah-istilah islami yang saat ini yang telah disalah artikan secara salah kaprah dan identikkan dengan gerakan koservatif juga perlu mendapat perhatian. Kata “hijrah” misalnya saat ini identik dengan gerakan untuk meninggalkan pola kehidupan yang dianggap tidak islami.
Dalam banyak kasus, orang yang telah berhijrah kemudian, bagi perempuan, diharuskan menutup aurat dengan menggunakan cadar dan, bagi laki-laki, mengunakan celana cingkrang. Selain itu penggunaan kata sapaan akhiy dan ukhtiy juga menjadi simbol bahwa seseorang telah hijrah (beralih) pada kehidupan yang islami.
Padahal tolak ukur keimanan seseorang tidaklah bisa hanya diukur dari tampilan luar saja namun berdasarkan pada perilaku yang berlandaskan nilai-nilai keislaman; baik kepada Tuhan maupun sesama makhlukNya. Sebagaimana definisi iman itu sendiri, yakni “tahsdiiqu bil qolbi wan nuthqu bil lisaan wal ‘amalu bil jawaarih” (membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatan).
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…