Narasi

Mengenali Organisasi/komunitas Radikal di Kampus

Hampir seluruh lini kehidupan masyarakat berusaha dikuasai oleh kelompok radikal. Termasuk lingkungan kaum elit dan terpelajar seperti kampus. Perguruan tinggi adalah “lahan basah” yang sangat strategis bagi kelompok ini. Maka tidak heran beragam jurus dan taktik dikerahkan oleh kelompok radikal untuk menancapkan pengaruh dan menyebarkan ideologinya di kalangan mahasiswa. Salah satunya melalui pembentukan organisasi/komunitas di kampus yang dibentuk oleh gerakan radikal. Maka penting sekali bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa baru, untuk mengenali ciri-ciri kelompok radikal. Hal ini merupakan langkah antisipatif agar tidak tergiur bergabung dengan kelompok sejenis.

Saifuddin, dalam tulisan Radikalisme Islam di Kalangan Mahasiswa (Analisis, Volume XI, Nomor 1, Juni 2011), menjelaskan kalangan fundamentalis mulai melakukan pola perubahan gerakan dari kelompok awam menuju kelompok mahasiswa. Fundamentalis Islam mulai melakukan kaderisasi kaum intelektual. Strategi yang dilakukan adalah indoktrinasi ideologis yang akhirnya membuat mahasiwa sulit melepaskan diri dari jerat kelompok ini. Ada metamorfosa dalam gerakan Islam radikal di kampus.

Tidak banyak mahasiswa yang menyadari, bahwa saat awal duduk di bangku kuliah –atau bahkan sejak awal proses menjadi mahasiswa- mereka telah ditargetkan untuk menjadi pendukung gerakan radikal. Awal mulanya hanya sekedar berkenalan. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi terbatas dan tertutup. Jika ternyata calon korban tertarik, maka dilanjutkan dengan penanaman ideologi . Hingga akhirnya menjadi pengikut setia. Mereka inilah yang akan meneruskan siklus selanjutnya di masa yang akan datang.

Jika tiap tahun ajaran baru ada mahasiswa yang berhasil diajak bergabung, tentu dalam 5 tahun saja gerakan ini akan mendapatkan pengikut yang cukup signifikan. Jika pun secara kuantitas tidak banyak, secara kualitas kader-kader ini memiliki kemampuan gerak yang sangat lincah dan hebat. Sehingga jika kita lengah, perlahan tapi pasti, gerakan radikal akan terus membesar.

Beberapa karakter organisasi/komunitas radikal adalah sifat pemahamannya yang tertutup terhadap pihak lain. Hanya ajaran mereka yang paling benar, sementara lainnya salah. Mungkin di antara kita banyak menemui sahabat/kenalan yang awalnya baik dan biasa saja. Tetapi setelah mengenal gerakan radikal, menjadi mudah menyalahkan dan melabeli pihak lain. Baru beberapa bulan kuliah langsung bertindak seperti tuhan. Merasa dirinya yang paling benar dan orang lain salah. Istilah bid’ah, kafir, dan musyrik begitu mudah terlontar dari lisannya. Siapapun yang tidak sepakat dan mengamininya adalah orang sesat yang perlu untuk segera bertobat. Padahal sejatinya mereka yang gemar melabeli inilah yang seharusnya bertobat dan menyadari kekhilafannya. Bahwa beragama adalah proses yang terus-menerus berjalan. Tafsir dan pemahaman agama pun berkembang sesuai tuntutan zaman. Sehingga tidak boleh menggunakan tafsir tunggal untuk menilai orang lain.

Selain itu, karakter lainnya adalah sifatnya yang eksklusif. Tidak ada keinginan untuk terbuka dan berdialog secara sehat dengan pihak lain dengan pemahaman yang berbeda. Referensi mereka pun terbatas. Hanya rujukan yang menguntungkan mereka yang dipakai. Sementara rujukan lain yang mengkritik dan membongkar aib mereka sama sekali tidak digunakan. Tidak heran tidak ada ruang diskusi dan berdebat dalam kelompok radikal. Semua doktrin agama telah dibentuk sesuai kepentingan mereka. Secara tidak langsung, sikap ini tentu menggerus nilai-nilai Islam yang begitu luas dan beragam. Alquran dipahami secara parsial. Ayat suci dan hadist yang menguntungkan mereka dipakai berulang-ulang. Sementara yang tidak sesuai, dicampakan begitu saja.

Untuk menangkalnya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, mahasiswa harus meningkatkan kapasitas keilmuan dan wawasannya. Kelompok radikal biasanya enggan mendekati orang-orang yang dianggap memiliki pemahaman lebih. Mereka khawatir kelemahannya akan mudah dibaca oleh mahasiswa yang kritis yang paham agama. Alih-alih mendapat pengikut, sasaran dengan kualitas memadai justru akan melemahkan gerakan radikal. Kedua, selektif dalam memilih organisasi/komunitas yang berbasis agama. Sebelum bergabung, teliti dahulu visi-misi organisasi tersebut. Jika visi-misinya terlihat tertutup dan janggal, sebaiknya tidak usah bergabung. Teliti juga aktivitas yang selama ini telah dilakukan. Dengan kemampuan analisis sederhana, maka kita bisa menghindari diri dari tipu daya kelompok radikal yang begitu ganas.

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

21 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

21 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

21 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

21 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago