Narasi

Tanpa Hobi, Mendadak Radikal

Memprihatinkan, mutakhir banyak generasi muda yang mendadak jadi radikal. Parahnya, sebagian dari mereka adalah dari keluarga terpelajar, bahkan termasuk para mahasiswa teladan. Tentu, dengan adanya tindak radikal yang mereka lakukan, segala jenis prestasi yang telah mereka ukir sejak belia akan sirna begitu saja.

Satu di antara penyebab generasi muda kita mendadak jadi radikal adalah krisis hobi. Sehingga, adagium “hobi itu perlu” memang benar adanya. Bagaimana pun, ketika seseorang memiliki hobi, ia akan fokus melakukan kegiatan sesuai dengan hobinya. Ia tidak akan mudah terpengaruh dengan kondisi lingkungan sekitar.

Sebagai musal, ketika seseorang hobi bermain sepak bola, ia akan menyempatkan diri ikut bermain sepak bola di saat teman-temannya bermain. Ia sering kali melewatkan kegiatan lain, semacam berlibur besama keluarga, menonton acara televisi yang menurut kebanyakan orang adalah menarik, dan lain sebagainya. Semua ini ditinggalkan dalam rangka memenuhi hobi yang telah melekat pada dirinya, yakni sepak bola.

Berbeda dengan generasi muda yang tidak memiliki hobi, ia akan dengan mudah terpengaruh arus yang menyambangi dirinya. Ketika terdapat seorang generasi muda yang tidak memiliki hobi, maka ketika ada kelompok positif, ia akan masuk ke dalam kelompok tersebut. Sebaliknya, jika yang datang adalah kelompok negatif, maka ia juga akan menjadi bagian dari kelompok negatif.

Saat ini, terdapat kelompok radikalis yang secara massif disebarluaskan kepada generasi muda. Dengan beragam upaya yang dilakukan, kelompok ini terus membujuk para mahasiswa sehingga menjadi “korban” (untuk selanjutnya dijadikan ‘militan’). Topeng mereka pun sangat indah, yakni mengatasnamakan membela/memperjuangkan agama. Para mahasiswa diiming-imingi dengan dua kesuksesan sekaligus, yakni kesuksesan di dunia sekaligus kesuksesan di akhirat.

Terhadap ajakan tersebut, terdapat dua kelompok mahasiswa dalam menanggapi. Bagi mereka yang memiliki hobi, dan hobi tersebut diyakini akan menghantarkan pada kesuksesan dirinya, maka ia tidak akan tergerak hati untuk mengikuti kelompok radikal yang mengajaknya untuk bergabung. Ia lebih memilih, bahkan sudah sibuk, dengan hobi yang dimiliki. Terhadap rayuan gombal yang datang di lingkungannya, ia selalu bersikap apatis.

Sementara, kelompok yang tidak memiliki hobi akan dengan mudah terjebak ke dalam bujuk rayu kelompok radikal. Orang yang tidak memiliki hobi biasanya tidak memiliki tujuan jelas, sehingga segala aktivitasnya pun lebih banyak dikendalikan oleh lingkungan sekitar. Nah, ketika yang datang di lingkungannya adalah kelompok radikal, maka ia pun akan mendadak menjadi radikal. Lebih-lebih, apa yang diucapkan oleh kelompok radikal adalah berisi pada pandangan kesuksesan di masa mendatang. Bagi generasi muda yang belum memiliki pandangan pasti dalam meraih kesuksesan di masa mendatang, kedatangan kelompok ini dianggap sebagai angin segar yang sayang untuk disia-siakan. Ia pun akan dengan mudah masuk sebagai bagian dari kelompok radikal tanpa tahu bahwa dirinya adalah masuk ke perangkap orang-orang yang akan merusak perdamaian.

Bermula dari sinilah, dalam rangka memerangi virus radikal yang terus mengancam, salah satu cara yang dapat diterapkan adalah menanamkan hobi pada setia generasi muda kita. Tentu, hobi yang mesti ditanamkan kepada para generasi muda kita adalah hobi yang positif sehingga mampu menghantarkan pada kesuksesan mereka. Karena, banyak hobi yang justru akan menghantarkan para generasi muda kita pada jurang kenistaan. Artinya, dua tahap yang mesti kita upayakan untuk generasi muda kita, yakni menuntut mereka untuk memiliki hobi. Itu adalah tahap pertama yang mesti ada. Kedua, hobi yang ada harus positif.

Dengan cara menanamkan hobi positif, diharapkan virus radikal yang mengacam tidak akan mampu merasuk pada generasi muda kita. Alhasil, radikalisme yang menjadi tantangan bersama akan terhambat perkembangannya. Kedamaian di muka bumi pun semoga dapat terasakan bersama. Amin.

This post was last modified on 3 Mei 2017 4:56 PM

Anton Prasetyo

Pengurus Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (LTN NU) dan aktif mengajar di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

14 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

14 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

14 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

14 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

1 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

1 hari ago