Mengenali Radikalisme: Dari Corak Manhaji Hingga Jam’iyah

Seminggu yang lalu, tepatnya tanggal 10 Juni 2016 bersama dengan mantan aktivis JI, Nassir Abbas, saya mengisi ceramah di hadapan remaja masjid se-DKI bertempat di Masjid Cut Meutia, Menteng. Acara tersebut sangat menarik, tetapi apa yang membuat saya kaget, bukan pada saat acara, tetapi justru setelah kegiatan tersebut. Beberapa peserta dari remaja masjid asal Aceh, Medan, Makasar dan lainnya menghubungi saya untuk meminta makalah lengkap terkait apa yang saya sampaikan pada acara tersebut.

Antusiasme para generasi muda ini jelas membuat saya bangga. Nampaknya ketertarikan remaja masjid terhadap apa yang saya sampaikan tidak lebih karena didorong oleh fenomena keagamaan yang sedang mereka hadapi di berbagai daerah, yakni radikalisme dalam agama. Atas dasar itulah, tulisan ini merupakan uraian singkat dari apa yang telah saya sampaikan pada kegiatan tersebut.

Sebelum berbincang jauh terkait Islam dan radikalisme, saya ingin menegaskan bahwa sejatinya tidak ada istilah Islam radikal, Islam liberal, Islam moderat dan atribut lainnya. Islam hanya mengenal satu atribut, Islam versi Al-qur’an yakni Islam yang bercorak al-hanifah al-samha’; agama yang mengajarkan kelembutan, keterbukaan, dan toleransi. Inilah corak Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad di mana misi kerosulannya sebagai rahmatan lil alamin.

Apabila kemudian ada kelompok kecil dari umat Islam yang mempertontonkan anarkisme, kekerasan dan teror atas nama Islam, hal itu tidak layak dilabeli sebagai umat Islam atau bagian dari ajaran Islam. Mereka hanyalah kelompok yang memiliki pandangan keagamaan sempit dengan menganggap pemerintah tidak memihak pada tujuan politik syariah yang mereka cita-citakan. Bahkan dalam tingkat yang ekstrim resistensi mereka terhadap negara diwujudkan dengan tindakan brutal seperti bom bunuh diri yang secara nyata tidak dibenarkan dalam Islam. MUI melalui fatwanya juga menegaskan tidak ada persamaan sama sekali antara tindakan bom bunuh diri dengan jihad.

Kelompok yang sering membawa Islam dalam melakukan tidakan teror ini kerap dilabeli sebagai “radikalisme dalam Islam”. Saya lebih suka menyebut demikian bukan dengan “Islam radikal” karena secara prinsip Islam sama sekali tidak pernah mengajarkan kekerasan apalagi teror. Dengan mengatakan radikalisme dalam Islam secara jujur harus kita akui bahwa memang ada kelompok kecil dalam Islam yang menggunakan kekerasan sebagai jalan perjuangan. Memang ada segilitir umat Islam yang menggunakan justifikasi dalil Qur’an dan Hadist untuk tindakan teror. Itu fakta dan tidak boleh diabaikan karenanya kita sebut sebagai radikalisme dalam Islam.

Pertanyaannya adalah bagaimana mengenali corak dan ciri kelompok radikalisme dalam Islam. Barangkali kita mesti mendefinisikan dulu apa itu radikalisme. Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Jadi ciri dari radikalisme di sini adalah perlawanan terhadap mainstream dengan mencoba menjungkirbalikkan nilai-nilai melalui jalan kekerasan.

Dari definisi tersebut dapat kita amati bahwa kelompok radikalisme selalu mengklaim kebenaran tunggal. Mereka seolah sedang memonopoli kebenaran tanpa berbagi dengan kelompok yang lain. Dengan klaim ini dapat dipastikan bahwa tidak ada kebenaran lain selain kebenaran yang mereka yakini. Klaim kebenaran ini menjadi akar awal bagaimana mereka memandang orang di luar mereka sebagai kelompok yang salah, kafir, bid’ah dan tersesat.

Dalam persoalan ibadah kelompok radikal ini bisa dikenal dengan ciri yang menjadikan sunnah menjadi wajib dan hal yang makruh menjadi haram. Ciri ini memang tidak berlaku paten, tetapi umumnya mereka selalu memaksakan pola pikir ini kepada masyarakat luas. Ciri berikutnya adalah melaksanakan ajaran agama secara tekstual karena kemalasan intelektual dan kedangkalan pemahaman mereka terhadap agama sehingga hanya bisa  menyentuh pada zahir nash saja. Cara beragama tekstual ini sangat sempit karena tidak bisa melihat dialog ajaran agama yang universal dengan perubahan zaman yang parsial.

Dari beberapa ciri tersebut, para pakar dan peneliti kemudian menyimpulkan beberapa hal terkait corak pemikiran radikal yang bisa mudah dikenali. 1) intoleran (tidak mau menghargai pendapat &keyakinan orang lain), 2) fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah), 3) eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya) dan 4) revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).

Kalau berbicara lebih dalam dan ditelusuri secara genealogis, manhaj radikalisme dalam Islam bisa dilacak pada pemikiran wahabisme. Walaupun wahabi juga menentang terorisme namun ajaran ini gampang menyesatkan atau mengkafirkan orang lain sehingga mengarah kepada radikalisme. Wahabi menyediakan pondasi dasar dari corak berpikir absolut dan ekslusif. Ada satu ungkapan dari pemimpin mereka Muhammad bin Abdul Wahab : “Barang siapa yang dapat menerima dakwa kita maka ia telah menjadi bagian dari kelompok kita untuk setiap kebaikan ataupun keburukunnya, dan barang siapa yang tidak menerima dakwah kita maka ia telah kafir dan darahnya halal”.

Radikalisme memang tidak secara otomatis berhubungan dengan terorisme. Tetapi radikalisme merupakan prakondisi terjadinya terorisme. Akar ekslusif dan gampang mengkafirkan dari pemikiran wahabisme ini pada perkembangan berikutnya bertemu dengan aktivisme melalui jihad. Evolusi dari salafi-wahabi ke arah salafi-jihadi ditandai dengan perubahan aktivisme yang bertujuan mengubah sistem politik, sosial, budaya yang menjadi sistem islami atau dikenal gerakan menegakkan khalifah Islam.

Gerakan tersebut kita sebut sebagai gerakan salafy-jihadis yakni evolusi ideologis dari wahabisme menuju visi jihadisme total melawan Amerika, Barat, dan Zionis maupun negara lain yang dipandang bersekutu dengan negara “kafir” tersebut. Peta dunia dalam pandangan mereka adalah pertarungan konstan antara kebaikan dan kejahatan, antara kekuatan Tuhan dan setan.  Perang tersebut tidak akan pernah selesai sebelum tujuan mereka menegakkan kekuasaan Tuhan melalui syariah ditegakkan sekalipun dengan kerja-kerja teror dan menghancurkan peradaban manusia itu sendiri. Tokoh peletak dasar ideologi tersebut di antaranya Hasan al-Banna, Abu A’la al-Mawdudi, Sayyid Qutb, Muhammad Abd al-Salam Faraj, Abdullah Azzam, dan Ayman al-Zawahiri.

Sampai di sini kita bisa menyaksikan bahwa sebagai sebuah pemikiran dan paham radikalisme tersebut sangat berbahaya. Radikalisme dapat mematikan otak kemanusiaan kita dengan doktrin ekslusif yang mereka tanamkan. Namun, tidak kalah bahayanya adalah organisasi radikal. Ada adigium yang sudah lumrah ” jika sudah masuk organisasi ini, maka sulit keluar kembali kecuali jika ia rela mati”. Organisasi radikal dikenal dengan hirarki yang kuat, dengan pembagian tugas yang keta, kepemimpinan yang karismatik dan pedoman perjuangan sebagaimana dimiliki oleh Jamaah Islamiyah (JI) yang disebut dengan Pedoman Perjuangan Al-Jamaah al-Islamiyah (PUPJI). Hubungan antar anggota diikat dengan saling kepercayaan yang kuat, solid dan ekslusif. Sehingga kadang mereka tidak mau berbaur atau bahkan melakukan shalat dengan di luar kelompok mereka.

Dari ciri pemikiran (manhaj) dan organisasi (jama’iyah) ini sudah sepatutnya kita dapat mengantisipasi dan melakukan deteksi dini terkait keberadaan kelompok ini di tengah masyarakat. Kenalilah ciri pemikiran mereka yang selalu merasa benar, menyalahkan orang lain, mengkafirkan, menanamkan kebencian dan permusuhan. Tidak kalah pentingnya kenalilah ciri organisasi mereka yang sangat terutup, indoktriner dalam pendidikan, fanatik dalam pergaulan dan tertutup dalam pengajaran.

Sebagai penutup, mangsa potensial yang selalu dibidik oleh kelompok radikal adalah generasi muda. Karena itulah, generasi muda harus mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap gejala yang mengarah pada pemikiran radikal serta mengajak ke dalam jaringan radikal terorisme. Perluas wawasan keagamaan dengan menimba beragam perspektif guru dan keilmuan merupakan benteng untuk menangkal pengaruh radikal terorisme yang selalu memanfaatkan narasi keagamaan.

This post was last modified on 13 Juni 2016 9:15 PM

Brigjen Pol, Drs. H. Hamidin

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago