Tokoh

Mengenang Alm. KH. Hasyim Muzadi dan Ketegasannya Melawan Terorisme

Hari ini duka mendalam melanda bangsa Indonesia, salah seorang ulama terbaik negeri ini telah dipanggil untuk ‘pulang’ oleh sang maha kuasa. Kepulangan KH. Hasyim Muzadi memang dirasa terlalu cepat, terutama karena sikap dan ilmunya masih sangat dibutuhkan negeri ini. Sebagai salah seorang ulama besar, Kyai kelahiran Tuban, Jawa Timur ini memiliki banyak kontribusi penting terhadap masyarakat, salah satunya dalam hal pencegahan terorisme.

Dalam sebuah kesempatan di Jakarta pada akhir 2016 lalu misalnya, almarhum menyatakan dengan tegas bahwa para ulama serius menjaga bangsa ini dari segala ancaman, termasuk ancaman dari bahaya radikalisme dan terorisme. Karenanya beliau meminta agar negara, dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), tidak melepas diri dari ulama. Baginya, terorisme bukan hanya perkara pelanggaran hukum, melainkan juga perusakan terhadap sendi-sendi fundamental agama, karenanya ulama perlu untuk ikut turun tangan mengatasi hal ini.

Pada kesempatan itu beliau juga menuturkan bahwa dirinya akan segera membentuk sebuah tim yang terdiri dari beberapa ulama untuk tampil dan membimbing masyarakat di berbagai tempat demi menjaga kepentingan agama dan negara.

“Orang Islam itu, begitu beriman dia harus beramal sholeh, bukan beriman lalu perang,” demikian salah satu pesannya ketika diminta menjelaskan posisi umat Islam dalam konteks radikalisme dan terorisme. Di balik sikap kalem dan adem-nya, almarhum KH. Hasyim Muzadi adalah sosok yang tegas menolak segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan yang dilakukan atas nama kepentingan agama.

“Kalau Islam dipakai untuk memerangi orang, maka yang timbul Islam itu kejam, padahal itu bukan Islam, itu orang yang salah mengartikan dan menggunakan keislamannya,” demikian tegasnya saat berbicara di salah satu kegiatan BNPT di Jakarta pada 4 Oktober 2016. Meski disampaikan dalam intonasi dan gaya bahasa yang kalem, namun tampak jelas sikap tegasnya yang menyatakan bahwa memerangi orang adalah bentuk dari penyalahgunaan Islam.

Di tengah derasnya kemunculan ulama (atau begitulah mereka ingin disebut) yang anti terhadap Pancasila dan menyebutnya sebagai produk kafir, KH. Hasyim Muzadi muncul dan dengan tegas menyatakan bahwa pancasila bukan saja tidak bertentangan dengan Islam, tetapi juga sebuah anugerah dari Allah agar masyarakat Indonesia dapat beragama dengan lebih baik, yakni dengan juga mencintai tanah airnya.

“Pancasila adalah anugerah Allah agar bangsa Indonesia bisa mengembangkan agama dalam konteks Pancasila, bukan agama Pancasila atau Pancasila yang berdasarkan agama. Pancasila itu adalah gerbang agar agama dan rasa cinta tanah air bisa berjalan harmonis di dalamnya,” ungkapnya di kesempatan lain. Baginya, Pancasila dapat digunakan sebagai senjata ampuh rakyat Indonesia untuk menghalau radikalisme dan terorisme, sebab menurutnya, Pancasila dapat membantu masyarakat untuk menjadi umat bergama dan sekaligus warga negara yang baik.

Hal inilah yang mendasari semangat dan tekad kuat almarhum untuk terus berjuang menyelaraskan kepentingan agama dan negara. Visi utamanya, seperti yang beliau sampaikan, adalah mengisi negara dengan agama, bukan menghadapkan agama dengan negara.

Beliau pun sempat menyatakan cita-cita besarnya, yakni mengajak ulama –yang berarti orang-orang berilmu—untuk tidak pernah berhenti belajar, terutama untuk ilmu-ilmu non-agama. Menurutnya, ulama harus memiliki pengetahuan ilmiah yang mumpuni di samping penguasaan terhadap ilmu-ilmu agama yang juga tinggi. Hal ini diyakininya akan membantu ulama untuk memahami isu-isu kontemporer dan kaitannya dengan kajian keagamaan.

Bagi saya, cita-cita beliau di atas adalah sindiran untuk kita semua. Jika orang-orang yang sudah berilmu (ulama) saja masih ia minta untuk tidak berhenti belajar, apalagi kita.

Kini, beliau telah kembali memenuhi panggilan ilahi. Selamat jalan, perjuangan dan cita-cita mbah Yai akan kami teruskan, insyallah.

This post was last modified on 17 Maret 2017 8:00 AM

Khoirul Anam

Alumni Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), UGM Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Salafiyah Syafiyah, Sukorejo, Situbondo, Jatim dan Ponpes al Asyariah, kalibeber, Wonosobo, Jateng. Aktif menulis untuk tema perdamaian, deradikalisasi, dan agama. Tinggal di @anam_tujuh

Recent Posts

Nasionalisme, Ukhuwah Islamiah, dan Cacat Pikir Kelompok Radikal-Teror

Tanggal 20 Mei berlalu begitu saja dan siapa yang ingat ihwal Hari Kebangkitan Nasional? Saya…

5 jam ago

Ironi Masyarakat Paling Religius: Menimbang Ulang Makna Religiusitas di Indonesia

Indonesia kembali dinobatkan sebagai negara paling religius di dunia menurut dua lembaga besar seperti CEOWORLD…

5 jam ago

“Ittiba’ Disconnect”; Kerancuan HTI Memahami Kebangkitan Islam

Meski sudah resmi dibubarkan dan dilarang beberapa tahun lalu, Hizbut Tahrir Indonesia alias HTI tampaknya…

8 jam ago

Kebangkitan Nasional, Ki Hadjar Dewantara, dan Kejawen

Nasionalisme, sejauh ini, selalu saja dihadapkan pada agama sebagaimana dua entitas yang sama sekali berbeda…

1 hari ago

Membangun Sinergi Gerakan Nasional dan Pembaruan Keagamaan

Kebangkitan Nasional pada awal abad ke-20 bukan sekadar momentum politis untuk meraih kemerdekaan. Lebih dari…

1 hari ago

Cahaya dari Madinah: Pendidikan dan Moderasi sebagai Denyut Nadi Peradaban

Pada suatu masa, lebih dari empat belas abad silam, Yatsrib, sebuah oasis di tengah gurun…

1 hari ago