Umat Islam dan bangsa Indonesia telah kehilangan salah satu kader terbaiknya yang tidak pernah lelah menyuarakan Islam dan kebangsaan. KH. Hasyim Muzadi telah berpulang ke rahmatullah. Almarhum adalah tokoh Nahdlatul Ulama dan tokoh Bangsa Indonesia yang dikenal sebagai sosok pencerah yang selalu memberikan nasihat, tausiyah dan pesan yang menyejukkan tentang Islam yang selaras dengan kebangsaan.
Dalam kesempatan mengenang kebaikan dan bersaksi atas kesalehan almarhum, saya ingin mengulang elaborasi pesan sang kyai yang nampaknya sangat relevan untuk disiarkan dalam konteks kekinian umat Islam saat ini. Di depan ratusan imam masjid dan da’I muda se-Jawa Tengah, pada acara yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) (31/03/ 2016), KH. Hasyim Muzadi memulai nasehatnya dengan kalimat : mengetahui Islam saja tidak cukup, tetapi umat Islam harus paham “cara ber-Islam”. Umat Islam saat ini hanya tahu Islam, tetapi tidak mampu memahami dan menjalani “cara ber-islam”. “Cara berislam” mencerminkan bagaimana umat Islam berlaku, bertindak dan bersikap sesuai dengan cara Islam yang benar, santun, moderat dan toleran.
Menurut Kyai Hasyim, Islam berbeda dengan umat Islam. Begitu pula Islam berbeda dengan pemikiran Islam (al-afkar Islamy). Islam berada pada posisi idealitas, sementara umat Islam adalah realitas dari cermin idealitas tersebut. Prakteknya banyak umat Islam, tetapi tidak bertindak Islami. Banyak orang mengaku Islam, tetapi tidak sadar ia justru mengotori dan merusak Islam. Seolah-olah membela Islam, tetapi sejatinya ia melawan Islam itu sendiri.
Praketk beriIslam seperti itu misalnya kita temukan pada sebagian kecil umat Islam yang memperagakan ke-Islamannya dengan gaya kekerasan. Islam dibawa sebagai tameng memproduksi wacana dan tindakan kekerasan di tengah masyarakat. Islam dihadirkan ke tengah masyarakat bukan sebagai ajaran yang menyejukkan, tetapi sebagai ajaran yang menakutkan. Akhirnya yang tampak bukan Islam yang ramah, tetapi berislam yang mudah marah, bukan Islam yang teduh, tetapi berislam yang gampang menuduh, dan bukan Islam yang merangkul, tetapi berislam yang gemar memukul.
Bagaimana cara ber-Islam yang benar? Kyai Hasyim mengingatkan bahwa mempelajari cara berislam mewajibkan kita mengetahui dan memahami secara benar sirah nabawy, perjalanan dakwah nabi. Nabi tidak satu pun melakukan kekerasan dan peperangan kecuali kelompok musyrik Makkah terlebih dahulu menyakiti Umat Islam. Karena itulah, dalam daftar peperangan masa Rasul, tidak ada satupun peperangan yang berlokasi di dekat Makkah, tetapi justru di lokasi yang dekat Madinah. Itu artinya seluruh peperangan Nabi adalah dijalankan hanya untuk membela diri, bukan melakukan agresi.
Selain itu seluruh peperangan yang dilakukan Nabi selalu menghindari kekerasan dan kebrutalan. Tidak ada peperangan yang dilakukan di tengah penduduk, tidak ada penjarahan, tidak ada penghancuran bangunan masyarakat bahkan tempat ibadah umat lain sekalipun dan tidak ada wanita, anak-anak dan orang tau yang dilukai. Bahkan pepohonan pun dilarang dijadikan mangsa kekerasan pada masa perang.
Intinya, apa yang wajib dipelajari dan diselami umat Islam hari ini dalam rangka ber-Islam secara benar adalah dengan memahami esensi misi Kerosulan Nabi. Misi Kerosulan Nabi tidak lain adalah menjadikan Islam sebagai rahmat bagi semesta (rahmatan lil alamin). Kenapa hal itu sangat penting karena sebagian umat Islam saat ini gagal mewujudkan misi tersebut. Jangankan menjadi rahmat bagi seluruh semesta, menjadikan Islam sebagai rahmatan lil muslimin saja mereka gagal.
Betapa tidak, sebagian kecil umat Islam telah gagal menghadirkan Islam sebagai rahmat bagi sesama muslim. Ia gampang menuduh kafir saudaranya, ia gampang memfitnah ulama, dan ia mudah sekali berlaku keras terhadap saudara seiman. Jika demikian, Islam tidak lagi dipraktekkan sebagai Islam rahmatan lil alamin, tetapi sebagai fitnatan lil alamin.
Itulah, menurut Kyai Hasyim, perbedaan pendakwah Islam zaman dulu, dengan sebagian pendakwah hari ini. Dulu para penyebar Islam di nusantara ini menyebar syiar Islam untuk mengislamkan “orang kafir”. Hari ini, mereka yang katanya Islam itu malah “mengkafirkan orang Islam”. Sangat ironis, dari mana ajaran dan pemikiran yang mereka dapatkan? Dari sanad mana ia telah meneladani nabi yang ditampakkan dengan wajah Islam yang garang seperti itu?
Kyai Hasyim menyebutkan pola dan cara ber-islam ala Nabi yang paling relevan adalah apa yang telah dipraktekkan oleh para penyebar Islam di Nusantara pada masa lalu. Keberhasilan proses Islamisasi di nusantara, tanah Jawa khususnya, oleh para ulama dulu merupakan prestasi yang luar biasa dan sejatinya patut ditiru dan terus dilestarikan.
Penduduk Jawa dengan ragam agama dan kepercayaan yang dianutnya memeluk Islam tanpa paksaan dan kekerasan. Para penyebar Islam di Indonesia berhasil mempraktekkan sirah nabawy dengan cara ber-Islam yang dapat memikat hati penduduk bukan dengan kekerasan, tetapi dengan pendekatan lembut dan kedamaian. Hari ini jangankan mengajak, mempertahankan jumlah umat Islam saja kita sangat sulit. Apa sebab? Karena metodologi cara menyampaikan dan cara ber-Islam sebagian umat Islam saat ini melenceng dari metodologi dakwah Nabi.
Inilah perbedaan mendasar, menurut Kyai Hasyim, bahwa Islam yang disebarkan dengan mendahulukan kekuasaan, apalagi kekerasan tidak akan pernah langgeng. Sebaliknya Islam yang ditanamkan melalui pendekatan kultural-masyarakat akan tertanam subur sampai kapanpun. Salah satu contoh, ekspansi Islam ke beberapa negara Eropa justru gagal menyisakan peradaban sampai detik ini. Andalusia yang ditegakkan dengan pendekatan kekuasaan, tidak mampu bertahan lama. Ketika negara Islam itu runtuh, perlahan ke-Islam-an itu pudar. Sebaliknya apabila Islam ditanamkan langsung ke masyarakat, ia tetap subur tanpa pernah tergantung pada perubahan kekuasaan politik.
Demikian, pesan almarhum yang masih sangat relevan untuk dijadikan refleksi bagaimana cara umat Islam ber-Islam dan cara umat Islam bernegara di Indonesia ini. Semoga kita bisa meneladani konsistensi almarhum dalam menghadirkan Islam yang santun, damai, toleran dan moderat. Mari hadirkan Islam rahmatan lil alamin, bukan Islam fitnatan lil alamin.
This post was last modified on 17 Maret 2017 7:10 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…