Narasi

Menggali Mutiara Terpendam dari Arti Kebhinnekaan Indonesia

Perbedaan dan kebhinekaan Indonesia sudah menjadi ketentuan Ilahi. Perbedaaan ini akan menjadi kekuatan dalam membangun bangsa, apabila dimaknai sebagai sumber motivasi pembangunan generasi par excellent (unggul). Tetapi juga sebaliknya, perbedaan akan membawa petaka atau musibah jika dimaknai sebagai spirit yang harus dienyahkan, sedikit-sedikit gampang saling menuduh, saling hujat ketika berbeda, inilah penyakit kronis yang harus segera diamputasi.

Padahal jelas dalam Islam ada diktum, perbedaan sebagai rahmat. Ini yang harus kita teladani. Bahwa dengan perbedaan akan saling menguatkan. Seperti pelangi akan indah karena bermacam-macam warna, sapu lidi bisa kuat karena bersatu. Sehingga filosofi bangsa yang termaktub dalam Pancasila, yakni persatuan Indonesia. Seharusnya kita semua berkomitmen untuk merawat persatuan Indonesia. Siap menangkal narasi propaganda yang dibangun kelompok intoleran dalam rangka mencabik-cabik kebhinekaan.

Seperti dalam firman Allah sebagai berikut:

Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (QS. 3: 64)

Kontekstualisasi kalimah sawa’ ayat di atas dalam bingkai keindonesiaan adalah pancasila. Kita semua berbeda-beda, tetapi kita disatukan dengan kesepakatan bersama, untuk bersatu hidup dalam keharmonisan dalam bingkai pancasila. Sebagai ideologi dasar dan falsafah bangsa, pancasila harus kita rawat, untuk digali terus nilai-nilai luhurnya, sehingga mampu kita aplikasikan dalam kehidupan berbangsa.

Dalam teori pak Mukti Ali kita harus siap untuk harmoni dalam keberagamaan selayaknya terbangun atas dasar agree in disagreement (sepakat dalam perbedaan). Kita semua tahu bahwa kita berbeda sebagai anak bangsa yang beraneka ras, suku, agama, bahasa, dan budaya, tetapi dengan berbedaan itu bukan dijadikan alasan untuk berkonflik, atau bahkan saling memprovokasi, melainkan kita sepakat hidup rukun dan penuh toleran.

Maka dari itu pemerintah juga harus hadir dan tegas untuk menindak siapapun yang ingin merongrong kebhinekaan Indonesia. Serta pemerintah harus menyediakan tempat yang aman dan penuh keadaban bagi terciptanya kerukunan dalam perbedaan. Dalam pandangan Habermas kita kenal dengan komunitas beradab (bonum communae), yakni setiap pilihan apapun itu menjadi hak, dan negara harus melindunginya.

Coba kita sejenak meneladani kisah cerita Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Suatu ketika Kiai Hasyim berseberangan pendapat dengan menantunya yang ahli falak (astronomi) yaitu Kiai Maksum Ali. Pada suatu hari Kiai Maksum memutuskan ber-idul fitri sendiri, sehingga beliau menabuh kentongan untuk mengajak umat sebagai tanda idul fitri. Sehingga oleh Kiai Hasyim ditegur, bahwa terserah kamu mau idul fitri duluan, tetapi jangan ajak-ajak umat, karena yang berhak memutuskan dan mengajak umat adalah pemerintah yang sah.

Inilah seklumit kebijakan Kiai Hasyim dalam melihat perbedaan dan komitmen yang tinggi terhadap negara. Beliau sangat arif, bahwa perbedaan itu akan indah dan menyejukan apabila dijadikan spirit yang produktif dan harus dimaknai sebagai transformasi nilai.

Contoh selanjutnya adalah ketika Kiai Hasyim berbeda pandangan dengan Kiai Faqih Maskumambang Gresik, terkait hukum menabung kentongan sebagai panggilan shalat. Kiai Hasyim berpandangan bahwa menabung kentongan tidak diperbolehkan karena tidak ada dalil yang menguatkan, tetapi kiai Faqih memperbolehkan. Sehingga keduanya berbeda pandangan, dengan masing-masing berdebat dalam tulisan kitab. Ketika Kiai Hasyim berkunjung ke Gresik, berceramah di pesantren kiai Faqih, maka orang-orang Gresik diminta kiai Faqih untuk menurunkan kentongan, sebagai bentuk penghormatan kepada kiai Hayim..

Sunguh sangat menyejukkan, tokoh dan maha guru kita semua ini. Semoga generasi muda bangsa ini bisa meniru kebijakan beliau-beliau ini. Mereka semua berkomitmen kebangsaan yang kuat, dan spirit altruitik (keumatan) serta futuristik (berpikiran jauh ke depan melampauhi zamannya). Wallahu a’lam.

Lukman Hakim

Penulis adalah Peneliti di Sakha Foundation, dan aktif di gerakan perdamaian lintas agama Yogyakarta serta Duta Damai Yogya.

Recent Posts

Mengapa Solidaritas Ekologis Sulit Tumbuh dalam Masyarakat Beragama?

Di tengah serangkaian bencana alam yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, muncul satu…

4 jam ago

Pernahkah Membela Ayat-ayat Kauniyah yang Dinistakan?

Pernahkah Anda merenung sejenak di tengah keheningan malam? Ada sebuah ironi besar yang luput dari…

4 jam ago

Jihad Ekologis: Mengintegrasikan Moderasi Beragama dalam Penyelamatan Alam

Diskursus keagamaan kontemporer di Indonesia sering kali mengalami stagnasi pada ranah simbolisme politik. Energi kolektif…

7 jam ago

Menyikapi Isu Islam Politik vs Nasionalisme Jelang Reuni 212

Hari ini, 2 Desember, masyarakat Indonesia menyaksikan kembali perbincangan yang kian mengemuka mengenai ‘Islam politik’…

1 hari ago

Menjual Khilafah di Tengah Banjir: Menggugat Nalar Kaum Fatalis dalam Memandang Bencana

Tragedi air bah yang mengguyur sebagian wilayah Sumatera—mulai dari Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat—tidak…

1 hari ago

Tafsir Ayat-Ayat Ekologi; Membangun Kesalehan Lingkungan Berbasis Alquran

Alquran tidak hanya membahas relasi antara manusia dsn Sang Khaliq. Lebih dari itu, Alquran juga…

1 hari ago