Narasi

Menghadapi Radikalisasi Politik; Membangun Ketahanan Demokrasi di Era Disrupsi

Di tengah kemajuan teknologi dan informasi yang semakin pesat, demokrasi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menghadapi tantangan baru yang cukup serius: radikalisasi politik. Fenomena ini, yang ditandai dengan pergeseran pandangan politik ekstrem dan intoleransi terhadap perbedaan, dapat mengancam kestabilan sosial dan integritas demokrasi itu sendiri. Dalam era disrupsi digital ini, peran media sosial sangat besar dalam mempercepat penyebaran ideologi-ideologi radikal, yang pada akhirnya dapat memperburuk polarisasi politik di masyarakat. Untuk itu, penting bagi kita untuk memahami ancaman ini dan mengambil langkah-langkah strategis guna membangun ketahanan demokrasi yang lebih kuat.

Radikalisasi politik terjadi ketika individu atau kelompok mengadopsi pandangan politik yang ekstrem, sering kali mengabaikan norma-norma dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam konteks Indonesia, radikalisasi politik bisa mengarah pada penolakan terhadap sistem demokrasi itu sendiri atau bahkan mendorong kekerasan untuk mencapai tujuan politik tertentu. Fenomena ini tidak hanya terbatas pada kelompok radikal tertentu, tetapi kini lebih luas menyentuh berbagai lapisan masyarakat.

Era disrupsi membawa banyak perubahan yang mempengaruhi setiap aspek kehidupan mulai dari ekonomi hingga sosial. Fakta menunjukkan bahwa teknologi, model bisnis baru, dan digitalisasi ekonomi telah mengubah dunia secara drastis. Namun, meskipun era disrupsi membawa tantangan besar, jika dihadapi dengan persiapan dan kebijakan yang tepat, kita dapat memanfaatkan peluang yang ada untuk menciptakan masyarakat yang lebih maju dan inklusif

Penyebaran informasi melalui media sosial memainkan peran besar dalam mempercepat radikalisasi. Menurut laporan dari Kemkominfo pada 2022, lebih dari 30% konten yang tersebar di media sosial Indonesia mengandung unsur radikalisasi, baik dalam bentuk ujaran kebencian maupun propaganda politik ekstrem. Masyarakat, khususnya generasi muda, yang lebih banyak menghabiskan waktu di dunia maya, menjadi sasaran empuk bagi penyebaran informasi tersebut. Meningkatnya polarisasi politik di Indonesia, terutama menjelang pemilu atau di tengah ketegangan sosial, hanya memperburuk situasi.

Fakta lain dari survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2023. Survei ini mengungkapkan bahwa lebih dari 20% responden berpendapat bahwa kekerasan atau tindakan ekstrem dapat dibenarkan jika tujuannya dianggap mulia dalam politik. Meskipun angka ini tidak mencerminkan mayoritas, namun tetap menjadi sinyal bahwa radikalisasi sudah merambah lebih jauh ke berbagai kalangan masyarakat.

Untuk menghadapi ancaman radikalisasi politik, Indonesia perlu memperkuat ketahanan demokrasi. Ketahanan demokrasi bukan hanya soal menjaga sistem pemilu yang adil, tetapi juga memperkuat nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan sehari-hari. Era disrupsi digital yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi memerlukan pendekatan baru dalam menjaga ketahanan demokrasi.

Ada beberapa cara untuk membangun ketahanan demokrasi di tengah ancaman radikalisasi politik, diantaranya:

Pertama, masyarakat perlu dibekali dengan kemampuan untuk memverifikasi informasi yang mereka terima, agar tidak terjebak dalam hoaks dan propaganda politik yang bisa memperburuk polarisasi. Kedua, pemerintah perlu memperkuat regulasi yang mengatur konten di dunia maya, namun dengan tetap menjaga keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan perlindungan terhadap stabilitas sosial. Ketiga, mendorong partisipasi politik yang iklusif dengan membuka ruang bagi semua kelompok untuk terlibat dalam proses politik, tanpa memandang latar belakang sosial, agama, atau etnis. Dengan adanya partisipasi yang lebih luas, masyarakat merasa memiliki peran dalam menentukan arah negara dan tidak merasa terpinggirkan. Keempat, peran media dan influencer dalam menyebarkan pesan positif. Dimana Media memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini publik. Begitu juga dengan Influencer dan tokoh publik juga dapat berperan penting dalam memberikan contoh perilaku yang positif, dengan menyuarakan pesan-pesan kedamaian terhadap perbedaan.

Oleh karena itu, menghadapi tantangan radikalisasi politik di era disrupsi digital yang dipenuhi dengan informasi yang cepat, bisa dengan cara memperkuat nilai-nilai demokrasi, meningkatkan literasi digital, dan memperbanyak ruang partisipasi politik yang inklusif. Pemerintah, masyarakat, dan seluruh elemen bangsa harus bekerja sama untuk menjaga stabilitas sosial. Ketahanan demokrasi yang kuat, tidak hanya melindungi negara dari radikalisasi politik, tetapi juga mempererat persatuan sosial dan memastikan kemajuan yang terus berlanjut.

Dzuriya Dzuriya

Recent Posts

Panduan Menjadi Tokoh Agama di Era Serba Media

Di Indonesia, tokoh agama memiliki posisi strategis dalam menjaga keutuhan bangsa. Sebagai pemimpin spiritual, mereka…

3 jam ago

Menimbang Otoritas Ulama dalam Dakwah Dunia Maya

Era digital membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam cara kita memahami dan…

20 jam ago

Moderasi dan Beragama dengan Berketuhanan

Pancasila, yang konon disebut-sebut sebagai dasar negara, tak pernah menyematkan istilah agama di dalamnya, meskipun…

1 hari ago

Menangkal Ancaman Terorisme Pasca Kejatuhan Bashar Assad Di Suriah

Peristiwa mengejutkan terjadi di Suriah. Kelompok pemberontak Suriah yang dipelopori Hayat Tahrir-al-Sham (HTS) berhasil mengusai…

1 hari ago

Timbang-timbang ‘Sertifikasi Ulama’ di antara Urgensi dan Kontroversi

Sebagai salah satu negara paling relijus di dunia, ulama memiliki posisi penting dalam setiap lini…

1 hari ago

Influencer Dakwah; Pentingnya Integritas dalam Menerapkan Prinsip Moderat

Di zaman ini, seorang pendakwah yang populer mau tidak mau juga menjalani peran sebagai seorang…

2 hari ago