Narasi

Mereduksi Fetakompli Radikalisme dengan Berislam secara Logis

Ada statment yang selalu diserukan oleh kelompok radikal. Bahwasanya: “Khilafah itu adalah bukti kegemilangan peradaban Islam, jika Anda anti-Khilafah, maka keislaman Anda perlu diragukan”.

Secara verbal, statment di atas memang tidak memaksa kita pro-khilafah. Tetapi, statment di atas berupaya menjebak kesadaran kita untuk bisa menerima khilafah. Kita dibuat overthingking, seolah keislaman kita ada yang bermasalah jika anti-khilafah.

Begitulah fetakompli radikalisme bekerja. Secara tak sadar, pikiran kita ditarik ke dalam kesimpulan yang sempit. Seolah tak ada pilihan lain, selain kita harus kembali pada satu kesimpulan. Bahwa pro-khilafah adalah bagian dari kekaffahan dalam berislam.

Fetakompli radilalisme berupaya meracuni pikiran dan kesadaran kita. Untuk “dipaksa” menyetujui satu pandangan/ungkapan yang terkadang keliru dan cenderung politis. Kita secara tak sadar dipaksa, agar memahami pandangan/ungkapan tersebut sebagai satu-satunya kebenaran mutlak yang tak boleh ditolak.

Pentingnya Berislam secara Logis

Berislam secara logis adalah satu jalan kita dalam mereduksi fetakompli radikalisme. Sebab, kita terkadang menaruh semacam “ketundukan buta” dalam berislam. Sehingga, kita kesulitan mengungkap tabir kejahatan-kejahatan berkedok agama yang kini dibungkus ke dalam gerakan politik kaum radikal yang dibungkus oleh agama itu.

Misalnya, jika kita berpikir logis, antara peradaban Islam dengan kesejatian Islam itu sebagai dua konteks yang berbeda. Peradaban Islam dengan kegemilangannya adalah bukti-bukti sejarah di masa lalu yang kini telah ditelan zaman. Sedangkan kesejatian Islam adalah tata-etika nilai yang tentunya akan terus relevan dengan zaman dan waktu yang terus berubah.

Artinya apa? Khilafah bukan acuan dari standar berislam untuk membangun peradaban yang gemilang. Sebab, kegemilangan Islam dalam membangun peradaban bisa tumbuh dan relevan dengan bentuk sistem yang lebih kontekstual dengan zamannya.

Seperti kini yang kita hidup dalam realitas National state (negara bangsa). Tentu, konteks peradaban Islam di tengah negara bangsa mampu mewarnai kehidupan bangsa yang bermoral. Misalnya, asas-asas moralitas Islam tumbuh sebagai nilai-nilai perdamaian, kebersamaan harmonis dan persatuan yang tak berpecah-belah satu-sama lain.

Sangat tidak logis apabila kesejatian Islam yang akan terus relevan dengan zaman dan waktu. Lalu asas peradaban yang dibangun justru kembali ke dalam bayangan-bayangan masa lalu, seperti harapan tegaknya khilafah itu. Jadi ini sebagai satu relevansi bagaimana ajakan kembali ke khilafah sejatinya keluar dari konteks membangun peradaban bangsa dengan asas keislaman yang seharusnya relevan dengan zaman kita saat ini.

Saya justru memahami, ada bentuk kemunduran dan semangat keislaman yang mati di balik geraka kembali ke khilafah. Jika tolak ukurnya kualitas keislaman seseorang terletak pada semangat membangun peradaban yang gemilang, lantas adakah di masa lalu kegemilangan sebuah peradaban yang diperjuangkan dengan semangat pertumpahan darah?

Jika menjamu sebuah peradaban Islam yang gemilang misalnya. Kita tidak boleh melepas kesejatian Madinah dalam Piagam Madinah sebagai akar peradaban Islam. Di mana, jaminan keamanan, semangat persatuan, nasionalisme dan spirit demokrasi (musyawarah) itu menjadi satu kunci besar peradaban yang gemilang itu.

Jadi, tak ada legitimasi etis bahwa orang yang anti-khilafah itu perlu dipertanyakan keislamannya. Bahkan, kita perlu mempertanyakan kadar keislaman orang-orang yang pro-khilafah. Sebab, antara gairah khilafah dengan kesejatian Islam itu merupakan dua hal yang jauh berbeda. Khilafah adalah hasrat politik sedangkan kesejatian Islam tak pernah terikat oleh kepentingan politik apapun.

Klaim khilafah sebagai bukti kegemilangan Islam adalah satu ungkapan yang tak relevan di zaman kita hari ini. Bahkan, ada banyak fakta-fakta kekhalifahan di masa lalu yang dipenuhi oleh konflik, pertumpahan darah dan pembantaian akibat hasrat politik. Jadi, apa yang saya ingin katakan bahwa, kita perlu mempertanyakan kadar keislaman orang-orang yang ingin menutup relevansi Islam dengan zamannya itu, yakni orang yang berhasrat menegakkan khilafah itu.

Saiful Bahri

Recent Posts

Mengantisipasi Residu Kebangkitan Terorisme di Suriah dengan Ideologisasi dan Diplomasi

Perkembangan mengkhawatirkan terjadi di Suriah. Kelompok pemberontak Suriah menyerbu dan merebut istana Presiden Bashar al-Assad…

22 jam ago

Algoritma Khilafah; Bagaimana Para Influencer HTI Mendominasi Semesta Virtual?

Pasca dibubarkan dan dilarang pemerintah pada medio 2019 lalu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah melakukan…

23 jam ago

Islam Membaca Fenomena Golput : Kegagalan Demokrasi atau Apatisme Politik?

Gawai besar pemerintah untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) serentak telah usai dihelat 27 November…

23 jam ago

Tantangan dan Peluang Penanggulangan Terorisme di Era Prabowo

Predikat zero terrorist attack di akhir masa pemerintahan Joko Widodo sekilas tampak menorehkan catatan positif…

2 hari ago

Peran Agama dalam Membangun Ketahanan Demokrasi Pasca Pilkada 2024

Pilkada 2024 menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Ajang ini melibatkan…

2 hari ago

Membongkar Nalar Fetakompli HTI; Benarkah Menolak Khilafah Berarti Anti-Islam?

Dalam sebuah wawancara, mantan teroris Ali Imron pernah berkata bahwa ia bisa meradikalisasi seseorang hanya…

2 hari ago