Narasi

Menghalau Intoleransi dari Dunia Pendidikan

Praktek intoleransi semakin meningkat di lingkungan sekolah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dunia pendidikan kita acap kali terinfeksi oleh intoleransi agama. Survei Kemenristekdikti menyebutkan 23,4 persen siswa SMA siap berjihad menegakkan khilafah islamiyah. BIN dalam survei 2017, menyebut sebanyak 39 persen dari 15 provinsi terpapar radikalisme. Semua penelitian menunjukkan, bahwa sejak 2016 intoleransi agama di sekolah semakin meningkat.

Adalah suatu fakta, bahwa  radikalisme di dunia modern itu bersifat acak, global, dan sulit dideteksi aktor, lokus, sebab-sebabnya, dan cara kerjanya. Bukan rahasia umum lagi, virus radikalisme sudah masuk –bahkan menjadi tempat persemaian di beberapa institusi pendidikan kita. Takfirisme dan intoleransi sebagai benih radikalisme bersemayam dan merasuki sebagian para perserta didik.

Calon generasi bangsa yang selama ini dianggap sebagai manusia-manusia yang berpendidikan, yang lebih kebal terhadap paham-paham ekstremisne dan radikalisme ternyata dalam beberapa kasus terakhir menunjukkan banyak yang ikut serta dan berafiliasi dengan ideologi radikal. Tentu ini sebuah ironi.

Untuk itu, kerja-kerja kolektif harus menjadi fokus dan perhatian bersama. Intelektual millennial harus menghalau dan mengusir virus-virus yang bisa membawa manusia terjerumus ke dalam pintu-pintu ideologi takfirisme.

Narasi Intoleransi

Menurut Direktur Peace Generation, Irfan Amali, setidaknya ada  empat narasi intoleransi yang sering terjadi di Indonesia. Pertama, narasi politik. Narasi politik sering dilakukan dengan cara meperlihatkan ketidakadilan, kezaliman, dan keserakahan pemerintah. Para siswa didokrin untuk siap berjihad melawan.

Baca Juga : Sekolah Mendidik Budi Pekerti, Bukan Mengajarkan Intoleransi

Kedua, narasi sejarah. Sejarah masa lalu sering dijadikan untuk batu loncatan balas dendam, Bahwa pemerintah sekarang mempunyai dosa sejarah yang tidak termaafkan.

Ketiga, narasi psikologi. Adanya kecenderungan bahwa para tokoh pemberontak dianggap suci dan penuh dengan pahala. Permainan instrumental naration, yang menganggap kekerasan sebagai solusi masalah, diinjeksikan ke dalam jiwa dan mental para siswa.

Keempat, narasi agama. Doktrin agama dibajak untuk kepentingan sektarian untuk tujuan membangun kekuatan kelompok. Doktrin khilafah adalah salah satunya, para siswa diajarkan, bahwa khilafah adalah obat mujarrab yang bisa menyelesaikan segala persoalan.

Kegiatan Ekstra

Keempat narasi ini biasanya dihembuskan oleh kalangan ekstra. Bukan rahasia umum lagi, Rohis, LDK, Pengajian, dan segala macam kegiataan ekstra kulikuler menjadi jalan masuk virus intoleransi. Penelitian terakhir menunjukkan, bahwa benih-benih radikalisme dan segala turunannya muncul dari kegiatan-kegiatan ekstra.

Sikap intoleran, tidak menghargai keragaman, tidak mau dipinpim ketua osis non-muslim, merasa paling benar dan suci, menganggap pihak lain salah (takfiri), sebagian besar dikonsumsi para peserta didik itu dari kegiatan-kegiatan di luar sekolah.

Selama ini, pihak sekolah dalam beberapa hal lebih concern mengurus bagian dalam, mulai kelas mengajar, proteksi pengajar yang dicurigai berpaham radikal, membuat kurikulum yang lebih inklusif, sampai kepada acara-cara seminar, workshop, dan sejenisnya.

Sementara kegiatan-kegiatan ekstra dalam beberapa kasus, justru terabaikan. Banyak siswa di ruang kelas bersikap dan bertindak seperti biasanya, tetapi karena pengaruh komunitas, organisasi dan pengajian yang berafiliasi dengan ideologi radikal yang dia ikuti di luar sekolah menjadikan dia bertindak di luar batas.

Kegiatan ekstra  tentu bukan satu-satunya jalan yang membuat seorang siswa menjadi radikal atau ekstrem. Intoleransi adalah penyakit dan permasalahan kompleks yang sampai sekarang di setiap negara belum mendapat solusi yang manjur. Upaya yang dilakukan hanya sebatas meminimalisir, sementara menyelesaikan sepenuhnya butuh cara dan kerja keras dari semua pihak.

Sekalipun kegiatan ekstra kampus bukan satunya-satunya, akan tetapi sebagai pihak yang ikut menyumbang terjadinya radikalisme dan ekstremisne, ini perlu mendapat perhatian dari pihak sekolah, pemerintah juga masyarakat, baik dalam bentuk regulasi, sanksi, maupun controlling dari warga.

Budaya Kritis

Menyelamatkan dunia pendidikan kita dari penjarahan oknum-oknum yang berpaham radikal tidak ada cara lain selain membudayakan nalar kritis. Kritis terhadap apapun, tak terkecuali paham keagamaan. Budaya kritis bisa menggunakan kerangka Kemanusiaan, Keindonesiaan, dan Kebhinekaan sebagai tolak ukur. Jika ada yang berseberangan dengan ketiga nilai ini, maka harus ditolak.

Kemanusiaan adalah realitas filosofis yang menuntut manusia untuk saling menghormati dan menghargai sesama layaknya manusia. Keindonesiaan adalah realitas historis, rumah kita bersama yang wajib kita jaga dan kita lindungi. Kebhinekaan adalah realitas sosial, di mana manusia-manusia di dalamnya secara aktual memang berbeda-beda, yang wajib kita rawat.

Menjadikan ketiga nilai ini sebagai tolak ukur dalam nalar kritis akan bisa menghalau virus-virus radikalisme berupa intoleransi, takfirisme, dan sikap mau benar sendiri. Apa pun yang bertolak belakang dari ketiga nilai itu harus ditolak dan dilawan.

Intelektual sebagai manusia terdidik dan mempunyai daya kritis harus  kebal dari bahaya kedua penyakit ini. Maka yang paling mendesak dilakukan sebenarnya adalah menumbuhkan daya kritisisme siswa.

Selain membudayakan daya kritisisme kaum intelektual millennial, membumikan nilai-nilai juga perlu mendapat perhatian yang serius. Upaya ini tentu sudah dilakukan oleh Pemerintah dengan mensosialisasikan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tuggal Ika. Dalam beberapa kegiatan acara ini mendapat respons yang serius dan antusias dari siswa sebagai calon intelektual. Ini terlihat dari banyaknya siswa yang berbondong-bondong mengikuti acara ini.

Sekalipun demikian, ajaran yang didapat siswa di kegiatan ekstra dan luar kampus justru lebih efektif dan lebih berpengaruh terhadap pola pikir, bertindak dan bersikap dari siswa. Ini terjadi, selain waktu yang mereka dapat di sekolah lebih sedikit ketimbang di kegiatan ekstra, juga materi yang didapat di luar/ekstra lebih banyak ketimbang di dalam ruangan kelas.

Tentu apapun itu, radikalisme dan ekstremisne tentu merupakan musuh bersama, bukan hanya pihak sekolah, apalagi hanya dibebankan kepada pejabat kampus dan dosen. Kedua penyakit ini adalah musuh dunia. Dibutuhkan kerja kolektif dan gandengan tangan untuk menghalau  dan mengusir paham yang membawa kepada ekstremisne dan radikalisme yang mewujud dalam sikap intoleran dan takfirisme.

Nursaulina

View Comments

Recent Posts

Negara dalam Pandangan Islam : Apakah Sistem Khilafah Tujuan atau Sarana?

Di dalam fikih klasik tidak pernah dibahas soal penegakan sistem khilafah, yang banyak dibahas adalah…

21 jam ago

Disintegritas Khilafah dan Inkonsistensi Politik Kaum Kanan

Pencabutan izin terhadap Hizbut Tahrir Indonesia dan Front Pembela Islam ternyata tidak serta merta meredam propaganda khilafah dan wacana…

23 jam ago

Kritik Kebudayaan di Tengah Pluralisasi dan Multikulturalisasi yang Murah Meriah

Filsafat adalah sebuah disiplin ilmu yang konon mampu menciptakan pribadi-pribadi yang terkesan “songong.” Tempatkan, seumpamanya,…

1 hari ago

Spirit Kenaikan Isa Al Masih dalam Menyinari Umat dengan Cinta-Kasih dan Perdamaian

Pada Kamis 9 Mei 2024, diperingati hari Kenaikan Isa Al Masih. Yakni momentum suci di…

1 hari ago

Pembubaran Doa Rosario: Etika Sosial atau Egoisme Beragama?

Sejumlah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) yang sedang berdoa Rosario dibubarkan paksa oleh massa yang diduga diprovokasi…

2 hari ago

Pasang Surut Relasi Komitmen Kebangsaan dan Keagamaan

Perdebatan mengenai relasi antara komitmen kebangsaan dan keagamaan telah menjadi inti perdebatan yang berkelanjutan dalam…

2 hari ago