Narasi

Menghindari Polarisasi dan Disinformasi yang Melumpuhkan Institusi Demokrasi

Pada Senin, 26 Agustus 2024, silam puluhan hingga ratusan mahasiswa kembali berkumpul di depan Gedung DPR/MPR untuk melakukan demonstrasi. Di antara mereka, tampak mahasiswa dari Institut Pariwisata Trisakti, Bina Sarana Informatika (BSI), dan Universitas Binawan, sementara sebagian lainnya membawa bendera Front Mahasiswa Nasional (FMN).

Aksi tersebut merupakan lanjutan dari demonstrasi besar yang melibatkan buruh dan mahasiswa pada Kamis, 22 Agustus 2024, yang sukses mendesak DPR untuk membatalkan revisi UU Pilkada. Bahkan, tokoh publik seperti aktor Reza Rahadian dan sejumlah stand-up comedian ikut dalam aksi tersebut, menunjukkan tingginya kepedulian publik terhadap isu ini.

Namun, di balik kemenangan tersebut, terdapat ancaman besar yakni polarisasi dan disinformasi. Polarisasi politik selalu menjadi ruang gelap yang sering kali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin menimbulkan chaos. Di tengah kondisi yang kacau, gerakan radikalisasi dengan cepat dapat menyusup dan menyebar di masyarakat, memanfaatkan situasi ketidakpastian dan ketidakpercayaan publik terhadap institusi-institusi demokrasi.

Polarisasi bukan hanya persoalan perbedaan pendapat dengan permasalahan yang sederhana, namun sering kali berkembang menjadi konflik sosial yang mampu memecah belah masyarakat ke dalam dua kutub yang saling berlawanan. Polarisasi yang bersifat ekstrem, dapat melemahkan lembaga-lembaga demokrasi, memperdalam ketidakpercayaan masyarakat, dan akhirnya memicu konflik yang lebih luas.

Polarisasi politik sering kali dieksploitasi oleh kelompok-kelompok radikal yang ingin merubah sistem pemerintahan, bahkan ingin mengganti ideologi bangsa. Mereka menggunakan narasi bahwa sistem demokrasi telah gagal dan menawarkan khilafah sebagai solusi atas segala masalah yang dihadapi bangsa. Kondisi ini semakin diperparah oleh disinformasi yang menyebar dengan cepat melalui media sosial, menambah kebingungan dan ketidakpastian di kalangan masyarakat.

Saya tidak berpretensi untuk tidak mendukung aksi dan kebebasan seperti demontrasi, tetapi hanya ingin menutupi celah yang seringkali dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk mewujudkan polarisasi dan bahkan ketidakpercayaan terhadap institusi demokrasi. Ketidakpercayaan ini akan berakibat fatal karena akan melumpuhkan tatanan sosial yang ada.

Institusi demokrasi baik negara dari berbagai fungsinya maupun media, dan masyarakat sipil harus berada dalam koridor yang konsisten dalam prinsip demokrasi. Bukan ingin menghancurkan demokrasi dengan anarki, tetapi merawat kewarasan demokrasi melalui aksi. Bukan sekali lagi, aksi yang dapat merusak tatanan demokrasi karena diwarnai anarki dan ditunggangi kelompok kepentingan.

Dalam situasi seperti sekarang, di mana fakta sering kali dikalahkan oleh opini dan emosi, media memiliki peran yang sangat penting dalam menekan disinformasi. Ketika disinformasi dibiarkan menyebar tanpa kontrol, ia dapat melemahkan ketahanan nasional dengan menciptakan kebingungan dan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat.

Disinformasi juga memiliki potensi untuk merusak fondasi demokrasi dengan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap institusi-institusi negara dan memecah belah masyarakat. Dalam krisis politik seperti yang terjadi saat ini, media harus mampu berperan sebagai penyeimbang, menyajikan informasi yang akurat dan dapat dipercaya, serta menjadi ruang dialog yang sehat bagi berbagai pandangan.

Media juga harus proaktif dalam melakukan verifikasi fakta dan memberikan kontra-narasi terhadap disinformasi yang beredar. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa publik mendapatkan informasi yang benar dan tidak terjebak dalam narasi yang menyesatkan. Selain itu, media juga harus memberikan ruang bagi suara-suara moderat yang mendorong persatuan dan kesatuan di tengah krisis politik.

Polarisasi dan disinformasi akan semakin memperburuk situasi krisis politik dan membuka celah bagi kelompok-kelompok radikal untuk memanfaatkan situasi. Pentingnya seluruh pihak sebagai institusi demokrasi baik negara, masyarakat dan media untuk bersikap waspada dan kritis terhadap informasi yang beredar, terutama di media sosial. Kampanye literasi digital juga harus diperkuat untuk membantu masyarakat memahami bagaimana mengenali disinformasi dan tidak mudah terprovokasi oleh berita-berita yang tidak jelas sumbernya.

Menghadapi situasi krisis politik yang memanas, bangsa Indonesia harus bersikap waspada terhadap potensi disinformasi dan upaya-upaya kelompok radikal yang ingin memanfaatkan situasi untuk kepentingan mereka sendiri. Ketahanan nasional bukan hanya soal kekuatan militer atau ekonomi, tetapi juga tentang kemampuan masyarakat untuk tetap bersatu dan tidak terpecah belah oleh polarisasi dan disinformasi.

Ernawati Ernawati

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

18 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

18 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

18 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

18 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago