Narasi

Mengikis Viralitas Kebencian Lewat Logika Bercanda

Mendekati gelaran pesta demokrasi pada April 2019 ini, tak bisa disangkal bahwa informasi hoax yang dilampiri dengan ujaran kebencian ternyata tak jua berkurang dalam ruang interaksi masyarakat. Sebaliknya viralitas hal-hal semacam itu malah semakin mengemuka. Media pengantar yang paling dekat dengan masyarakat kita hari ini adalah media sosial. Kedekatannya bahkan tak tanggung-tanggung, hingga ke peraduan pun informasi semacam itu mampu dihantarkan dalam ruang berfikir kita masing-masing. Sehingga tidak mengherankan bila sejatinya setiap individu di muka bumi ini sangatlah mustahil keluar dari gempurannya. Hoax dan ujaran kebencian yang melekatinya akan lebih mudah lagi memanaskan pemikiran masing-masing individu, bila frame berfikir untuk mengafirmasi hal-hal demikian telah menjadi koridornya.

Banyak pihak yang sebenarnya terus berupaya menyuarakan agar hal demikian bisa direduksi atau bahkan dihilangkan dari peradaban manusia. Seruan semacam ini bukan hanya ada di Indonesia saja. Paus Fransiskus selaku pemimpin umat Katolik seluruh dunia bahkan sampai turut menegaskan seruannya ke seluruh dunia untuk menghindari, sekaligus berupaya memerangi peredaran informasi yang berbahaya tersebut. Hal tersebut disampaikannya pada hari komunikasi sosial gereja Katolik sedunia 2018 lalu. Pernyataan tegas darinya dilatari oleh efek rusak yang potensial hadir dalam kehidupan manusia. Lewat informasi yang demikian, emosi setiap orang sesaat dieksploitir guna menghadirkan kegelisahan, kemarahan bahkan dendam terhadap pihak-pihak yang dianggapnya musuh. Tidak cukup sampai di situ, pihak lain yang dianggap memiliki citra identitas yang serupa dengan lawannya pasti akan didudukkann dalam posisi sebagai lawan yang mesti ditundukkan. Bila perlu bahkan dibinasakan.

Kemolekan Kebencian

Tak dapat dielakkan kemolekan ujaran kebencian untuk diinstrumentalisir dalam mencapai hal tertentu, sangatlah mempesona. Setidaknya bila ujaran kebencian dianggap sebagai cara lain untuk mendapatkan kepentingan, maka ujaran kebencian dapat dikategorikan sebagai magnet yang kuat untuk hal tersebut. Sebab daya pikat yang dilontarkan dalam setiap diksi atau pun gambar, mampu dengan cepat diserap individu lain untuk kemudian mengarahkan mereka bersikap pro atau pun kontra. Baik reaksi pro dan kontra yang dilontarkan balik, pastilah mengandung emosi tersendiri. Dari sini saja segala macam hal sangat potensial terjadi. Bila mampu melakukan pengelolaan kondisi agar isu ujaran kebencian tetap langgeng maka pihak yang menjadi pelakunya sangat berpeluang untuk mendapatkan tujuannya. Tidak mengherankan bila dalam era yang disebut post-truth belakangan ini, ujaran kebencian dapat berkalin-kelindan dengan peredaran hoax. Sebab ujaran kebencian akan dapat berkumandang nyaring bila dapat bersanding dengan pelintiran terhadap sebuah informasi.

Baca juga : Viralkan Narasi Cinta di Medsos; Cara Santun Lawan Hate Speech

Setidaknya kita dapat melihat rekaman sejarah mengenai hal itu sebelum dan ketika pemerintahan NAZI menguasai beberapa wilayah di Eropa. Dalam catatan salah satu filsuf politik besar yaitu Hannah Arendt, kita dapat mengetahui bahwa lewat agitasi, indoktrinasi dan kampanye yang dilakukan terus-menerus diselingi penyebarluasan politik ketakutan, seorang Hittler mampu membuat banyak perubahan pada negara Jerman dan wilayah Eropa. Hal tersebut dilakukannya terhadap sejumlah besar masyarakat Yahudi yang ketika itu banyak bermukim di wilayah Eropa. Politik hasutan untuk melontarkan kebencian secara massal dilakukannya, guna membangkitkan spirit nasionalisme bangsa Jerman ketika itu. Efeknya sangat luar biasa, sebab ternyata luapan emosi masyarakat ketika itu berhasil diinstrumentalisir demi kepentingan sang fuhrer. Kekerasan demi kekerasan, serta setiap ujaran kebencian berhasil menjadi suatu banalitas dalam masyarakat. Banyak masyarakat yang kemudian semakin berjarak dengan rasionalitasnya.

Melawan dengan Logika Bercanda

Biar bagaimanapun, hidup mesti diperjuangkan. Karena itu, jalan keluar pun mesti diupayakan. Salah satu hal yang menarik untuk diperhatikan belakangan ini dan potensial untuk mengikis lontaran kebencian yang belakangan beredar adalah video dengan konten bercanda. Beberapa figur mendadak fenomenal karena berhasil menghadirkan bahan-bahan yang fresh lewat logika bercanda dalam konten video atau meme yang disebarkannya. Bahkan karena viralitas tersebut figur-figur yang tampil mendadak diidolakan oleh masyarakat yang sebelumnya ramai berdebat. Viralitas hal tersebut tidak hanya terbuktikan karena banyaknya content re-post, melainkan juga karena beberapa stasiun Televisi mainstream di negara ini bahkan mengangkat hal-hal tersebut sebagai pemberitaan. Konten-konten tersebut seolah keluar dari pakem lingkaran perdebatan (baca: kebencian). Karena keluar dari pakem tersebut, rupanya antusiasme masyarakat pun ikut tersedot. Masyarakat secara implisit seolah meng-aminkan akan kebutuhan terhadap candaan yang mampu melepaskan mereka dari belenggu perdebatan dan lontaran kebencian.

Dari konten-kontens tersebut sebenarnya kita bisa mengambil beberapa analisis awal yang mungkin berguna bagi bangsa ini sendiri. Hal pertama adalah bangsa ini sejatinya tidak menginginkan adanya keributan dan lebih menyukai kebahagiaan. Jadi sebenarnya teramat konyol bila kebahagiaan yang ada harus ditukar dengan ideologi menyesatkan dan membinasakan dari luar yang berselimutkan agama. Lalu untuk analisis sederhana yang kedua dari realitas yang ada adalah sejatinya bangsa ini tidak memerlukan hal yang kompleks bila ingin menyelesaikan persoalan. Acap kali dalam beberapa kisah sejarah bangsa ini, beberapa persoalan dapat terselesaikan hanya dengan mengembalikannya pada ingatan akan yang sederhana. Contohnya seperti tentang keluarga, perkumpulan dan tentu tentang candaan sederhana.

Jadi buat apa membenci, bila canda tawa itu lebih menyenangkan?

Fredy Torang WM

Penerima Asian Graduate Student Fellowship - Asia Research Institute 2016, Pengajar di program studi Hubungan Internasional Universitas Brawijaya

View Comments

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

15 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

15 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

15 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

15 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago