Narasi

Mengimplementasikan RAN PE dalam Dunia Pendidikan

Kabar gembira datang belum lama ini. Wapres Ma’ruf Amin meluncurkan Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2021. Peraturan yang dimaksud adalah tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme tahun 2020-2024 (RAN PE)

Dengan diluncurkannya pelaksanaan peraturan tersebut, diharapkan RAN PE segera memiliki taji untuk melawan gelombang ekstremisme yang menggila di negeri ini. Sudah barang tentu, implementasi RAN PE membutuhkan kerja sama semua pihak.

Wapres Ma’ruf dengan tegas meminta kepada semua pihak agar bekerja sama, baik pusat atau pun daerah untuk menyukseskan peraturan presiden yang baru ditanda tangani di awal tahun tersebut.

Urgensi mengimplementasikan pelaksanaan peraturan tersebut tampaknya memang harus segera dilakukan. Mengingat paham ekstremisme sudah merasuk ke berbagai lini, bahkan sudah masuk ke dunia pendidikan.

Ibarat kanker ganas, paham ekstremisme terus menjalar dan berkembang. Apabila tidak segera diatasi, paham tersebut akan membawa kehancuran bagi bangsa ini.

Pada tahun 2017, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar sebuah survei tentang Sikap Keberagamaan Siswa dan Mahasiswa Muslim di Indonesia. Hasilnya?

Separuh lebih responden, yakni sebanyak 58,5% memiliki kecenderungan bersikap radikal. Dari survei tersebut diketahui juga bahwa siswa dan mahasiswa lebih intoleran atau sangat intoleran dengan kelompok muslim yang berbeda daripada (51,1%) dibandingkan dengan pemeluk agama lain (34,3%).

Artinya sikap intoleran di dalam internal umat Islam lebih tinggi dibandingkan sikap intoleran dengan pemeluk agama yang berbeda. Hal itu, dipicu oleh ketidaksukaan mereka terhadap kelompok Ahmadiyah dan Syiah.

Survei tersebut juga mengungkap fakta bahwa sikap radikal dan intoleran para siswa dan mahasiswa secara eksternal disebabkan oleh kebencian mereka terhadap Yahudi. Sebanyak 53,74% persen siswa dan mahasiswa setuju apabila Yahudi adalah musuh Islam. Dan 52,99% setuju bahwa orang Yahudi itu membenci Islam. Dari manakah mereka dapat berpikiran seperti itu? Jawabannya adalah karena pada buku ajar PAI, Yahudi kerap digambarkan sebagai kaum licik.

Temuan dari survei tersebut tentu sangat membuat hati miris. Sebagaimana tertuang dalam pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2003, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Lalu apabila paham intoleran-radikal berkembang di lembaga pendidikan dan menyasar anak didik, akankah fungsi dan tujuan dari pendidikan nasional itu akan dicapai?

Kurikulum Anti Radikalisme

Peluncuran Pelaksaan RAN PE menjadi angin segar dalam di tengah semakin eksisnya paham ekstremisme di dunia pendidikan. Oleh karena itu, implementasi RAN PE dalam dunia pendidikan harus segera dilakukan.

Salah satunya adalah membentuk kurikulum anti radikalisme untuk lembaga pendidikan dari tingkat bawah sampai tingkat tinggi. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengembangan kurikulum dari pusat hingga daerah harus bekerja sama. Saling bahu membahu untuk menciptakan kurikulum yang akan membentuk sikap keagamaan moderat pada siswa.

Apabila perlu, ada mata pelajaran terkait anti radikalisme. Agar para siswa mewaspadai paham tersebut di mana pun dan kapan pun.

Selain itu, seleksi ketat harus dilakukan dalam pembuatan buku ajar PAI untuk sekolah. Temuan PPIM yang menyebut buku ajar PAI membuat sikap intoleran siswa patut menjadi perhatian. Sebelum buku ajar tersebut dicetak dan kemudian didistribusikan, harus diawasi dengan snagat teliti. Jangan sampai, buku ajar yang seharusnya berisi pengetahuan yang berwawasan kebangsaan, malah membuat siswa menjadi intoleran-radikal.

Pada akhirnya, implementasi RAN PE tidak akan berjalan sukses di dunia pendidikan tanpa adanya kemauan dan kerja keras semua pihak, baik pusat maupun daerah. Anak-anak didik hari ini adalah tumpuan harapan bangsa di masa depan. Jangan sampai mereka terpapar paham yang sangat berbahaya bagi keberlangsungan NKRI. Jaga mereka dari paham intoleran-radikal yang merusak nurani. Semoga dimengerti.

This post was last modified on 28 Juni 2021 1:24 PM

Tutik Dinur Rofiah

Recent Posts

Dakwah Nge-Pop ala Influencer HTI; Ancaman Soft-Radicalism yang Menyasar Gen Z

Strategi rebranding Hizbut Tahrir Indonesia alias HTI tampaknya cukup berhasil. Meski entitas HTI secara fisik…

2 jam ago

Performative Male: Ruang Gelap Radikalisasi yang Menggurita di Era Gen Z

Validasi adalah sebuah elemen yang melekat pada Generasi Z. Keduanya berkelindan. Tak terpisahkan. Beberapa tahun…

3 jam ago

Membedah Anatomi Gerakan Gen Z; Membangun Imajinasi Keindonesiaan yang Otentik

Geliat gerakan yang dimotori gen Z di sejumlah negara ternyata tidak dapat dipandang sebelah mata.…

24 jam ago

Wajah Baru Radikalisasi di Dunia Game

Gen Z lahir dengan dua kewarganegaraan. Indonesian citizenship dan internet citizenship (netizen). Bagi mereka, tidak…

24 jam ago

Gen-Z dan Islam Moderat; Bagaimana Ekologi Media Membentuk Identitas Beragama yang Inklusif?

Hasil survei dari Alvara Institute pada tahun 2022 lalu menyebutkan bahwa agama menjadi salah satu…

1 hari ago

DNA Aktivisme Gen Z: Mengelola Genetik Perubahan Anak Muda

Gelombang aktivisme anak muda, khususnya Generasi Z, semakin menjadi sorotan global. Dari Nepal, Bangladesh, Sri…

2 hari ago