Gagasan mendirikan khilafah yang menghalalkan kekerasan dilatari salah satunya oleh kerancuan dalam menafsirkan teks keagamaan. Kelompok pengusung khilafah, misalnya Hizbut Tahrir sangat meyakini bahwa khilafah berasal dari Allah dan umat Islam berkewajiban menegakkannya.
Para pendukung khilafah kerap mencomot ayat Alquran dan hadist untuk mendukung keyakinannya. Salah satu andalannya ialah Surat al Baqarah ayat 30, yakni “wa idz qa la rabbuka lil malaikati inniy ja’ilun fil ardhli khalifah. Selain ayat tersebut, kelopok HT juga kerap menukil hadist “khilafah ala minhajin nubuwwah” untuk mendukung klaimnya.
Dalam Bahasa Indonesia, redaksi hadist tersebut berbunyi “Sesungguhnya kalian ada di tengah kenabian, yang akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian, yang akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak”.
Hadist khilafah ala minhajin nubuwwah itu oleh para ahli hadist dikategorikan dhaif (lemah). Jadi, tidak dapat dijadikan dasar hukum. Sedangkan makna khalifah dalam penggalan Surat Albaqarah itu menurut pada mufassir tidak merujuk pada kepemimpinan politis (negara).
Problem penafsiran ini tentu bukan perkara sepele. Ayat yang tidak berbicara isu politik namun di-framing ke dalam tafsir yang ideologis-politis tidak hanya menodai kesucian teks, namun juga berpotensi menimbulkan persoalan krusial.
Corak Penafsiran Teks Keislaman
Dalam khazanah ilmu tafsir di tradisi Islam, model penafsiran secara garis besar dapat diklasifikasikan ke dalam dua corak. Pertama, corak penafsiran kontekstual yang berusaha memaknai Alquran dengan pendekatan rasional dan menghasilkan tasfir yang relevan dengan semangat zaman. Model penafsiran ini cenderung melahirkan cara pandang dan praktik keagamaan yang toleran, inklusif, dan moderat.
Kedua, corak penafsiran tekstual yang menafsirkan ayat Alquran secara harfiah tanpa berusaha mengkontekstualisasikannya dengan realitas zaman. Model penafsiran ini akan melahirkan cara pandang dan praktik keagamaan yang konservatif bahkan menjurus radikal.
Model penafsiran kedua (tekstualis) inilah yang diadaptasi oleh para pendukung gerakan khilafah. Mereka mencomot ayat Alquran dan hadist, lalu ditafsirkan secara harfiah demi mendukung klaim-klaim bombastisnya. Ironisnya, mereka menganggap tafsiran itu sebagai hasil final dan mengikat seluruh umat. Klaim kebenaran tunggal itu lantas melahirkan fenomena intoleransi, kekerasan, dan teror dengan dalih menegakkan syariah Islam.
Mengembangkan Tafsir Maqashidi
Model penafsiran tekstualis memang problematik. Di satu sisi, penafsiran tekstualis cenderung membatasi hasil penafsiran hanya di permukaan. Alhasil, kita gagal menyelami makna terdalam (the deepest meaning) dari sebuah teks. Di sisi lain, penafsiran tekstualis juga gagal dalam mendialogkan antara teks dan konteks. Seolah teks itu berdiri sendiri dan tidak ada kaitannya dengan ruang dan waktu tertentu.
Di tengah kerancuan tafsir para pendukung khilafah inilah, penting kiranya kita mengembangkan model penafsiran alternatif. Salah satunya tafsir maqashidi yang belakangan mulai dipopulerkan sejumlah kalangan. Tafsir maqashidi diartikan sebagai praktik penafsiran yang tidak hanya membahas makna teks, namun juga mengali maksud di balik teks baik secarap partikular maupun universal.
Sederhananya, tafsir maqashidi adalah tafsir yang bergerak dari menjelaskan cara (kaifiyah al wasfiyah) menuju menjelaskan maksud (maqashidiyah al ghayatiyah). Misalnya dalam menafsirkan ayat tentang shalat, kita tidak boleh hanya berhenti pada penjelasan tentang tata cara shalat, namun harus sampai pada apa makna di balik perintah shalat dan apa tujuan shalat itu sendiri.
Tafsir maqashidi berkaitan erat dengan prinsip maqashid syariah (tujuan pokok syariah). Artinya, tafsir maqashidi berusaha mencari makna terdalam dari sebuah teks agar menghasilkan produk tafsir yang sesuai dengan maqashid syariah. Menurut Abdul Mustaqim, Guru Besar Tafsir UIN Sunan Kalijaga, ada setidaknya lima prinsip fundamental dalam tafsir maqashidi.
Yaitu keadilan, kesetaraan moderasi, kemanusiaan, dan kebebasan. Lima prinsip ini sejalan dengan tujuan pokok syariah (maqashid syariah) yakni menjaga agama, nyawa, akal, harta, dan keturunan. Maknanya, sebuah produk tafsir bisa dikatakan memenuhi kriteria tafsir maqashidi jika menjiwai lima prinsip (ushulul khomsah) tersebut.
Model tafsir maqashidi ini kiranya cocok sebagai pendekatan atau metode dalam menafsirkan ayat-ayat khilafah yang cenderung multitafsir. Pendekatan tafsir maqashidi memungkinkan kita untuk tidak sekadar memahami makna terluar dari sebuah teks. Namun juga menyelami maksud dan tujuan dari teks tersebut.
Dalam konteks khilafah, pendekatan tafsir maqashidi akan menuntun kita menemukan apa hakikat pemerintahan dan kepemimpinan dalam Islam. Corak penafsiran maqashidi urgen diterapkan agar umat tidak terjebak ke dalam kesimpulan prematur yang meyakini bahwa bentuk ideal pemerintahan dalam Islam ialah khilafah.
This post was last modified on 17 Februari 2023 2:49 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…