Narasi

Menimbang Otoritas Ulama dalam Dakwah Dunia Maya

Era digital membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam cara kita memahami dan mengakses ilmu agama. Salah satu aspek yang terdampak adalah otentisitas dan otoritas ulama dalam memberikan fatwa atau nasihat keagamaan. Dengan berkembangnya platform digital seperti media sosial, situs web, dan aplikasi berbasis internet, masyarakat kini memiliki akses lebih mudah terhadap berbagai sumber informasi agama, baik yang berasal dari ulama terkemuka maupun dari individu atau kelompok yang belum tentu memiliki keahlian yang memadai.

Salah satu tantangan utama bagi otentisitas ulama di era digital adalah maraknya informasi yang tidak terverifikasi. Di media sosial, siapa pun dapat mempublikasikan pandangan atau fatwa mereka tanpa harus melalui proses verifikasi yang ketat. Akibatnya, banyak informasi yang tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat, dan ini sering kali menyebabkan kebingungannya umat Muslim. Misalnya, ada sejumlah akun yang mengklaim dirinya sebagai ulama atau ahli agama, namun ajaran yang disampaikan sangat jauh dari prinsip-prinsip dasar Islam.

Sebagai contoh, beberapa fatwa yang dipublikasikan di media sosial atau kanal YouTube tidak jarang menyebarkan pemahaman yang sempit dan bahkan radikal. Pemahaman ini kemudian menyebar dengan cepat, karena audiens merasa terhubung secara emosional dengan konten yang disajikan, tanpa mengkritisi kesahihan informasi tersebut.

Bahkan, ada yang berpendapat bahwa dengan adanya media sosial, batasan antara ulama yang sah dan yang tidak sah semakin kabur. Otentisitas ulama harus diuji dengan kriteria ilmiah yang jelas dan berdasarkan referensi yang valid, bukan hanya berdasarkan popularitas atau pengaruh media.

Otoritas ulama dalam memberikan panduan keagamaan juga dihadapkan pada tantangan besar di dunia digital. Otoritas ini pada dasarnya diberikan oleh masyarakat berdasarkan keahlian dan penguasaan mereka terhadap sumber-sumber agama yang sah, seperti Al-Qur’an, Hadis, dan pendapat para ulama terdahulu. Namun, di era digital, siapa pun bisa mengklaim dirinya sebagai “ahli” tanpa perlu melalui pendidikan yang memadai.

Dalam menghadapi tantangan ini, penting untuk memisahkan antara ulama yang benar-benar berkompeten dengan mereka yang hanya memiliki pengaruh di dunia maya. Ulama yang memiliki otoritas untuk memberi fatwa haruslah memiliki latar belakang pendidikan yang jelas dan diakui dalam dunia Islam, seperti melalui lembaga pendidikan yang sah dan diakui oleh komunitas ilmiah Islam, seperti al-Azhar di Mesir, Universitas Madinah di Saudi Arabia, atau perguruan tinggi Islam terkemuka lainnya.

Pengakuan ini penting agar fatwa-fatwa yang dikeluarkan tetap sesuai dengan prinsip Islam yang moderat, tidak terpengaruh oleh kepentingan politik atau ideologi tertentu. Dalam konteks Indonesia, ulama yang memiliki otoritas juga harus mampu mempertahankan prinsip Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah) sebagai basis beragama yang moderat dan inklusif, sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan.

Penting bagi ulama untuk memanfaatkan teknologi digital secara bijak. Media sosial, misalnya, dapat digunakan sebagai sarana untuk memberikan penjelasan yang sahih mengenai ajaran Islam yang moderat dan mengedukasi umat mengenai cara memilah informasi yang benar. Dengan berpartisipasi dalam diskursus online, ulama dapat langsung mengoreksi pemahaman yang salah yang mungkin tersebar di masyarakat.

Namun, untuk menjaga otoritas dan otentisitas mereka, ulama harus senantiasa mengedepankan integritas dan keilmuan yang mendalam. Mereka perlu menjawab tantangan-tantangan yang muncul dengan menggunakan metodologi yang sesuai dengan prinsip-prinsip fiqh dan ilmu-ilmu Islam yang telah mapan. Selain itu, ulama juga harus memiliki komunikasi yang jelas dan terbuka dengan umat, sehingga masyarakat tidak terjebak pada informasi yang salah atau menyesatkan.

Salah satu cara untuk menjaga otoritas dan otentisitas ulama adalah dengan melakukan pengawasan terhadap penyebaran informasi keagamaan di media sosial juga sangat penting. Pemerintah, lembaga agama, dan organisasi-organisasi Islam harus bekerja sama untuk memastikan bahwa hanya informasi yang sahih dan kredibel yang dapat diakses oleh publik.

Era digital membawa tantangan besar terhadap otentisitas dan otoritas ulama. Namun, dengan menggunakan media sosial dan teknologi secara bijak, ulama dapat memperkuat peran mereka dalam memberikan panduan agama yang benar dan moderat. Sebagai umat Muslim, kita harus lebih bijak dalam memilih sumber informasi keagamaan, mengedepankan ilmu yang sahih, dan menolak informasi yang tidak jelas asal-usulnya. Dengan demikian, kita bisa menjaga kedamaian dan keharmonisan dalam beragama di tengah perkembangan zaman yang semakin cepat.

Septi Lutfiana

Recent Posts

Moderasi dan Beragama dengan Berketuhanan

Pancasila, yang konon disebut-sebut sebagai dasar negara, tak pernah menyematkan istilah agama di dalamnya, meskipun…

10 jam ago

Menangkal Ancaman Terorisme Pasca Kejatuhan Bashar Assad Di Suriah

Peristiwa mengejutkan terjadi di Suriah. Kelompok pemberontak Suriah yang dipelopori Hayat Tahrir-al-Sham (HTS) berhasil mengusai…

11 jam ago

Timbang-timbang ‘Sertifikasi Ulama’ di antara Urgensi dan Kontroversi

Sebagai salah satu negara paling relijus di dunia, ulama memiliki posisi penting dalam setiap lini…

11 jam ago

Influencer Dakwah; Pentingnya Integritas dalam Menerapkan Prinsip Moderat

Di zaman ini, seorang pendakwah yang populer mau tidak mau juga menjalani peran sebagai seorang…

1 hari ago

Menjaga Integritas Tokoh Agama Moderat, Merawat Kepercayaan Masyarakat

Tokoh agama memiliki peran yang sangat penting dalam membangun dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap ajaran…

1 hari ago

Waspada Gelombang Cancel Culture pada Pendakwah Aswaja-Moderat

Tidak dinyana, adegan Gus Miftah tengah membecandai penjual minuman yang viral itu berdampak luas pada…

1 hari ago