Narasi

Menjadi Agen Damai dalam ber-Media

Berangkat dari sebuah pemaparan Yvone Jewkes (2011), seorang profesor kriminologi dari Universitas Leicester, diketahui bahwa banyaknya pemuda yang dapat dikategorikan dalam usia milenial (17-29) tertarik mengikuti gerakan-gerakan radikal akibat pengaruh informasi yang diperolehnya via internet. Sudah barang tentu fenomena ini tidak hanya terjadi di satu negara. Persoalan ini pun terjadi di banyak tempat seperti Indonesia, Saudi, beberapa negara Eropa bahkan Amerika Serikat pun tak luput dari persoalan demikian. Mungkin sampai di sini kita bisa mengatakan bahwa fenomena ini banyak menghinggapi masyarakat di wilayah yang telah bersentuhan dengan teknologi informasi berupa internet. Namun tentu sangatlah kerdil pola pemikiran yang hanya melulu mengedepankan cara pandang yang berorientasi pada pencarian hal yang bisa disalahkan. Lebih parah lagi bila kita kemudian lantas menjatuhkan vonis bahwa internet merupakan biang persoalan yang ada.

Bila kita kemudian menjatuhkan vonis bersalah untuk persoalan penggunaan internet, maka pada gilirannya kebebasan masing-masing individu dalam mencari informasi  pun perlahan akan pupus. Hal ini potensial terjadi sebab kerisauan akan informasi yang beredar di ruang dunia maya menuntut adanya sebuah proteksi yang berlaku massal. Hal ini jelas memunculkan pertanyaan dalam pemikiran kita, bagaimana kemudian kita memenuhi kebutuhan kita akan informasi dan pengetahuan untuk terus membangun, bila kita mesti berhadapan dengan pengekangan dalam proses pencariannya. Hal ini menjadi lebih sulit lagi sebab banyaknya generasi muda hari ini yang menumpukan kebutuhannya akan informasi melalui internet. Dari survei yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies di 34 provinsi di Indonesia diketahui bahwa setidaknya terdapat 54.3 persen orang muda yang melakukan hal ini. Pada akhirnya pembatasan dan pengekangan hanya akan melahirkan pemberontakan. Jelas hal ini hanya akan merusak tatanan sosial masyarakat.

Membaca: Langkah Kecil menjadi Pejuang Damai

Saya kira yang mesti dilakukan saat ini adalah mencari pola-pola lain yang mungkin lebih kompleks namun menawarkan potensi penyelesaian yang jauh dari kata reaksioner sekaligus mengakomodir sejumlah solusi persoalan di atas. Bila kita melihat penjelasan persoalan di atas, maka kita bisa membayangkan setidaknya ada sebuah hal yang bisa dijadikan titik tekan sebelum kita masuk untuk pencarian jalan keluar atas persoalan tersebut. Adalah banyaknya masyarakat yang berjarak dengan pemahaman tentang membaca tulisan secara utuh membuat kita kerap terhantui oleh gesekan. Untuk melihatnya, setidaknya ada dua hal yang mesti disadari terkait sebuah informasi atau pun pengetahuan dari internet. Yang pertama adalah dengan menyadari bahwa setiap informasi dan pengetahuan memiliki perspektif dan diksi yang mendukungnya.

Banyak dari kita yang lebih tertarik dengan judul-judul tulisan yang bombastis meskipun mereka belum membaca tulisan tersebut secara utuh. Padahal, tak dapat disangkal bahwa setiap informasi tak lepas dari sebuah perspektif untuk dapat membuatnya dalam ruang pesonanya. Tanpa diksi tertentu atau pun persepektif yang “renyah”, maka segala informasi hanya akan menjadi sebuah kejadian biasa. Kekuatan setiap diksi dan bingkai perspektif dalam menarik emosi pembaca menjadi titik tekan setiap tulisan.

Lebih parahnya lagi, tidak jarang tulisan-tulisan tersebut hadir tanpa memunculkan data pendukung gagasannya. Padahal sejatinya gagasan tulisan akan dapat berdiri dengan pilar-pilar berupa data. Dengan bantuan data, pembaca akan mampu melihat silogisme tulisan yang dibuat oleh si penulis. Setidaknya dengan mengenali dua hal sederhana di atas, pembaca mulai diajak untuk perlahan membuka mata dan kemudian memilah serta memilih asupan informasi yang tepat untuk dirinya.

Saya kira, menaruh sedikit kecurigaan melalui langkah sederhana tersebut, potensial menghantarkan kita pada kekritisan terhadap setiap informasi atau pun pengetahuan tertentu. Generasi milenial yang saat ini dekat dengan media internet wajib untuk mengedepankan hal diatas sebelum masuk dan larut dalam emosi yang disajikan sebuah tulisan. Ingat, hasrat untuk menjadi yang terdepan dalam membagikan sesuatu yang bombastis menjadikan setiap individu mengurangi nalar kritis untuk melakukan filterisasi atas informasi yang baru saja diperolehnya. Pada gilirannya, bukan manisnya perdamaian yang akan kita cecap melainkan pedihnya perselisihan dan konflik di antara setiap individu. Bila budaya membaca dengan baik saja sulit kita aplikasikan dalam hidup kita maka jangan pernah bermimpi untuk dapat merasakan indahnya harmoni keberagaman.

 

Fredy Torang WM

Penerima Asian Graduate Student Fellowship - Asia Research Institute 2016, Pengajar di program studi Hubungan Internasional Universitas Brawijaya

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

13 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

13 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

13 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago