Narasi

Menjadi Milenial Pengawal Pancasila

Meski Pancasila telah diterima sebagai ideologi bersama negara Indonesia, tetapi membumikan Pancasila di tanah penuh dengan keragaman tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain karena banyak tafsir dalam pemaknaan Pancasila sebagai konsekuensi ideologi terbuka, ada juga orang-orang yang berniat mengganti falsafah negara yang semula Pancasila menjadi berbasis salah satu agama. Karenanya, kehadiran generasi bangsa diperlukan guna memastikan nilai-nilai Pancasila dapat terealisasi dengan baik di seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Generasi Indonesia dapat diklasifikasikan berdasarkan periode kelahiran, antara lain Generasi X (1965-1980), generasi Y (1981-1994), dan generasi Z (1995-2010). Generasi Y dan Z yang kini masuk dalam kategori pemuda juga sering disebut generasi mileneal. Karakteristik kuat generasi milenial adalah kefasihannya dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sehingga berlimpahan akan informasi-informasi.

Berdasarkan survei Alvara Research pada 2016, disebutkan bahwa penduduk usia 15-34 tahun mencapai 34,45 persen dari total populasi penduduk Indonesia. Bahkan, jumlah ini akan terus bertambah dalam tahun-tahun setelahnya, yang membuat Indonesia akan memiliki penduduk usia produktif melimpah (bonus demografi). Melihat jumlah tersebut, kita semakin sadar betapa peran generasi milenial sangat menentukan masa depan bangsa. Wajah bangsa di masa depan, akan dipengaruhi pemikiran dan perjuangan generasi muda (baca: milenial) sekarang. Dengan demikian, tidak berlebihan apabila kita perlu menempatkan generasi milenial sebagai pengawal Pancasila.

Caroline Tyan (2017), dalam tulisannya Nationalism in the age of social media, menjelaskan bahwa media digital merupakan penguat dari nasionalisme. Generasi milenial sebagai generasi yang akrab dengan media digital tentu bisa mengambil peran sebagai agen-agen penguat nasionalisme dengan menjadi pengawal Pancasila. Media massa, baik cetak dan online, keduanya berperan dalam persebaran gagasan negara-bangsa dalam berbagai komunitas masyarakat dunia. Media cetak menjadi sarana penyebaran ide dari beberapa pihak ke banyak pihak, sementara media online/internet menghubungkan secara bersamaan dari banyak pihak ke banyak pihak. Kedua jenis media ini menjadi alat konektivitas yang dikendalikan secara emosional, dimana komunitas politik -negara, wilayah, sekte, suku- dibayangkan kembali. Namun demikian, media sosial memiliki dua kekuatan yang bersifat kontradiktif (Rachmanto, 2018). Pertama, memperbesar individu untuk mengekspresikan opini dan menumbuhkan diskusi. Kedua, memantapkan masyarakat berdasarkan konsep identitas yang sempit dan eksklusif.

Baca juga : Runtuhkan Ideologi ISIS dengan Ideologi Pancasila

Tampaknya, poin kedua yang kini marak menghantui jagat digital. Akibat marak sebaran informasi hoaks dan provokasi bernuansa SARA, satu kelompok saling dibenturkan dengan kelompok lainnya demi melancarkan kepentingan pihak-pihak tertentu. Tak ayal, sewaktu-waktu perpecahan bisa saja terjadi akibat fenomena pecah-belah yang dilakukan di jagat maya. Kebhinnekaan kini sedang berada di ujung tanduk akibat postingan-postingan tidak bertanggungjawab tersebut.  Hal ini tentu saja bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang menghendaki persatuan seluruh elemen bangsa Indonesia.

Kebhinekaan yang terawat merupakan penguat perdamaian. Sedangkan perdamaian akan terwujud jika tercipta toleransi. UNESCO memaparkan dalam publikasinya berjudul Tolerance: The Threshold of  Peace bahwa salah satu indikator suksesnya toleransi adalah terjalinnya hubungan sosial. Hasil dari toleransi adalah kenyamanan individu dan keharmonisan sosial (Albinsaid, 2016).

Pancasila Menyatukan

Survei yang dilakukan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bekerja sama dengan Jaringan Gusdurian Indonesia pada September–November 2016 melalui wawancara langsung dengan 1.200 responden terpilih di 6 kota besar Indonesia yaitu Bandung, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Pontianak dan Makassar. Responden adalah orang muda usia 15-30 tahun dengan perbandingan jenis kelamin berimbang 50 % laki-laki dan 50 % perempuan dan menggunakan metode Proportionate Stratified Random Sampling (sampling error 2.98% dengan tingkat kepercayaan 95%).

Hasil survei membuktikan bahwa 63,1 persen responden menyatakan setuju dan 28,1 persen sangat setuju bahwa pancasila menyatukan semua komponen bangsa untuk bersatu dan menjaga keutuhan bangsa, dan kemungkinan bangsa ini pecah jika tidak ada Pancasila. Pada aspek nasionalisme dan kebangsaan, sebanyak 60,6 persen responden setuju dan 31,3 persen sangat setuju Indonesia menjadi bangsa besar karena mampu menaungi semua aspek masyarakat baik ras, suku, maupun agama yang berbeda-beda.

Dari sini, kita cukup optimis bahwa generasi mileneal sangat memegang teguh nilai-nilai semangat kebangsaan baik ideologi Pancasila maupun nasionalisme. Namun, di tengah era disrupsi informasi yang sewaktu-waktu orang bisa tersulut emosi untuk saling berkonflik akibat hoaks dan adu domba di media sosial, kontribusi positif milenial untuk memenuhsesaki jagat maya dengan sebaran sejuk untuk men-counter narasi bohong dan propaganda adu domba SARA.

Selain itu, penyaluran waktu, tenaga, dan pikiran melalui kreatifitas sesuai kegemaran mereka juga bisa dilakukan dalam merawat nilai-nilai Pancasila. Selama berpihak pada kepentingan bangsa dan negara, bukan hanya pribadi, itu bisa digolongkan sebagai strategi kekinian mengawal Pancasila. Nugroho dalam Nasionalisme Kaum Muda (2018) menjelaskan, bagi anak muda kekinian menjadi nasionalis yang membela negara kini memiliki arti eksis berpartisipasi secara positif dalam ruang-ruang publik alternatif yang diwujudkan, baik dari hal-hal kecil yang sederhana sampai aktivitas besar.

Dari ruang-ruang tersebut, milenial harus gencar menyebarkan nilai-nilai persaudaraan, toleransi, dan persatuan. Karakteristik generasi milenial yang berpikiran terbuka, energik, dan kreatif, menjadi modal berharga untuk mengupayakan kerja-kerja kreatif dalam rangka menjadi generasi pengawal Pancasila. Wallahu a’lam.

Mohammad Sholihul Wafi

Alumni PP. Ishlahusy Syubban Kudus.

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

52 menit ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

55 menit ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

56 menit ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago