Hasil kajian Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada tahun 2016, menyebutkan bahwa tingkat penggunaan internet Indonesia mencapai 132 juta jiwa. Kondisi yang demikian itu belum termasuk pengguna internet melalui telepon pintar (smart phone) yang mencapai 100 juta orang. Lebih jauh, sebagaimana disinggung oleh Al Mahfud dalam artikel sebelumnya, bahwa berdasarkan data Kominfo, ada 30 juta anak-anak dan remaja di Indonesia merupakan pengguna internet.
Berangkat dari data di atas dapat diketahui bahwa mayoritas pengguna internet atau spesifiknya media sosial adalah para pemuda. Berdasarkan teori psikologi pemuda, ada sebuah perkembangan emosi psikologi pemuda yang ditandai dengan meninkatnya sifat sensitif, reaktif yang kuat, emosinya bersifat negatif dan temperamental (mudah tersinggung, marah, sedih, dan murung). Bersamaan dengan itu, pemuda juga selalu dihantui dengan rasa ingin tahu yang lebih dalam. Semua itu merupakan gejala yang terjadi pada masa awal usia remaja. Sementara usia akhir remaja ditandai dengan lebih matangnya pemikiran (dewasa), memiliki pendirian yang kuat, idealis, obsesif, dan lain sebagainya.
Dalam kondisi seperti diatas, sangat wajar apabila pemuda dalam bermedia sejatinya harus menjadi sosok yang mampu dijadikan sebagai figur teladan dalam bermedia. Namun sayang seribu kali sayang, kebanyakan pemuda saat ini tidak menanamkan sifat idealis dalam menggunakan media. Artinya, kalangan muda saat ini justru banyak yang terprovokasi oleh berita hoax atau palsu. Secara sengaja dan tidak sengaja, ia menjadi bagian dari penyebaran berita hoax dan fitnah sehingga memunculkan kebencian di tengah masyarakat. Kebencian tersebut tidak semakin dibumihanguskan, melainkan semakin dipupuk sehingga rawan terhadap perpecah-pecahan.
Dari fenomena diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa bermedia yang tidak cerdas akan menimbulkan berbagai persoalan dasar. Pertama, media sosial sebagai ajang pemecah-belah masyarakat. Terkotak-kotaknya masyarakat tidak lain dan tiada bukan karena liarnya berita tentang suatu hal yang dibuat pro-dan kontra. Alhasil muncullah masyarakat atau kelompok yang pro terhadap kelompok tertentu dan ada yang sebaliknya, yaitu anti kelompok tertentu. Semua ini, sekali lagi, berawal dari berita hoax dan fitnah yang dikomsumsi oleh masyarakat tanpa adanya sebuah check and recheck terlebih dahulu.
Kedua, menimbulkan rasa iri hati. Sebagaimana dilansir dari situs tabloidbintang.com, bahwa ada sebuah studi dari University of British Columbia pada tahun 2015 melaporkan postingan keberhasilan oleh seorang teman menimbulkan sifat iri dan dengki melihat keberhasilan teman. Para peneliti mensurvei lebih dari 1.100 pengguna Facebook, dan menemukan bahwa dari semua memiliki reaksi berpotensi, iri hati (http://www.tabloidbintang.com/, diakses 23/1/2017).
Ketiga, terjebak dalam kesesatan. Poin terakhir inilah yang sedang gencar di masyarakat kita saat ini. Berita hoax melalui akun Fb, WA, dan lain sebagainya memenuhi langit-langit dunia informasi berbasis online. Kebutuhan manusia akan sebuah fakta dan pengetahuan dibelokkan oleh segelintir orang untuk memuluskan dan menjatuhkan kelompok tertentu. Dalam hal ini, framing media sangat berperan aktif. Bagaimana realitas dibingkai dan disajikan kepada khalayak sesuai dengan pesanan pemodal. Dengan kata lain, framing dijadikan senjata ampuh untuk menarik dukungan publik (Deddy Mulyana, 2002).
Lebih parah lagi, sebagian kelompok melanggar pedoman atau etika pemberitaan (jurnalistik). Walhasil, informasi sesatpun disajikan dan diviralkan melalui kerja-kerja yang sistematis dan professional. Dalam aktor penyestan inilah ada blogger-blogger handal yang siap disewa untuk kepentingan pihak tertentu: menampilkan aktor tertentu, menyembunyikan aktor lainnya, mengungkap sisi negatif aktor tertentu dan menutupi keculasan aktor lainnya, dan memoles aktor tertentu dengan berita positif, meskipun itu tidak ada faktanya.
Peran Pemuda
Kesadaran masyarakat akan informasi yang bermutu dan faktual masih rendah. Terbukti, hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menunjukkan bahwa kaum intelektual dengan gelar doktor dan profesor sekalipun ikut menjadi korban berita-berita bohong (hoax). Fakta ini mencerminkan bahwa kesadaran literasi dan verivikasi berita di masyarakat kita masih rendah. Memang, kampanye untuk melwan berita palsu dan fitnah sudah digencarkan oleh pemerintah dan berbagai LSM di hampir seluruh kota-kota besar. Namun usaha itu tidak akan optimal manakala pemuda tidak diudukasi menjadi pemuda yang cerdas dan kritis dalam bermedia.
Dengan kata lain, peran pemuda sebagai mayoritas pengguna media sosial—yang menjadi media mendapatkan dan menyebarkan sebuah informasi di masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk mengimbangi sekaligus memerangi upaya sistematis penyebaran berita hoax, yang disenagaja oleh kelompok tertentu.
Setidaknya ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemudan dalam kaitannya menjadi orang yang cerdas dalam bermedia. Pertama, tanamkan literasi media. Membaca dengan teliti menjadi salah satu modal utama menjadi orang yang cerdas dalam bermedia. Sebab, dalam literasi ada nilai verivikasi konten berita. dari verifikasi tersebut akan melahirkan apakah konten berita tersebut valid atau hoax. Langkah verivikasi pertama adalah cros check berita tersebut apakah benar-benar bersumber dari media yang kredibel, kompeten, dan independen. Puncaknya, verivikasi akan menimbulkan sebuah sikap memilah mana berita palsu.
Kedua, kritis terhadap media. Haris Sumadiria (2016) mengatakan bahwa Indonesia telah menikmati reformasi serta demokratisasi pers dan penyiaran sejak 1998. Media massa Indonesia bersuka cita. Tidak ada lagi sensor dan pemberedelan (meskipun saat ini sudah ada UU ITE). Perusahaan pers tidak lagi memerlukan izin. Silahkan dirikan dan terbitkan. Maka, situs-situs online pun berkeliaran. Bersamaan dengan menjamurnya media online maupun lainnya, informasi sampah berkeliaran. Saling hujat sana dan sini. Saling menyerang kelompk satu dan lainnya menjadi fenomena yang lazim terjadi. Eranya sudah berubah menjadi perang media.
Dalam posisi seperti ini, masyarakat banyak yang bingung; mana informasi hoax dan tidak. Dan parahnya, kebingunan masyarakat ini semakin tidak terbendung ketika tidak ada pihak yang bisa menjadi tempat untuk bertanya. Inilah peran pemuda sangat dinantikan. Oleh sebab itu, pemuda harus menjadi “guru” dan tempat bersandar masyarakat untuk sebuah informasi yang jujur, menyejukkan, dan tentunya sesuai dengan fakta. Semua itu bisa dilakukan ketika pemdua menerapkan sifat kritis terhadap konten media tersebut. Berlandaskan dengan pengetahuan dasar yang cukup, tentu tidaklah sulit pemuda mengkritis konten media.
Terakhir, pemuda harus turut menjadi bagian dalam melawan media atau situs hoax. Dengan cara melaoprkan situs yang terbukti menyebarkan kebencian dan provokasi terhadap kelompok tertentu.
This post was last modified on 31 Januari 2017 10:11 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…