Narasi

Menjadi Ulama, Menjadi Teladan Beragama dan Berbangsa

Belakangan ini kita tengah diramaikan dengan berbagai persoalan terkait keberagamaan dan kebangsaan kita. Salah satunya tentu persoalan yang berhubungan dengan kepulangan (deportasi), pendiri Front Pembela Islam (FPI), Muhammad Rizieq Syihab (MRS). Kepulangannya ke tanah air setelah 3, 5 tahun tinggal di Arab Saudi sontak menimbulkan kegaduhan publik. Dimulai dari drama penjemputannya di Bandara Internasional Soekarno Hatta yang melibatkan ribuan massa. Akibatnya, bandara sempat lumpuh; sejumlah jadwal penerbangan ditunda dibatalkan, akses jalan menuju bandara lumpuh total. Belum lagi kerusakan fasilitas bandara dan yang lebih parah lagi pelanggaran aturan protokol kesehatan selama PSBB transisi.

Ironisnya, drama tidak berhenti sampai di situ. Setibanya di rumahnya di kawasan Petamburan Jakarta Selatan, MRS menggelar sejumlah acara yang melibatkan kerumunan, mulai dari menggelar pesta pernikahan hingga maulid Nabi Muhammad. Di momen peringatan Maulid Nabi itulah, MRS berpidato dengan menyebut kata-kata yang tidak lazim atau pantas diucapkan oleh seorang yang mengklaim diri sebagai pemuka agama Islam dan memiliki ribuan jemaah. Selanjutnya, dalam ceramahnya yang ditayangkan akun YouTube Front TV, MRS bahkan menyebut penghina nabi pantas dipenggal lehernya sebagai balasan tegas.

Berderet kegaduhan demi kegaduhan yang disulut oleh MRS itu mau tidak mau lantas membuat kita bertanya, sebenarnya apa arti ulama yang sesungguhnya? Dan siapa yang berhak menyandang gelar tersebut?

Di dalam leksikon Bahasa Arab, makna ulama ialah orang-orang yang memiliki ilmu. Dalam tafsiran yang bebas, maka siapa pun yang memiliki ilmu atau keahlian tertentu bisa disebut sebagai ulama. Ahli biologi bisa disebut ulama. Pun juga ahli kedokteran, pertanian, astronomi dan sebagainya. Namun, jika kita melihat dari sisi terminologis, kata ulama yang selama ini kita pahami lebih merujuk pada sosok tokoh agama Islam yang memiliki ilmu agama yang luas dan mendalam, serta memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi. Ulama dalam Alquran bahkan disebut sebagai warasatul anbiya’, alias para pewaris Nabi. Artinya, ulama ialah sosok yang meneruskan jalan kenabian, baik dalam hal dakwah Islam maupun dalam hal karakter kenabian yang identik dengan sikap santun, dan penuh welas asih.

Barangkali, bisa dikatakan bahwa ulama ialah status keberagamaan tertinggi di bawah Nabi. Dengan demikian, gelar ulama merupakan hal yang sakral dalam Islam, sehingga tidak sembarang orang bisa mengembannya. Hal ini pula yang melatari seorang Buya Hamka menolak jika orang lain menyebutnya ulama. Ia merasa, status ulama dengan segala konsekuensi moralitas agama dan sosial serta tanggung jawab keilmuannya terlalu berat ia sandang. Begitu pula pakar tafsir Alquran, Quraisy Shihab yang lebih nyaman dipanggil ustaz ketimbang ulama. Menurutnya, ulama ialah gelar yang membutuhkan pertanggung jawaban tidak ringan, baik secara keilmuan maupun moralitas.

Fatalnya, di lain pihak justru ada segelintir orang yang gemar mendaku diri sebagai ulama, bahkan ada pula menggelari diri sebagai imam besar umat Islam. Padahal jika dilihat secara seksama, baik dari segi keilmuan, wawasan sosial apalagi perilaku, mereka masih jauh dari kriteria untuk disebut sebagai ulama, apalagi imam besar umat Islam. Problem desakralisasi ulama inilah yang acapkali melahirkan residu persoalan baru dalam hal keberagamaan dan kebangsaan.

Satu hal yang perlu kita sadari bersama ialah bahwa gelar ulama tidak bisa diobral dan diberikan pada sembarangan orang. Tersebab, hal itu hanya akan membuat gelar ulama menjadi tidak sakral bahkan mengalami degradasai makna. Kita memang tidak punya lembaga yang secara khusus memiliki otoritas untuk menentukan sesiapa yang berhak menyandang gelar ulama. Namun, itu tidak lantas berarti bahwa semua orang bebas menggelari dirinya sebagai ulama atau masyarakat berhak mengangkat tokoh yang diidolakannya sebagai ulama. Meski tidak ada lembaga otoritatif yang menentukan status keulamaan seseorang, namun kita tentu paham bahwa ada sejumlah kriteria khusus untuk bisa menyandang gelar ulama.

Syarat paling pokok tentunya ialah menguasai ilmu agama Islam secara mendalam dan luas, meliputi ilmu bahasa (lughat), hukum (fiqh), spiritualitas (tasawuf), logika (mantiq-falsafah), teologi (kalam) dan displin keilmuan Islam lainnya. Bersanding dengan tingkat keilmuan itu, prasyarat lain ialah perilakunya yang merupakan cerminan dari akhlakul karimah, alias budi pekerti yang baik serta sinkron antara ucapan dan perbuatan. Dalam konteks sosial yang lebih luas, kriteria keulamaan juga ditentukan oleh sejauh mana komitmennya terhadap realitas keberagamaan yang plural di tengah masyarakat. Ulama sejati ialah sosok yang mampu mengibarkan panji Islam di tengah pluralitas agama tanpa pernah menimbulkan gesekan sosial apalagi konflik horisontal.

Kriteria terakhir, namun tidak kalah pentingnya ialah seorang ulama harus memiliki komitmen dan kesetiaan kuat pada bangsa dan negara serta pemerintahan sah yang menjadi pemimpinnya (ulil amri). Hubungan ulama dengan pemimpin seharusnya bersikap resiprokal alias kesalingan; saling membutuhkan dan saling melengkapi. Dalam akidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, ulama sepatutnya tunduk dan setia pada pemerintahan yang sah dan tidak mendalangi atau terlibat dalam pemberontakan (bughat) melawan pemerintah yang sah. Sebaliknya, ulama harus senantiasa menjadi pilar pemersatu umat melalui dakwahnya yang santun dan edukatif.

Ketika kita telah mengetahui definisi dan kriteria seorang ulama, maka keputusan untuk mendaulat seseorang menjadi ulama sepenuhnya ada di tangan kita. Akankah kita masih menganggap sosok-sosok yang gemar berorasi dengan bahasa vulgar dan narasi provokatif sebagai ulama? Akankah kita masih menjadikan sosok-sosok miskin ilmu dan tuna akhlak sebagai ulama? Kiranya tidak! Indonesia ialah negara muslim terbesar di dunia. Kita memiliki khasanah keislaman yang tidak kalah kaya dengan negara-negara muslim di Timur Tengah dan Afrika. Kita telah melahirkan banyak kiai, ustaz dan intelektual muslim kaliber dunia yang karya dan pemikirannya banyak dikaji di negara asing. Merekalah yang pantas disebut ulama dan dijadikan teladan bagi kehidupan beragama dan berbangsa.

This post was last modified on 26 November 2020 7:21 PM

Nurrochman

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago