Tragedi air bah yang mengguyur sebagian wilayah Sumatera—mulai dari Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat—tidak hanya meninggalkan lumpur dan duka, tetapi juga menyingkap residu persoalan di ruang digital kita.
Di saat warga berjibaku menyelamatkan harta benda dari terjangan banjir dan longsor, lini masa media sosial justru disesaki oleh narasi yang menggelisahkan. Sejumlah kelompok secara oportunis membajak panggung bencana ini untuk menjajakan ideologi politik transnasional. Mereka memframing musibah ini bukan sebagai fenomena hidrometeorologis, melainkan sebagai “teguran langit” akibat kegagalan sistem demokrasi dan absennya sistem khilafah.
Narasi ini berbahaya bukan hanya karena ia nirempati, tetapi karena ia menyederhanakan kompleksitas krisis ekologis menjadi sekadar persoalan “ganti sistem pemerintahan”.
Alih-alih mengajak publik berefleksi soal daya dukung lingkungan atau tata ruang, bencana justru dijadikan komoditas politik untuk mendegradasi legitimasi negara. Di titik inilah, kita perlu menarik garis demarkasi yang tegas antara kesalehan ritual dengan kesalehan ekologis.
Di sinilah relevansi pemikiran Nurcholish Madjid (Cak Nur) tentang “sekularisasi” dalam artian menduniawikan nilai-nilai yang semestinya duniawi. Cak Nur mengajarkan kita untuk memandang alam secara objektif-ilmiah (sunnatullah), namun mengelolanya dengan etika spiritual (khalifah).
Moderasi beragama (wasathiyah) hadir sebagai antitesis dari dua kutub ekstrem, kutub eksploitatif yang menuhankan materi, dan kutub fatalis yang menyalahkan sistem politik atas setiap daun yang jatuh.
Moderasi beragama tidak hanya bicara soal toleransi antar-iman, tetapi juga hifdz al-bi’ah (menjaga lingkungan). Konsep Khalifah fil Ardh dalam teologi moderat bukanlah mandat kekuasaan politik untuk mendirikan negara agama, melainkan mandat fungsional untuk menjadi perawat bumi yang bertanggung jawab. Kesalehan seseorang tidak lagi diukur hanya dari panjangnya sujud, tetapi dari seberapa kecil jejak karbon dan kerusakan yang ia tinggalkan.
Pola pikir kelompok radikal teroris yang membenturkan bencana dengan sistem negara sering kali meluas hingga ke isu kebijakan publik lain, seperti BPJS yang dituduh sebagai praktik ribawi atau kapitalisme negara.
Padahal, dalam nalar moderasi yang mengedepankan tujuan syariat, instrumen seperti mitigasi bencana modern dan jaminan sosial adalah bentuk ta’awun (gotong royong). Menolak mekanisme ini atas nama kembali ke hukum Tuhan tanpa tawaran teknis yang jelas adalah bentuk kemalasan intelektual yang justru membahayakan kemaslahatan umat.
Tentu saja, para pengusung ideologi transnasional akan menyanggah dengan dalil bahwa keberkahan langit dan bumi hanya akan turun jika hukum Tuhan ditegakkan secara formal-legalistik.
Namun, argumen ini runtuh ketika dihadapkan pada fakta empiris. Kerusakan lingkungan dan bencana alam terjadi di berbagai belahan dunia tanpa memandang sistem politiknya—baik di negara sekuler, monarki, maupun negara yang mengklaim menerapkan “syariat”.
Bencana di Sumatera terjadi karena deforestasi, alih fungsi lahan, dan curah hujan ekstrem, bukan karena kita tidak menggunakan bendera tertentu. Mengkambinghitamkan sistem demokrasi atas bencana alam adalah sesat pikir yang mengaburkan akar masalah sebenarnya, yaitu kerakusan manusia dan lemahnya penegakan hukum lingkungan.
Ke depan, tantangan terbesar keberagamaan kita bukan lagi soal perdebatan teologis klasik, melainkan krisis iklim. Moderasi beragama harus bertransformasi menjadi gerakan teologi hijau yang progresif.
Kita membutuhkan umat yang ketika melihat banjir, tidak sibuk mencaci pemerintah atau meneriakkan ganti sistem, melainkan sigap melakukan mitigasi dan introspeksi ekologis. Karena pada akhirnya, Tuhan mewariskan bumi ini bukan untuk dipolitisasi atas nama-Nya, melainkan untuk dirawat sebagai sajadah panjang tempat kita bersujud dan berkarya.
Hari ini, 2 Desember, masyarakat Indonesia menyaksikan kembali perbincangan yang kian mengemuka mengenai ‘Islam politik’…
Alquran tidak hanya membahas relasi antara manusia dsn Sang Khaliq. Lebih dari itu, Alquran juga…
Di tengah momen duka bangsa akibat bencana alam di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat,…
Menjadi khalifah di muka bumi adalah mandat moral dan spiritual yang diberikan Allah kepada manusia.…
Di tengah krisis lingkungan global dan meningkatnya gelombang ekstremisme, masyarakat dunia menghadapi dua ancaman berbeda…
Basa ngelmu Mupakate lan panemu Pasahe lan tapa Yen satriya tanah Jawi Kuno-kuno kang ginilut…