Indonesia memang sudah merdeka dan sudah terbebas dari buta huruf. Akan tetapi, harus dicatat, separuh lebih masyarakat Indonesia masih terjebak pada buta huruf fungsional. Data Bank Dunia (2018) menyatakan, sebanyak 55% masyarakat Indonesia masih buta huruf fungsional. Buta huruf fungsional bukan berarti tidak bisa membaca, melainkan ketidakmampuan dalam memahami informasi yang dicerna.
Ketidakmampuan itu termasuk tidak kritis, tidak mengecek, dan tidak memverifikasi terhadap infomasi yang diterima; atau bisa juga ketidakmauan menangkap dan mengamalkan pesan suatu teks bacaan. Ini tentu mengejutkan, terbebas dari buta huruf, ternyata belum tentu bisa terbebas dari buta huruf fungsional.
Minimnya kemampuan masyarakat untuk bisa menganalisis, memverifikasi, mengkritisi konten, membuat sosial media kita sangat rawan terjebak pada penyebaran hoax, ujaran kebencian, provokasi, serta fake news.
Kadang hanya bermodalkan screenshot, video pendek, meme, dan potongan kutipan pertanyaan, pengguna internet sudah ribut, saling debat, dan saling mengklaim kebenarannya.
Di tengah arus informasi yang begitu massif, ditambah adanya konektivitas yang tinggi antar sesama masyarakat (hyperconectivity) dengan adanya internet, sikap kritis terhadap segala macam berita dan informasi yang didapat sangatlah penting.
Ketidakmauan memfungsikan nalar, ketidakmampuan mengaktifkan imajinasi ketika mendapati satu infomasi/berita, apakah itu benar, baik, atau bermanfaat, –merupakan penyakit masyarakat kita.
Terkadang, sudah tahu bahwa itu ada hoax, provokasi, ujaran kebencian, atau fake news, tetapi karena itu menguntungkan kelompoknya serta merugikan kelompok lain, berita itu tetap di-share juga. Ketidakmauan untuk menyetop berita/informasi cukup hanya untuk dirinya, termasuk bagian dari buta huruf fungsional.
Krisis dalam Jurnalisme
Kondisi ini semakin semrawut, ketika pers, wartawan, dan segala turunannya sebagai institusi yang bisa memberikan pencerahan, malah terjebak pada pragmatisme semata. Jurnalisme kita masih mementingkan like, share dan komentar demi rating ketimbang sebagai alat edukasi dan pengasahan daya kritis.
Krisis jurnalisme dalam arti di atas terjadi karena tiga faktor, yakni desentralisasi, pluralitas, dan penetrasi media sosial.
Desentralisasi media mengakibatkan produksi informasi/berita tidak lagi terpusat, terkontrol, atau bisa disatu-arahkan. Setiap daerah atau kelompok bisa dengan bebas bisa memproduksi berita dengan modal yang sederhana.
Satu sisi ini tentu bagus, bahwa tidak ada monopoli infomasi atau otoritas tertentu sebagai penentu kebenaran. Akan tetapi, di sisi lain, ia menyisakan PR, yakni ketidakmampuan kita me-manage arus pers tetap dalam koridor jurnalistik.
Kesemrawutan ini juga ditambah dengan adanya pluralitas media. Tumbangnya Orde Baru menandakan lonceng kebebasan pers terbuka. Setiap orang, kelompok, organisasi, dan partai memiliki persnya sendiri; memiliki versi beritanya masing-masing; serta tafsiran dan kepentingan sesuai dengan ideologinya masing-masing.
Pluralitas ini semakin semrawut ketika media sosial masuk. Media sosial menjadi pasar yang setiap orang bisa memproduksi informasi sesuai seleranya. Perpindahan masyarakat dari media tradisional yang dianggap lamban dan kurang up date menuju media sosial yang dinilai lebih cepat, adalah satu faktor penentu wajah jurnalisme.
Pemberdayaan
Untuk itulah, literasi digital tidak bisa lagi ditunda-tunda. Literasi digital maksudnya proses pengasahan dan penumbuhan daya kritis masyarakat akan infomasi dan berita yang ia terima. Literasi digital mendorong pengguna internet agar bisa menggunakan internet –sebagai sumber berita/informasi –dengan aman, nyaman, dan bertanggungjawab.
Pengguna internet harus sadar bahwa ia berada di dunia maya, dunia yang semua orang bisa menciptakan realitas baru, dan memasarkan kebenaran semu. Setiap individu harus bisa memilih dan memilah mana berita/informasi yang benar, baik, sekaligus bermanfaat.
Strategi yang dilakukan adalah strategi pemberdayaan, yakni meningkat kesadaran masyarakat secara aktif dan kritis dalam menggunakan internet dan segala turunannya. Masyarakat dibekali agar bisa mandiri dalam memilih dari sekian banyak opsi pemberitaan.
Pendekatan pemberdayaan dinilai lebih manusiawi –meskipun tetap tidak mengenyampingkan dua pendekatan lainnya seperti pendekatan proteksi dalam bentuk regulasi perundang-undangan, atau pendekatan instrumentalis.
Pemberdayaan bisa dilakukan secara kultural atau institusional. Budaya lokal yang tetap masih berpegang kepada kolektivitas dan gotong royong dinilai bisa meminimalisir banyaknya hoax dan ujaran kebencian.
Dengan menghidupkan budaya atau falsafah hidup bahwa semua manusia adalah kawan, pengguna internet diharapkan bisa lebih berhati-hati dan tidak sembarang menyerang, merendahkan, dan menyebar konten negatif. Sebab, pengguna internet lainnya adalah kawan juga.
Pemberdayaan lewat institusi merupakan hal yang sangat urgen dilakukan, mulai dari rumah tangga, sekolah, sampai kepada rumah ibadah. Orang tua harus pro-aktif dalam mendidik anak tentang sosial media. Orang tua tak boleh membiarkan anaknya begitu bebas terperangkap dalam jebakan kecanduan digital.
Sekolah juga harus melakukan hal yang sama. Pendidikan literasi yang lebih menekankan sikap kritis ketimbang hafalan adalah solusi dalam menghadapi era 4.0, era ketika semua hal dilingkupi dengan internet (Internet of Things/IoT).
Pendidikan yang bersifat dogmatik-doktriner harus dibuang. Anak harus disiapkan bisa secara mandiri untuk bisa memilih dan memilah mana yang baik, dan mana yang buruk.
Rumah ibadah pun demikian, harus difungsikan tidak melulu soal hubungan vertikal kepada Tuhan, melainkan bisa memperhatikan aspek sosial-kemasyarakatan yang dihadapi oleh umat. Materi agama harus lebih substantif, manusiawi, dan kritis. Sehingga bisa saling memahami antar sesama, dan tidak terjebak pada polarisasi berbasis kebencian sektarian.
Pemberdayaan bersifat kultural dan institusional –sembari dibarengi dengan pendekatan proteksi lewat peraturan dan instrumen tertentu –buta huruf fungsional serta krisis dalam jurnalisme bisa ditanggulangi.
This post was last modified on 18 Agustus 2021 11:09 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…