Narasi

Menumbuhkan Jiwa Kepahlawanan Pada Generasi Milenial

Telinga kita sudah tidak terlalu asing lagi dengan istilah generasi milenial. Sebagai pengetahuan, generasi milenial, yang juga biasa disebut dengan generasi Y, adalah sekelompok manusia yang lahir di atas tahun 1980-an hingga 2000. Mereka disebut milenial karena satu-satunya generasi yang melewati masa milenium kedua sejak teori generasi ini diembuskan pertama kali oleh  Karl Mannheim pada 1923.

Generasi milenial ini adalah para pemuda – pemudi yang saat ini berusia antara 15-35 tahun. Usia-usia seperti ini dalam psikologi perkembangan masuk dalam masa dewasa dini yaitu masa yang dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun. Karakteristik masa dewasa dini adalah pencarian identitas dan masa transisi, baik transisi secara fisik, transisi secara intelektual serta transisi peran sosial.

Menurut Hurlock (1993) salah satu inti dari masa dewasa dini adalah masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru dan memanfaatkan kebebasan yang diperolehnya. Mereka memiliki kebebasan untuk berpendapat dan bertindak sesuai dengan etika yang ada.

Tanggal 28 Oktober sudah berlalu yang biasa kita peringati sebagai hari sumpah pemuda. Momentum untuk menumbuhkan semangat jiwa-jiwa pemuda – pemudi bangsa Indonesia. Setelah bulan Oktober masuklah ke bulan November. Di sana pada awal-awal bulan ada peringatan hari pahlawan yaitu pada tanggal 10 November.

Sejarah mengatakan pada tanggal 10 November yang biasa diperingati hari pahlawan terjadi suatu peperangan di Surabaya. Peperangan tersebut juga melibatkan para pemuda untuk bertumpah darah dalam menghadapi kolonial Belanda.

Baca juga : Jejak Langkah Pahlawan Kesunyian dari Masa ke Masa

Peristiwa bersejarah itu berawal dari berkibarnya bendera Belanda di atas Hotel Yamato, Surabaya. Kejadian itu membuat arek-arek Surabaya murka karena Indonesia sudah merdeka kok masih ada bendera Belanda yang berkibar. Maka terjadilah peperangan pertumpahan darah untuk merobek warna biru di bendera Belanda.

Zaman semakin maju kita tidak lagi dihadapkan dengan para penjajah dari luar negeri. Kita menghadapi penjajah dari dalam negeri sendiri. Jajahannya berupa saling menghujat, saling membenci, saling mencela, saling menyalahkan, saling merasa paling benar, saling mengafirkan, banyaknya informasi tidak benar disebarkan dan masih banyak lagi.

Di sini peran generasi milenial sangat dibutuhkan. Sebagai generasi muda ia berperan mempertahankan kemerdekaan Indonesia menjadikan mereka pahlawan bangsa. Para generasi milenial harus memiliki jiwa kepahlawanan untuk bisa menjaga negara Indonesia. Jiwa pahlawan berupa toleransi yang tinggi, jujur dalam berkata, bertindak, bahkan bersosial media, memiliki pemikiran kritis yang tidak mudah tergiyurkan dengan hal-hal baru yang sifatnya materialis, tidak mudah termakan berita kebohongan dan tidak menyebarkannya, saling menyayangi sesama saudara sebangsa dan setanah air, mencintai negara Indonesia dan lain-lainnya yang merupakan sifat dan sikap nasionalisme yang tinggi.

Semua berawal dari jiwa yang akan di praktekkan dalam lapangan. Jiwa harus di perbaiki dulu sebelum terjun di lapangan. Banyak orang yang suka menghujat, menyalahkan, dan mengafirkan karena tidak memiliki jiwa kepahlawanan. Jika definisi pahlawan itu adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbannya dalam membela kebenaran atau pejuang yang gagah berani. Maka sebagai generasi milenial yang dihadapkan pada kemajuan zaman, mereka harus berani menujukan kebenaran dan tidak mudah dibohongi dengan berita-berita yang sengaja dibuat bohong.

Tempat di mana menumbuhkan jiwa kepahlawanan bagi generasi milenial adalah sekolahan, kampus dan pesantren. tempat-tempat itu memiliki peran yang sangat penting dalam menumbuhkan jiwa kepahlawanan bagi generasi milenial.

Sudah semestinya peran pemuda sebagai generasi milenial ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jika dulu para pemuda perang bertumpah darah di Surabaya. Kini para pemuda harus berjuang membuat Indonesia kembali menjadi negara yang harmonis, beragam suku, ras, budaya dan agama tetapi tetap satu, saling menghargai, bertoleransi dan lain-lain. Negara-negara lain sudah maju sedangkan Indonesia masih berjibaku dalam konflik dalam negeri karena hanya berbeda pendapat, pandangan, agama, ras, suku dan budaya.

This post was last modified on 8 November 2018 2:31 PM

Ni’amul Qohar

View Comments

Recent Posts

Harga Sebuah Amarah; Melihat Efek Demonstrasi Destruktif dari Sisi Ekonomi dan Psikologi

Dalam sepekan terakhir kita disuguhi pemandangan brutal ketika gerombolan massa meluapkan amarah kolektifnya. Ada yang…

18 jam ago

Agar Aspirasi Tak Tenggelam dalam Kebisingan Anarkisme

Gelombang demonstrasi terjadi di berbagai kota di Indonesia. Pada dasarnya, demonstrasi adalah hak konstitusional warga…

18 jam ago

Kampanye Khilafah; Gejala FOMO Kaum Radikal Menunggangi Fenomena Demonstrasi

Akun TikTok @ekalastri333 dengan pengikut 12, 9 ribu dan menulis di bio profilnya sebagai “pengemban…

18 jam ago

Menyelamatkan Demokrasi dari Tipu Daya Demagog dan Ashabul Fitnah

Demokrasi adalah ruang hidup bangsa. Ia bukan sekadar sistem politik, melainkan jalan bersama untuk menyalurkan…

2 hari ago

Tidak Ada Demokrasi yang Seharga Nyawa

Di pengujung Agustus 2025, demokrasi kita kembali menorehkan luka. Dua nama, Rheza Sendy Pratama di…

2 hari ago

Kembali Bersatu, Jaga Indonesia: Belajar dari Pedihnya Provokasi

Di tengah puing-puing dan reruntuhan bangunan pasca demo, ada gelombang besar semangat yang mempersatukan seluruh…

2 hari ago