Narasi

Menyebarkan Virus Cinta di Sosial Media

Kehadiran sosial-media di tangan kita memberikan dampak yang luar biasa; semisal, ketika ingin mengirim kabar kepada saudara yang terikat oleh jarak, maka harus menggunakan jasa antar surat yang memerlukan waktu yang panjang. Hadirnya sosial media, setidaknya komunikasi antar saudara tidak lagi terikat oleh ruang dan waktu, kapan saja kita dapat memberikan kabar kepada saudara nan jauh sana.

Kepositifan sosial media yang ada di tangan, juga dibarengi dengan hal negatif; bagi orang-orang yang tidak memiliki etika serta kemanusiaan, maka akan membuat berita atau kabar-kabar yang merugikan. Kabar bohong atau hoax merupakan bau aroma busuk yang harus disingkirkan dari manfaat kehadiran sosial. Hoax menjadi barang bisa mengancam “kesehatan” sosial masyarakat.

Hoax juga merupakan propaganda negative, dimana sebuah upaya yang disengaja dan sistematis untuk membentuk persepsi, memanipulasi alam pikiran atau kognisi, dan mempengaruhi langsung perilaku agar memberikan respon sesuai yang dikehendaki oleh pelaku propaganda. Selain itu, hoax diciptakan untuk membuat kegaduhan dan melupakan informasi-informasi yang lebih penting lainnya.

Kehadiran sosial media pada awal merupakan ide yang bagus, sebab mendekatkan orang-orang yang kita kenal lebih dekat. Tetapi sekarang, sosial media menjadi ancaman yang serius di tangan orang-orang “jahat”, bahkan kita menjauhi teman-teman kita lantaran hoax. Untuk menghindari perpecahan persaudaraan yang ada, setidaknya perlu sebuah “gerakan bersama” untuk mengatasi hoax.

Baca juga : Jangan Ada Kebencian di Antara Kita! Mari Sebar Cinta dan Damai

Pertama, gerakan itu harus dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kewenangan dan diberi amanah; yakni pemerintah –Polisi, Kominfo atau instansi-instansi terkait. Mereka bisa menindak secara tegas siapa yang memproduksi atau menyebarkan hoax. Tidak memandang siapa mereka atau jabatan apa. Dengan tindakan yang tegas kepada penyebar dan produsen hoax, maka orang yang bermain di hoax akan berpikir ulang.

Kedua, orang-orang pintar. orang-orang ini harus mulai turun gunung untuk menjadi produsen literasi digital. Dengan memenuhi informasi di dunia maya, maka pengguna tatkala ingin bertanya kepada orang-orang yang tepat. Bila orang-orang pintar tidak memenuhi sosial media, maka yang terjadi mereka yang mencari informasi salah sasaran. Semisal, orang-orang yang ingin mencari informasi mengenai ilmu agama di dunia maya, beberapa banyak akun yang dikelola orang-orang yang memiliki ilmu yang mumpuni? Ironisnya, pengelola lebih banyak orang-orang yang tidak memiliki kedalaman ilmu agama.

Ketiga, masyarakat. Peran masyarakat sangat penting, di mana masyarakat harus peran aktif dalam saring dan sering dalam mendapatkan informasi. Saring setiap informasi yang ada di sosial media kita, kemudian sering untuk mendapatkan perspektif lain dalam mendapatkan informasi tersebut. Kemudian, masyarakat juga ikut menghentikan hoax dengan melaporkan ke pihak berwenang dan tidak menge-share ulang.

Yang perlu diingat adalah masyarakat tidak hanya penguasaan teknologi komputer dan ketrampilan penggunaan internet belaka yang berkonotasi menjadikan manusia sebagai sosok robot belaka, melainkan lebih luas daripada itu yakni memadupadankan sisi kemanusiaan  dan digital. Di mana masyarakat tidak meninggalkan akal dan rasa dalam membaca suatu berita. Nah, dalam mengeshare suatu informasi kita harus menggunakan akal kita agar tidak mudah termakan hoax, kemudian menggunakan “rasa” agar informasi yang disebarkan tidak menimbulkan keresahan di kehidupan nyata.

Dengan demikian kemajuan teknologi secanggih apapun, tetap harus bermanfaat dan mengandung kemaslahatan bagi kehidupan masyarakat secara komprehensif, khususnya dalam interaksi sosial. Artinya diperlukan pendekatan multi dimensi dalam proses pembelajaran masyarakat agar terdidik secara digital, melek teknologi sekaligus cerdas, kreatif dan berbudaya.

Kemampuan mencari sumber informasi yang bisa dipertanggungjawabkan, menjadi krusial di tengah percepatan teknologi digital saat ini. Kata kuncinya adalah kembali kepada pendidikan berkualitas, kurikulum yang tepat di sekolah sekolah serta edukasi menyeluruh yang harus dilakukan oleh segenap komponen bangsa untuk Indonesia yang lebih baik.

 

This post was last modified on 14 Januari 2019 1:31 PM

Novita Ayu Dewanti

Fasilitator Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia

View Comments

Recent Posts

Agama Sumbu Pendek; Habitus Keagamaan yang Harus Diperangi!

Indonesia dikenal sebagai negara religius. Mayoritas penduduknya mengaku beragama dan menjalankan ajaran agama dalam kehidupan…

2 hari ago

Evaluasi Kebebasan Beragama di Indonesia 2025

Kebijakan presiden Joko Widodo dalam memerangi aksi ekstremisme dan ideologi radikal terorisme pada 2020 pernah…

2 hari ago

Jangan Membenturkan Kesadaran Nasional dengan Kesadaran Beragama

Dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, narasi yang mencoba membenturkan antara kesadaran nasional dan kesadaran…

2 hari ago

Dialektika dan Titik Temu Nasionalisme dan Ukhuwah

Indonesia, sebuah panggung peradaban yang tak henti menyuguhkan lakon dialektis antara partikularitas dan universalitas, adalah…

2 hari ago

Nasionalisme, Ukhuwah Islamiah, dan Cacat Pikir Kelompok Radikal-Teror

Tanggal 20 Mei berlalu begitu saja dan siapa yang ingat ihwal Hari Kebangkitan Nasional? Saya…

3 hari ago

Ironi Masyarakat Paling Religius: Menimbang Ulang Makna Religiusitas di Indonesia

Indonesia kembali dinobatkan sebagai negara paling religius di dunia menurut dua lembaga besar seperti CEOWORLD…

3 hari ago