Narasi

Menyemai Cinta di Alam Maya

Hari-hari ini kita mengalami penyempitan ruang untuk menyemai cinta, terutama di alam maya. Narasi-narasi provokasi dan caci maki kerap menghiasi laman sosial media kita. Kadang kita menjadi khawatir dan bertanya, apakah masyarakat kita setiap hari akan mengkonsumsi narasi-narasi ini, atau masyarakat kita sudah terbiasa dengan hal-hal yang demikian sehingga narasi kebencian itu dianggap layak konsumsi. Karena sampai pada saat ini, yang terlibat kasus hukum gara-gara ikut menyebarkan sesuatu yang tidak benar adanya, kebanyakan dari masyarakat kita yang terpelajara dari berbagai profesi. Lebih menjengkelkan lagi,  kadang informasi tersebut sudah benar-benar salah namun masih tetap saja iktu membela. Dari sini patut kita menduga, menyempitnya narasi tentang cinta, kasih dan damai sesama anak bangsa dikarenakan kepungan narasi negatif yang kian tak terbendung.

Diperparah lagi dengan susana politik kita yang kian hari makin hangat, memaksa oknum-oknum yang bekepentingan untuk mecari peluang, mulai dari mengandalkan sentimen agama dan suku yang turut memperlebar ruang-ruang kebencian yang pada akhirnya mendindingi rasa persatuan dan kesatuan kita sebagai anak bangsa. Jalinan cinta dan rasa kasih sayang yang sudah menjadi budaya bangsa kita sejak dulu, hanya tinggal dalam falsafah saja, kering dari pengalaman, bahkan mulai terkikis dari alam sadar kita sebagai warga negara.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi, jika narasi kebencian ini sudah menyentuh generasi muda kita. Semua yang mereka baca akan menjadi rekaman dalam benak mereka. Dapat dibayangkan generasi kita selanjutnya, bisa-bisa mereka akan tuli dengan bunyi damai, bisu dengan suara persatuan dan buta melihat kasih sayang. Oleh karenanya, sebagai warga negara yang sadar perlu untuk menebar cinta di alam maya.

Ganti Kebencian dengan Narasi Cinta

Sebelum menjelaskan langkah strategis dalam mengkapanyekan cinta di alam maya, ada tungku utama yang harus dipenuhi agar rangkaian langkah teranyam dengan baik, yaitu, merasa terpanggil. Panggilan ini dapat digolongkan kepada panggilan moral untuk menegakkan kebenaran setidaknya merasa bersalah jika tidak berupaya meluruskan, paling minim tidak ikut menyebarkan. Dengan begitu, dapat dipastikan laman sosial media kita sedikit demi sedikit akan mulai longgar dan tidak lagi dipenuhi dengan percakapan-percakapan yang menyulut emosi dan kebencian.

Baca juga : Menguatkan “Metabolisme” Sosmed dengan Narasi Damai

Selanjutnya, membuang postingan yang unfaedah dan menggantinya dengan yang berfaedah. Dosis postingan tentang politik yang sudah mulai membanjiri tentu tidak selalu berbicara positif dan mendidik (justru lebih banyak mudhratnya), oleh karenanya perlu untuk memposting jendre lain, seperti budaya dan seni. Postingan tentang budaya dan seni, apalagi budaya dan seni localitas masing-masing, akan memperkuat dan menggugah ingatan kita kembali akan bangsa kita yang maha kaya dengan macam ragam budaya dan seninya. Dari situ akan muncul kembali nilai-nilai murni bangsa kita, yang jauh dari pertikaian dan selalu mengedepankan cinta dan kasih sayang.

Panasnya dunia maya dengan seluruh hiruk pikuknya juga bisa dikendalikan dengan postingan-postingan humor yang membangun rasa persaudaraan. Surplusnya emosi di dunia maya bisa jadi diakibatkan mulai hilangnya budaya humor dari bangsa ini. Padahal para pendahulu-pendahulu kita di masa lalu tidak selalu menanggapi segala sesutu dengan urat leher, justru kadang banyak juga yang selesai dengan humor-humor segar yang sarat dengan nilai persatuan.

Akhirnya, kepungan dan kepingan narasi negatif yang kian membludak di dunia maya adalah masalah kita bersama. Pada prinsipnya, kita semua bisa mengentikannya dengan cara masing-masing, akan tetapi perlu kita sadari tidak semuanya ujaran kebencian dilawan dengan tema yang sama. Namun, kita juga bisa melawan itu dengan seni dan budaya yang keluar dari rahim bangsa kita sendiri. Dengan begitu, kita berharap, persatuan dan kesatuan kita tetap terjaga sebagai anak bangsa yang memegang teguh budaya cinta.

Suheri Sahputra Rangkuti

View Comments

Recent Posts

Soft Terrorism; Metamorfosa Ekstremisme Keagamaan di Abad Algoritma

Noor Huda Ismail, pakar kajian terorisme menulis kolom opini di harian Kompas. Judul opini itu…

9 jam ago

Jangan Terjebak Euforia Semu “Nihil Teror”

Hiruk pikuk lini masa media sosial kerap menyajikan kita pemandangan yang serba cepat berubah. Satu…

11 jam ago

Rejuvenasi Pancasila di Tengah Fenomena Zero Terrorist Attack

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Peringatan itu merujuk pada pidato Bung Karno…

11 jam ago

Menjernihkan Makna “Zero Terrorist Attack” : Dari Penanggulangan Aksi Menuju Perang Narasi

Dalam dua tahun terakhir, Indonesia patut bersyukur karena terbebas dari aksi teror nyata di ruang…

11 jam ago

Sesat Pikir Pengkafiran terhadap Negara

Di tengah dinamika sosial dan politik umat Islam, muncul kecenderungan sebagian kelompok yang mudah melabeli…

5 hari ago

Dekonstruksi Syariah; Relevansi Ayat-Ayat Makkiyah di Tengah Multikulturalisme

Isu penerapan syariah menjadi bahan perdebatan klasik yang seolah tidak ada ujungnya. Kaum radikal bersikeras…

5 hari ago