Pasca orde baru, ada semacam upaya untuk menyodorkan sejarah alternatif ke publik yang berbeda dari sejarah mainstream versi pemerintah. Usaha ini kadang disebut oleh para pengusungnya sebagai upaya “meluruskan” sejarah.
Usaha seperti ini tentu sangat perlu dan harus diapresiasi, dengan catatan selama ia tetap dalam prinsip-prinsip penelitian sejarah bukan hasil rekaan, imajinasi kosong, apalagi terjebak pada romantisme yang kebablasan.
Salah satu usaha itu adalah Islamisasi sejarah. Puncak dari Islamisasi sejarah itu terbitnya buku Api Sejarah 1 dan Api sejarah II karya Surya Mansyur Suryanegara. Buku sangat viral dan menjadi best seller. Buku ini menjadi salah satu buku wajib satu organisasi kemahasiswaan di Indonesia.
Menurut Suryanegara dalam bukunya, selama ini banyak sejarah umat Islam yang sengaja dipinggirkan, peran ulama dikecilkan, dan hasil perjuangan tokoh Islam sengaja tidak dicatat dalam versi sejarah penguasa. Buku ini ingin membuktikan sebaliknya, bahwa ulama, kyai, tokoh agama, dan umat Islam secara umum, mempunyai andil yang sangat besar terhadap bangsa dan negara Indonesia.
Suryanegara umpamanya menggugat 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional yang didasarkan pada hari lahir Ki Hajar Dewantara. Mengapa bukan 18 November, hari lahirnya Muhammadiyah (lahir: 18-11-1912) yang dijadikan Hardiknas, padahal Muhammadiyah sudah jauh merintis pendidikan moderan secara kolektif jauh sebelum Ki Hajar Dewantara.
Suryanegara juga menyoal Kartini sebagai emansipator wanita Indonesia. Padahal menurutnya, ada seorang muslimah dari Sumatera Barat yang lebih dahulu mengusung ide-ide emansipasi. Bukan hanya itu, bagi Suryanegara, Pattimura dan Sisingamangaraja XII itu adalah Islam, ia mengkritik sejarah versi pemerintah yang menggabarkan kedua tokoh ini sebagai non-muslim.
Surya banyak menyoal sejarah. Ada puluhan narasi sejarah yang ia balikkan 360 derajat dari versi sejarah umum dikonsumsi masyarakat. Meski mendapat banyak kritikan dari sana sini. Surya dikritik hanya mengutak-atik tanggal, tidak memberikan bukti dan data sejarah, bahkan ada yang mengkritik buku Api Sejarah kebayakan isinya adalah hasil imajinasi bukan data sejarah.
Terlepas dari itu, buku Api Sejarah 1 dan 2, bagi sebagian pihak, terutama yang selama ini memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, bak oase di tengah dahaga. Ia dijadikan pegangan untuk meng-counter sejarah pemerintah yang dituduh sekuler. Meminjam istilah kawan, buku Surya itu menjadi “kitab suci” bagi para kaum Islamisme.
Narasi Pahlawan Islam
Salah satu imbas dari Islamisasi sejarah itu adalah konsep dan narasi kepahlawanan pun ikut kena. Konsep pahlawan yang selama tidak ada kaitannya dengan agama, sekarang dikait-kaitkan dengan agama sang pahlawan.
“Para penjuang Islam”, “Bung Tomo ternyata Santri”, “Syariat Islam sangat mempengaruhi jiwa para pejuangan 10 November”, “Tanpa Islam, bangsa ini tak mungkin merdeka, –adalah contoh narasi yang bertebaran di media sosial.
Bahkan ada kesan dari kaum Islamisme, Islam adalah faktor satunya-satunya, menentukan orang itu pahlawan atau tidak. Jika agama pahlawan itu Islam, maka ia diekspos besar-besaran ke media sosial.
Tak hanya sampai di situ, para pahlawan itu dinarasikan bahwa mereka berjuang sebenarnya atas dasar panggilan Islam, bukan atas dasar panggilan bangsa apalagi negara. Sebenarnya, mereka memperjuangkan Islam. Mereka berjihad fi sabillah.
Narasi Islam versus Kristen, di mana Islam adalah pihak yang dijajah, Kristen adalah pihak penjajah – pun mulai dihadap-hadapkan dan dibenturkan. Seolah-olah, ini adalah jihad fi sabilillah kaum muslim melawan kaum kafir.
Bahaya Narasi Pahlawan Islam
Narasi pahlawan Islam yang sengaja diusung oleh para pengusung khilafah dan kaum Islamisme sangat berbahaya dalam tataran berbangsa dan bernegara. Konsep pahlawan direduksi. Mereka memperlebar polarasi atas dasar agama. Identitas agama dijadikan nomor satu di atas identitas bangsa.
Kita perlu menyoal dan menggugat narasi pahlawan Islam ini. Bahwa dalam sejarah bangsa ini, siapa pun yang berjasa, mempertahankan kedaulatan negeri ini dari para penjajah dan perongrong, maka ia adalah pahlawan. Pahlawan tak mengenal agama. Ia milik semua.
Membesar-besarkan agama tertentu sebagai faktor satu-satunya penilaian sangat berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa ini. Klaim bahwa agama kami lebih berjasa dari agama kalian; penjuang kami lebih hebat dari pejuang kalian; pahlawan kami lebih banyak dari pahlawan kalian, harus dihentikan.
Logika dikotomik yang dinarasikan oleh para pengusung narasi pahlawan Islam; seolah-olah perjuangan para pahlawan dulu itu adalah pertempuran Islam versus kafir, adalah logika simplistik. Perjuangan para pahlawan itu tidak sesederhana klaim mereka. Ada banyak faktor dan mempunyai kompleksitas yang sangat tinggi.
Narasi yang sengaja ingin agar agama kamilah yang paling hebat, paling berjasa, dan paling banyak kontribusinya harus dihilangkan dari ruang publik. Dulu, bangsa ini didasarkan atas rasa persamaan yang sama, yakni sama-sama dijajah, mari kita berjuang sesuai dengan kemampuan kita masing-masing, tanpa perlu menganggap kamilah yang paling berjasa.
This post was last modified on 12 November 2020 6:38 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…