Narasi

Merayakan Demokrasi, Memperkuat Persaudaraan

Puncak perayaan demokrasi di Indonesia sebentar lagi hadir. Dalam beberapa hari ke depan, rakyat Indonesia akan mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan menggunakan hak pilihnya untuk mencoblos calon presiden dan calon anggota legistatif 2019-2024. Berdasarkan data dari KPU, total pemilih di dalam negeri 190.779.969 jiwa. Sementara pemilih di luar negeri 2.086.285 jiwa. Jutaan pemilih ini memiliki tujuan yang sama, mendapatkan pemimpin yang mumpuni agar rakyat Indonesia semakin makmur dan sejahtera. Sementara wakil rakyatnya diharap memperjuangkan aspirasi masyarakat dengan seluruh kemampuan. Oleh sebab itu, pemilu -sebagai implementasi dari demokrasi- harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Gunakan hak pilih secara objektif sekaligus gunakan hati nurani. Bebas memilih siapapun karena tidak ada yang bisa memaksakan pilihan.

Kebebasan memilih itulah yang harus benar-benar diresapi. Jika ada pihak lain yang berbeda pilihan politik, merupakan hak orang tersebut. Tidak perlu terlalu jauh mengomentari preferensi seseorang. Apalagi menjelek-jelekan hingga menjatuhkan. Misalnya, menganggap orang yang mencoblos calon A akan mendapatkan dosa, mencoblos calon B akan membuat Indonesia terpuruk, mencoblos calon C akan menghancurkan persatuan. Sementara calon yang akan dipilihnya dijunjung tinggi-tinggi sembari menghinakan pilihan lainnya. Sikap merendahkan pilihan politik merupakan bentuk ketidakdewasaan dalam berdemokrasi. Apalagi jika diberi bumbu berupa fitnah. Lengkap sudah pemantik untuk ketegangan. Kita harus menyadari, bahwa dalam demokrasi, kebebasan merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi. Jadi, menghormati dan menerima dengan lapang dada perbedaan politik.

Dalam hal menghargai perbedaan, bangsa ini masih perlu terus belajar. Banyak ditemui, orang-orang yang kurang bisa menerima perbedaan pilihan secara dewasa. Akibatnya, kehidupan politik Indonesia begitu gaduhnya. Contoh paling kongkret adalah terjadinya polarisasi masyarakat antara mereka yang mendukung Jokowi dengan mereka yang mendukung Prabowo. Lahirlah istilah cebong dan kampret yang biasa digunakan untuk mengejek masing-masing kubu. Setiap hari, muntahan hinaan terhadap kubu-kubu tersebut begitu masif. Betapa mirisnya melihat orang-orang yang begitu gembira dan percaya diri merendahkan pihak lain. Padahal, semuanya adalah anak-anak Ibu Pertiwi yang sah, dan sedang berkompetisi demi kebagian bangsa ini.

Baca juga : Ekspektasi Demokrasi: Pancasila Sakti, Radikalisme Sakit

Maka, siapapun yang akhirnya ditetapkan sebagai pemenang dalam Pemilu 2019, harus dirayakan secara bersama-sama. Mereka yang menang, harus tetap rendah hati. Tidak perlu menabuh genderang dan menari-nari berlebihan hingga merendahkan lawan yang kalah. Hal ini juga wajib dilakukan oleh para pendukungnya. Kemenangan orang yang mereka dukung, sejatinya merupakan kemenangan bangsa ini. Bukan kemenangan segelitir orang. Sebab yang memilih adalah seluruh rakyat Indonesia. Sementara bagi pihak yang kalah, terima kekalahan tersebut dengan sepenuh jiwa. Tidak perlu mengelak dari kekalahan dengan cara menuduh pihak lain berlaku curang atau tuduhan tidak berdasar lainnya. Masih banyak kesempatan untuk berlaga kembali. Dan tentu saja, tidak perlu menjadi pemimpin negara atau anggota legislatif untuk berkontribusi. Wakaf tenaga dan pikiran bisa dilakukan di berbagai bidang kehidupan.

Satu hal lagi yang perlu dilakukan pasca Pemilu 2019 adalah rekonsiliasi di level nasional dan akar rumput. Para elit politik yang selama ini sering mempertontonkan kegaduhan, berhentilah. Jangan seret rakyat dalam kepentingan politik yang kasar dan tidak beradab. Kurangi perkataan dan perbuatan yang memecah-belah masyarakat. Sadarilah, Indonesia tidak akan menjadi bangsa besar jika rakyatnya selalu diajak untuk cakar-cakaran. Kesejahteraan akan sulit tercapai jika rakyatnya tidak padu dalam kehidupan. Dan tentu saja, keberkahan mustahil hadir jika rakyatnya lebih senang berkonflik daripada bekerja.

Setelah melewati hari pencoblosan, harapan kita semoga buzzer-buzzer politik, influencer, dan para pengguna sosial media, stop melakukan bullying politik dan membuat konten hoax. Hindari memberi label negatif kepada pihak yang berbeda pikiran. Jangan juga meneruskan penggunaan terminologi cebong dan kampret. Dua istilah yang benar-benar membuat Indonesia terkesan begitu tegang dan menggambarkan rendahnya kemampuan kita menerima berbedaan. Mari, jadikan Pemilu 2019 sebagai fajar untuk menyongsong hari yang baik bagi seluruh rakyat Indonesia. Hari yang penuh dengan persaudaraan dan kesejahteraan. Bukan hari yang dihiasi ketegangan dan permusuhan.

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

View Comments

Recent Posts

Meluruskan Konsep Al Wala’ wal Bara’ yang Disimplifikasi Kelompok Radikal

Konsep Al Wala' wal Bara' adalah konsep yang penting dalam pemahaman Islam tentang hubungan antara…

11 jam ago

Ironi Kebebasan Beragama dan Reformulasi Hubungan Agama-Negara dalam Bingkai NKRI

Di media sosial, tengah viral video pembubaran paksa disertai kekerasan yang terjadi pada sekelompok orang…

11 jam ago

Penyelewengan Surat Al-Maidah Ayat 3 dan Korelasinya dengan Semangat Kebangsaan Kita

Konsep negara bangsa sebagai anak kandung modernitas selalu mendapat pertentangan dari kelompok radikal konservatif dalam…

11 jam ago

Reinterpretasi Konsep Politik Kaum Radikal dalam Konteks Negara Bangsa

Doktrin politik kaum radikal secara umum dapat diringkas ke dalam tiga poin pokok. Yakni konsep…

1 hari ago

Islam dan Kebangsaan; Dua Entitas yang Tidak Bertentangan!

Sampai saat ini, Islam dan negara masih kerap kali dipertentangkan, khususnya oleh pengusung ideologi khilafah.…

1 hari ago

Melihat Sejarah Kemerdekaan Indonesia: Meremajakan Kembali Relasi Agama dan Negara

Sejarah kemerdekaan Indonesia adalah perjalanan panjang yang dipenuhi dengan perjuangan, keberanian, dan komitmen untuk membebaskan…

1 hari ago