Indonesia sedang secara masif menggelar aksi bela Palestina. Akhir Mei kemarin, demonstrasi terjadi di Bandung, yang dimotori oleh Forum Ulama, Tokoh, dan Advokat (FUTA). Usut punya usut, FUTA ternyata adalah kamuflase HTI. Sehari berikutnya, tepat 1 Juni, bersamaan dengan Hari Lahir Pancasila, aksi bela Palestina digelar di depan Kedubes AS, Jakarta. Para demonstran cukup heterogen. Bendera Palestina jadi atribut aksi.
Seminggu berikutnya, tepatnya Sabtu (8/9) kemarin, demonstrasi kembali digelar. Para demonstran melakukan longmarch dari Patung Kuda Monas sampai ke depan Kedubes AS. Namun, alih-alih atribut Palestina, massa mengibarkan bendera HTI. Ribuan demonstran membawa atribut HTI. Ironisnya, tuntutannya bukan menyelesaikan konflik melalui solusi dua negara (two state solution), melainkan pengusiran Israel.
Sebagaimana dilansir dari Kompas, salah satu demonstran mengatakan, misi aksi Sabtu kemarin bukan untuk perdamaian antara Palestina dengan Israel, tetapi mengusir Israel dari Palestina. Setelah itu, mereka akan menangkap para pemimpin Israel. Ketika dua tuntutan itu terpenuhi, mereka juga menuntut seluruh negara di dunia mendeklarasikan Israel sebagai negara yang ilegal. Terdengar sangat heroik, bukan?
Sehari setelahnya, Minggu (9/6), aksi bela Palestina kembali terjadi. Kali ini dimotori oleh Muhammadiyah, yang dihadiri langsung oleh eks-Ketua Muhammadiyah, Din Syamsudin. Lokasinya di Patung Kuda, Monas. Mereka mendesak pemerintah mengirim bantuan militer ke Palestina, dengan mengajak Turki, Pakistan, Iraq, Aljazair, Rusia, dan China untuk ikut mengirim bantuan militer. Tujuannya, agar agresi militer Israel dan AS berhenti.
Tuntutan Din cukup realistis. Sebab, sebelumnya, pada Jumat (7/6), Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyatakan bahwa Indonesia akan mengirim pasukan perdamaian ke Gaza. Prabowo menegaskan, Indonesia mendukung kemerdekaan rakyat Palestina. Namun, bagaimana dengan aksi bela Palestina yang dimotori HTI, baik dalam aksi di Bandung maupun di depan Kedubes AS kemarin? Ini menarik dikaji.
Aksi Bela Palestina, Waspada Propaganda Aktivis Khilafah!
Fokus uraian di sini adalah aksi bela Palestina yang dimotori oleh HTI. Sebagaimana diketahui bersama, sekalipun telah menjadi ormas terlarang, HTI terus melakukan propaganda khilafah dengan memanfaatkan berbagai momentum. Aksi bela Palestina adalah salah satu ladang basah para aktivis khilafah tersebut untuk mengindoktrinasi umat. Lalu, bagaimana cara mendeteksi HTI dalam hal tersebut? Jawabannya: perhatikan narasi aksi.
Palestina telah lama menjadi salah satu PR diplomasi Indonesia di kancah global. Artinya, hal-ihwal membela Palestina, Indonesia selalu konsisten dan berada di depan untuk menghapuskan penjajahan di atas dunia—sesuai amanat konstitusi. Namun demikian, upaya pemerintah fokus pada misi kemanusiaan ketimbang agama. Karena itu, Indonesia mendukung two state solution sebagai solusi yang paling memungkinkan untuk segera menyudahi genosida.
Kendati sulit, pemerintah terus mendorong PBB untuk menghentikan okupasi Israel. Tetapi HTI, apa yang mereka narasikan justru kontra-produktif. Mereka tidak mau dengan two state solution, karena dianggap merugikan Palestina. Mereka ingin Israel diusir total dari tanah Palestina. Dan untuk tujuan tersebut, para aktivis khilafah itu menuntut militer Indonesia dikirim ke Palestina, atau jika tidak, maka khilafah harus ditegakkan.
Dengan demikian, ada yang tidak beres dari narasi membela Palestina ala aktivis khilafah—HTI. Sekalipun tampak mendukung kemerdekaan Palestina, mereka sejatinya hanya mempromosikan ideologi belaka. Ironisnya, mereka melakukan aksi bela Palestina dengan bertolak pada dua hal. Pertama, glorifikasi khilafah. Kedua, mengabaikan resolusi kemanusiaan. Maka, waspadalah dalam menarasikan aksi bela Palestina.
Glorifikasi khilafah yang dimaksud ialah bahwa dalam setiap aksi bela Palestina, kemerdekaan Palestina tidak menjadi prioritas. Ada tarik-menarik kepentingan di sini: mana yang lebih urgen, memerdekakan Palestina atau menegakkan khilafah? Bagi HTI dan semua aktivis khilafah, jawabannya adalah menegakkan khilafah—sesuatu yang kontras dengan idealisme perjuangan Palestina itu sendiri.
Adapun pengabaian resolusi kemanusiaan yang dimaksud bisa dilihat dari tuntutan yang para aktivis HTI lakukan. Mereka minta Israel hengkang dari Palestina, itu adalah tuntutan yang tidak masuk akal dan utopis. Logikanya, jika two state solution saja kini belum tercapai, bagaimana mungkin Israel akan terjadi? Zionisme adalah ideologi yang kuat. Fakta tersebut tidak bisa diabaikan. AS dan Eropa ada di belakang Israel.
Artinya, menuntut sesuatu yang mustahil sama halnya dengan menunda kemerdekaan. Para aktivis khilafah, melalui tuntutan utopis tersebut, mengesampingkan resolusi kemanusiaan yang mendesak untuk dilakukan demi cita-cita ideologis mereka. HTI dan semua aktivis khilafah tidak peduli dengan penderitaan rakyat Palestina, dan memilih mengorbankan Palestina daripada two state solution bersama Israel.
Tentu saja, menggunakan aksi bela Palestina untuk mengglorifikasi khilafah dan mengabaikan resolusi kemanusiaan adalah langkah yang naif. Untuk itu, masyarakat Indonesia harus jeli jika hendak ikut aksi solidaritas untuk Palestina. Mendukung Palestina mesti sesuai dengan amanat konstitusi, mendukung upaya pemerintah, dan mengendepankan humanisme. Jika jihad dan khilafah yang dituntut, maka rakyat Palestina akan semakin menderita.
PR Pemerintah dalam Mendukung Palestina
Dalam diskusi publik yang digelar Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) di Masjid Istiqlal, Sabtu (1/6) lalu, pendiri NU Online sekaligus salah satu Ketua PBNU, Savic Ali, memiliki gagasan yang menarik. Menurutnya, aksi bela Palestina di Indonesia—yang notabene Muslim terbesar—kalah militant dengan negara-negara sekuler seperti Eropa. Seperti diketahui, aksi solidaritas untuk Palestina terjadi di sejumlah negara di Eropa, hari-hari ini.
Savic mencatat, kendati banyak orang di Indonesia bersuara keras mendukung kemerdekaan Palestina dan mengkritik Israel, gerakannya cenderung partisan dan terfragmentasi. Salah satu penyebabnya adalah persepsi bahwa sikap tegas pemerintah sudah cukup mewakili aspirasi masyarakat, sehingga individu merasa tidak perlu mengambil tindakan lebih lanjut.
Namun, ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa tidak ada pengorganisasian yang efektif untuk mendukung Palestina di Indonesia? Peran pemerintah dalam hal ini sangat krusial. Sikap tegas pemerintah dalam mendukung Palestina harus dibarengi inisiatif untuk memfasilitasi dan mengorganisir gerakan masyarakat secara sistematis. Jika tidak, dukungan bisa kehilangan arah dan kurang efektif—di samping rentan disalahgunakan oleh HTI.
Demonstrasi dan aksi bela Palestina, menurut Savic, memang sangat urgen. Meskipun efektivitasnya mungkin diperdebatkan, namun yang lebih penting adalah partisipasi publik sebagai wujud dari tanggung jawab moral kemanusiaan. Tidak hanya untuk memberi tekanan politik, aksi bela Palestina berguna untuk membantu membangun kesadaran publik tentang fakta yang dihadapi Palestina. Maka, ia harus terstruktur dan sistematis.
Untuk tujuan itu, di era digital ini, platform media sosial dan media massa memiliki peran besar. Di situlah PR pemerintah berada. Savic menekankan pentingnya menggunakan setiap platform yang ada. Kampanye publik yang terkoordinasi, penyebaran informasi yang akurat, dan dukungan untuk inisiatif-inisiatif berbasis komunitas dapat meningkatkan visibilitas dan dampak dari dukungan untuk Palestina.
Intinya, meskipun ada dukungan yang luas untuk Palestina, pemerintah juga harus mengatasi tantangan internal dan eksternal. Di tingkat domestik, pemerintah harus memastikan bahwa semua upaya mendukung Palestina tidak mengorbankan stabilitas nasional, sebagaimana glorifikasi khilafah yang HTI lakukan. Di tingkat internasional, pemerintah harus terus mendorong kemerdekaan Palestina melalui forum internasional.
Dukungan untuk Palestina tidak sekadar soal politik atau diplomasi; ini adalah soal kemanusiaan dan keadilan. Pemerintah Indonesia memiliki PR besar untuk tidak hanya mendukung Palestina melalui kebijakan luar negeri yang tegas, tetapi juga untuk memfasilitasi dan mengorganisir solidaritas masyarakat secara efektif. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga mesti memantau ketat aktivis khilafah yang menunggangi berbagai aksi bela Palestina.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
This post was last modified on 12 Juni 2024 9:30 AM
Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…
Dalam menghadapi Pilkada serentak, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan atmosfer damai yang…
Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Peringatan ini sangat penting lantaran guru merupakan…
Hari Guru Nasional adalah momen yang tepat untuk merenungkan peran penting guru sebagai motor penggerak…
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…