Perempuan bernama Elia Myron tengah menjadi sorotan publik. Hal itu bermula dari sejumlah pernyataannya yang cukup kontroversial di media sosial. Dalam sebuah live TikTok di akun @wawasanelia, ia meminta Kementerian Agama RI merevisi kandungan Alquran, terutama Surat Al Araf ayat 97. Ia menuding, ayat tersebut merupakan jiplakan dari kitab Injil yang dipakai untuk menjustifikasi konsep teologis Islam.
Potongan videonya pun tersebar luas di berbagai platform media sosial dan memantik kontroversi di kalangan umat Islam. Tidak hanya sekali, Myron berkali-kali memantik kontroversi melalui perbuatannya tentang Islam di berbagai media sosial. Lantas, siapa sebenarnya Elia Myron ini?
Myron, dalam sebuah acara talkshow di kanal YouTube Richard Lee mengaku sebagai seorang apologet. Dalam tradisi kekristenan, apologetika adalah ilmu yang secara sistematis menjelaskan dan mempertahankan iman atau kepercayaan Kristen. Seorang apologet bisa diartikan sebagai individu yang menjelaskan dan mempertahankan ajaran Kristen kepada khalayak.
Dalam laman Wikipedia, Myron diketahui memiliki latar belakang pendidikan iman kekristenan dari SMA Sinagoga Lewis. Dan belakangan ia tercatat sebagai mahasiswa sastra Inggris di Universitas Indonesia. Ia populer sebagai mirko-selebritis terutama di TikTok, melalui kontennya yang membahas tentang isu-isu agama. Namanya kian naik ketika beberapa kali ia memantik kontroversi, terutama ketika ia meminta Kemenag merevisi Al Qur’an.
Myron barangkali adalah cerminan dari fenomena matinya kepakaran (the death of expertise) sebagaimana dikatakan oleh Tom Nichols. Fenomena matinya kepakaran di era digital ini tampak ketika opini seorang seleb-medsos (influencer) yang belum jelas kebenarannya lebih banyak mendominasi alam pikir netizen ketimbang pendapat para ahli (expert).
Di era digital, ketika media sosial telah menggeser media konvensional, keberadaan seorang mikroseleb harus diakui memang telah menggeser peran otoritas para ahli. Alhasil, kebenaran menjadi kabur, karena netizen lebih kerap mendengar pendapat para selebritis, ketimbang para ahli.
Di media sosial, para mikro-selebritis dengan ratusan ribu bahkan jutaan follower adalah sosok pembuat opini (opinion maker). Pendapatnya kerap dianggap sebagai rujukan, meski kadangkala tidak merepresentasikan kebenaran. Myron adalah salah satu gambaran vulgar fenomena matinya kepakaran tersebut.
Myron sebenarnya tidak bisa dikatakan memiliki otoritas keilmuan untuk membahas tentang teologi Kristen. Apalagi sampai mengomentari bahkan meminta Alquran direvisi. Latar belakang pendidikan dan rekam jejak intelektualitasnya sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia adalah pakar keagamaan.
Pernyataannya agar Kemenag merevisi Alquran, karena dianggap menjiplak Injil adalah sebuah bentuk arogansi dan bisa dikatakan sebagai wujud intoleransi. Bagaimana tidak? Pernyataan bahwa ada ayat Alquran yang menjiplak Injil adalah sebuah tuduhan serius. Ini artinya, ia tidak mengakui otentisitas Alquran. Konsekuensi logisnya, ia juga tidak mengakui originalitas ajaran Islam. Sikap yang demikian ini tentu bisa dianggap menghina Islam.
Selain itu, seruan agar Kemenag merevisi Alquran adalah sebuah pernyataan yang tidak hanya offside, namun juga provokatif. Bahkan, para tokoh agama Kristen sekelas Paus di Vatikan pun tidak pernah mengeluarkan pernyataan seperti diutarakan Myron tersebut.
Dari sini kita bisa melihat bagaimana kedangkalan pikiran Myron dalam memahami agamanya sendiri (Kristen) dan Islam. Kedangkalan itulah yang membuatnya terjerumus ke dalam perilaku arogan dan intoleran. Ia gagal melihat relasi Kristen-Islam sebagai dua agama yang berasal dari akar yang sama, yakni rumpun agama Ibrahim.
Tidak hanya itu, ia juga gagal dalam memahami bagaimana relasi agama-agama ini harus diletakkan dalam bingkai kemajemukan Indonesia. Islam dan Kristen adalah dua komunitas agama terbesar di Indonesia yang kerap terlibat gesekan sosial di kalangan pemeluknya di akar rumput. Mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait relasi kedua agama tersebut adalah tindakan yang rawan memicu gesekan dan konflik.
Ironisnya, sosok seperti Myron ini tidak sedikit jumlahnya di jagat medsos. Dan, harus diakui tidak hanya berasal dari agama Kristen saja. Di kalanagan Islam sendiri pun banyak sosok seperti Myron; dangkal dalam berpikir, namun populer, dan kerap membikin pernyataan kontroversial. Keberadaan Myron dengan segala kontroversinya juga membuktikan bahwa perilaku intoleran dan arogan itu ada di setiap agama dan tidak identik dengan agama tertentu.
Kita tentu tidak melarang siapa pun membikin konten membahas isu agama di media sosial. Namun, satu hal yang perlu diingat bahwa konten keagamaan tidak bisa sembarang diproduksi dan didistribusikan. Pastikan bahwa kita memahami betul isu yang kita bahas. Tanpa pemahaman yang mendalam, pembahasan terkiat isu keagamaan rawan terjebak pada nalar penghakiman, bukan pencerahan.
Selain itu, kita juga harus mempertimbangkan aspek kerukunan beragama di masyarakat. Di tengah realitas masyarakat yang majemuk, isu keagamaan idealnya diarahkan pada hal-hal konstruktif. Misalnya, bagaimana agama-agama berkontribusi pada pengengasan kemiskinan dan kebodohan. Bukan justru diarahkan ke hal-hal destruktif, apalagi membangun asumsi bahwa kitab suci agama lain tidak orisinal.
This post was last modified on 1 Oktober 2024 10:14 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…