Narasi

Mewaspadai Bahaya Politisasi Anti-China di Tahun Politik

Di balik kebahagiaan keturunan etnis Tionghoa yang terlihat dalam setiap perayaan tahun baru Imlek, tersimpan sebuah fakta menyedihkan tentang bagaimana kita masih mendiskriminasi keturunan etnis dalam narasi sehari-hari. Mudah sekali kita menemukan di jagat media sosial, orang-orang yang mudah melontarkan ujaran kebencian terhadap etnis Tionghoa.

Bahkan, dalam upaya mengkritik kebijakan-kebijakan yang dibangun pemerintah, masih saja ada pihak tidak bertanggungjawab yang menarasikan provokasi anti-China. Mengkritik kinerja penguasa tentu bukan hal yang dilarang, provokasi kebencian terhadap etnis tertentulah yang harus dijauhi. Karena dapat membahayakan kohesivitas bangsa yang telah dirajut dengan harmonis.

Pribumi vs Etnis Pendatang

Dalam narasi-narasi politasi identitas anti-China, umumnya akan dimunculkan narasi-narasi provokasi “etnis pendatang” dan “pribumi”. Etnis pendatang menguasai ekonomi dan negara. Harus dipahami, etnis sebenarnya adalah adalah konsep kultural yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol, dan praktik kultural (Barker, 2000). Etnis dibentuk oleh  masyarakat melalui ikatan primordial dengan mengidentifikasikan diri pada identitas dan simbol etnis terkait.

Pembentukan etnis ini jelas hanya mengacu pada perbedaan teritorial kultural antarkelompok. Bukan keinginan menguasai aspek-aspek kekayaan dalam kelompok. Sehingga, menyatakan bahwa etnis tertentu berkehendak menguasai, sedangkan etnis yang lain tidak, merupakan salah kaprah. Upaya-upaya provokasi kebencian tersebut hanyalah salah satu bentuk politisasi identitas untuk memecah-belah dan mendulang dukungan.

Maka itu, kesadaran tentang perlunya menghindari politisasi kebencian terhadap etnis ini harus dimiliki oleh seluruh elemen bangsa. Ini penting. Negara yang berdiri dengan keberagaman etnis, budaya, ras, dan bahasa sangat rentan untuk dipecah-belah. Mudah sekali kita akan menemukan perbedaan dari setiap elemen bangsa. Hanya saja, akankah kita berselisih atau melebur menjadi satu menjadi sebuah bangsa yang utuh. Bekerja sama, untuk membangun negara. Membentuk identitas kebangsaan. Identitas kebangsaan adalah perspektif penting untuk menyatukan kemajemukan atribut kultural dan menjaga stabilitas serta keharmonisan bangsa.

Ben Aderson dalam Imagined Community (1983) menyebut, bangsa adalah suatu komunitas yang terbayangkan dan identitas nasional adalah konstruksi yang diracik melalui simbol dan ritual dalam kaitannya dengan teritorial dan administratif. Dapat dikatakan, berarti indentitas kebangsaan secara intristik harus dibangun melalui interaksi kebangsaan yang efektif antarindividu dalam negara.

Oleh karenanya, jangan sampai identitas kebangsaan yang Bhinneka Tunggal Ika dirusak oleh disharmonisasi yang disebabkan polarisasi identitas. Perlu diingat, sesungguhnya harmonisasi etnis kita yang beragam ini, sering kali dirusak oleh proses mobilisasi politik, justru bukan disebabkan oleh faktor perbedaan kebudayaan antaretnis. Situasi disharmorni antaretnis sering terjadi pada momentum pemilu itu, biasanya terjadi karena masih ada politisi atau konsultan politik yang menjadikan etnis sebagai bahan bakar mesin politik.

Maka tu, menjelang tahun politik ini, kita perlu waspada dan berhati-hati dengan narasi-narasi politik identitas. Mengindahkan politisasi kebencian dan sentimen negatif terhadap etnis tertentu. Ingat. Semua etnis berkedudukan sama di hadapan negara. Tidak dibeda-bedakan. Selagi seseorang sah sebagai warga negara secara konstitusional dan administratif, maka semua memiliki hak yang sama di depan negara.

Marilah bersama kita bersihkan media sosial kita dari politisasi identitas etnis anti-China atau etnis-etnis lain yang masih marak beredar. Tidak boleh ada lagi istilah provokasi “pribumi” dan “pendatang”. Setiap warga negara yang secara legal terdaftar sebagai  warga negara, memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk turut serta membangun negara.

Jadilah para pemilih cerdas. Menilai kelayakan seorang politisi bukan dari narasi provokatif identitas untuk menjatuhkan lawan politik. Menilai calon pemimpin bangsa yang akan dipilih pada kontestasi pemilu 2024 berdasarkan prestasi dan kemampuan kepemimpinan politik. Jika kita melakukan upaya-upaya tersebut, niscaya kita akan terbebas dari politisasi identitas yang mungkin akan semakin marak beredar di tahun politik. Wallahu a’lam bish-shawaab.

This post was last modified on 25 Januari 2023 1:26 PM

Mohammad Sholihul Wafi

Alumni PP. Ishlahusy Syubban Kudus.

Recent Posts

Mengantisipasi Residu Kebangkitan Terorisme di Suriah dengan Ideologisasi dan Diplomasi

Perkembangan mengkhawatirkan terjadi di Suriah. Kelompok pemberontak Suriah menyerbu dan merebut istana Presiden Bashar al-Assad…

11 jam ago

Algoritma Khilafah; Bagaimana Para Influencer HTI Mendominasi Semesta Virtual?

Pasca dibubarkan dan dilarang pemerintah pada medio 2019 lalu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah melakukan…

13 jam ago

Islam Membaca Fenomena Golput : Kegagalan Demokrasi atau Apatisme Politik?

Gawai besar pemerintah untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) serentak telah usai dihelat 27 November…

13 jam ago

Tantangan dan Peluang Penanggulangan Terorisme di Era Prabowo

Predikat zero terrorist attack di akhir masa pemerintahan Joko Widodo sekilas tampak menorehkan catatan positif…

2 hari ago

Peran Agama dalam Membangun Ketahanan Demokrasi Pasca Pilkada 2024

Pilkada 2024 menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Ajang ini melibatkan…

2 hari ago

Membongkar Nalar Fetakompli HTI; Benarkah Menolak Khilafah Berarti Anti-Islam?

Dalam sebuah wawancara, mantan teroris Ali Imron pernah berkata bahwa ia bisa meradikalisasi seseorang hanya…

2 hari ago