Narasi

Mewaspadai Bangkitnya PKI (Partai Khilafah Indonesia)

Di antara “sampah” pasca-Pilkada DKI yang dimenangkan oleh pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno adalah menguatnya wacana negara Islam (Khilafah Islamiyah) yang sejak sebelum pelaksanaan Pilkada, kelompok ini memang memperoleh panggung megah, baik lewat dukungan langsung kepada paslon pemenang, maupun lewat strategi hidden agenda yang mencoba-coba—meski pada akhirnya gagal—berbuat makar untuk menggulingkan pemerintahan sah yang dipilih secara demokratis hasil Pemilu 2014.

Kelompok pro-khilafah semakin pede dan berani unjuk gigi dengan menyelenggarakan acara bertema kampanye anti pemerintah, anti-Pancasila, anti-NKRI, yang ujung-ujungnya solusi yang ditawarkan adalah negara Islam—meskipun lagi-lagi sering ditentang dan pada akhirnya gagal terselengara karena memperoleh protes dari masyarakat sekitar. Itu artinya, masyarakat tidak setuju dengan aktivitas kelompok yang getol menyuarakan pentingnya pemerintahan Islam formal, sebab tidak relevan untuk negara Indonesia yang telah memiliki Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa.

Kehadiran kelompok pro-khilafah ini mengingatkan publik pada PKI (Partai Komunis Indonesia) era orde lama (termasuk juga orde baru), yang keberadaannya juga ditentang oleh masyarakat luas hingga berakhir tragis lewat peristiwa 1965. Hanya saja, tipologi dan materi gerakannya berbeda, tetapi memiliki kesamaan visi-misi, yaitu merebut kekuasaan (legal maupun illegal dengan cara chaos) dan jika berhasil akan merombak total sendi-sendi kebangsaan.

PKI di zaman lalu terlanjur distereotipe negatif sebagai kelompok ektrimis anti pemerintah dan membenci atribut keagamaan, sedangkan PKI di zaman sekarang—dalam istilah sarkasme politik disebut “Partai Khilafah Indonesia”— memiliki kesamaan sikap sinis kepada pemerintah dan cenderung memahami ajaran agama secara dogmatis-tekstual yang beranggapan bahwa menegakkan Khilafah Islamiyah merupakan bagian dari kesempurnaan iman. Padahal, tema Khilafah Islamiyah itu tidak disebutkan dalam dimensi rukun iman maupun rukun Islam.

Pancasila sebagai Piagam Bangsa

Rakyat Indonesia memiliki trauma yang mendalam terhadap keberadaan PKI, maka dari itu, gerakan politik praktis maupun ekstraparlementer yang mengusik Pancasila, NKRI, kebhinekaan, UUD 1945, akan mengganggu stabilitas kehidupan sehari-hari, berbangsa, dan bernegara. Mengapa demikian? Karena Pancasila merupakan hasil musyawarah yang disepakati oleh founding fathers; “perjanjian luhur”, sebuah “piagam” yang harus dihormati dan dijalankan, sebagaimana perintah dalam ayat al-Qur’an, wa awfu bi al-’uqud (penuhilah/jalankan apa yang sudah menjadi konsensus/kesepakatan).

Mereka yang pro-khilafah sesungguhnya tidak punya basis dukungan dan tauladan dari tokoh yang menjadi saksi sejarah terhadap lahirnya negara Republik Indonesia. Perumusan Pancasila telah disetujui oleh berbagai lapisan dan tokoh masyarakat dan agama, sebagaimana terekam dalam sidang BPUPKI I dan II. Di dalam sidang itu, sekadar menyebut nama-nama tokoh penting (ulama), misalnya, ada Ki Bagus Hadikusumo, orang Muhammadiyah yang bahkan kala itu masih menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah periode 1942-1953 dan KH. A. Wahid Hasyim, putra dari pendiri NU hadratus syaikh KH. Hasyim Asy’ari.

Berdasarkan fakta tersebut, jikalau ada individu atau kelompok yang menolak Pancasila dengan dalih apapun, berarti secara langsung tidak memercayai hasil ijtihad politik yang telah dirumuskan oleh minimal dua tokoh ormas Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini, Ki Bagus Hadikusumo dan KH. A. Wahid Hasyim. Selain itu, perbincangan soal perlu tidaknya menjadikan Islam sebagai dasar dan ideologi negara—yang akhir-akhir ini menjadi isu aktual— adalah isu klasik, yang dalam pengalaman negara Indonesia telah selesai-tuntas saat sidang BPUPKI yang melahirkan Pancasila.

Artinya, mereproduksi wacana Khilafah Islamiyah dalam era modern sekarang bukan hanya tidak mempunyai relevansi aktual, tetapi juga menunjukkan kemunduran peradaban, sebab mengulang kembali perdebatan 70 tahun lalu. Pancasila sebagai “piagam kebangsaan” telah kokoh dan terbukti menjadi perekat keharmonisan bangsa Indonesia yang dihuni oleh berbagai perbedaan etnis, bahasa, dan agama.

Ali Usman

Guru pesantren di Yogyakarta, menamatkan studi S1 filsafat dan program magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

24 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

24 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

24 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

1 hari ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago