Narasi

Mewaspadai Informasi Menyesatkan

Aktivitas membaca dan menulis ternyata tidak hanya memberikan pengaruh positif bagi pelakunya, tetapi bisa juga mendatangkan bencana untuk pihak lain. Hal ini terjadi jika seseorang banyak membaca hal-hal buruk dan negatif. Sebab setiap bacaan berpotensi mempengaruhi pola pikir dan tindakan seseorang. Jika referensi yang dilahapnya lebih banyak keburukan, maka perilaku buruk pun akan mengikutinya. Maka wajar jika dikatakan perilaku kita menunjukan apa yang kita baca. Turunan dari membaca tentu saja menulis. Dengan kata lain semakin berkualitas bacaan yang kita pahami, semakin bagus juga tulisan yang dibuat. Sebaliknya, saat bacaan kita tidak bermutu, produk tulisan yang dihasilkan pun setali tiga uang.

Hal inilah yang menjadi masalah kita akhir-akhir ini. Kini, setiap waktu kita disuguhkan beragam informasi dengan konten negatif tanpa henti. Setiap menit, selalu hadir bacaan baru di internet dan secara cepat menyebar di media sosial yang kita miliki. Selain itu, beragam tulisan di media sosial pun terus mengalir deras layaknya air sungai di musim hujan. Nyaris tidak terbendung. Seperti diungkap di atas, masalahnya informasi yang muncul sering membawa isi yang berisi bohong, fitnah, dan menyerang pihak lain. Sementara informasi positif, yang jumlahnya pasti lebih banyak, seakan tidak menarik untuk dibaca dan disebarkan.

Maka sangat relevan mencermati apa yang dikatakan oleh Presiden Jokowi terhadap fenomena ini. Terakhir, pada Minggu 9 Januari 2016, Presiden RI menegaskan pentingnya menjaga etika di media sosial. Di Pondok Pesantren At Taufiqy, presiden mengajak para santri untuk menangkal hoax dan menyebarkan kesantunan, kesopanan, sekaligus budi pekerti. Sebab hoax bisa memecah belah persatuan. Santri pun diminta untuk menyebarkan ajaran kebaikan yang didapatkan di pesantren. Himbauan presiden sungguh sangat relevan dan strategis dalam merespons fenomena maraknya hoax di media sosial. Pelibatan kaum santri memang penting dilakukan. Sebab santri sekarang termasuk dalam generasi internet yang kesehariannya tidak terlepas dari informasi. Selain itu, santri telah memiliki filter berupa ajaran kebaikan agama. Sehingga tidak gampang terprovokasi informasi hoax yang biasa menyinggung isu SARA dan membawa-bawa agama.

Bagi mereka yang tidak memiliki fondasi ilmu yang kuat, sangat sulit menghindari diri dari jebakan informasi menyesatkan. Bahkan tidak sedikit yang akhirnya mengamini dan mengikuti ajakan buruk yang diajarkan di internet. Terlebih banyak kelompok yang menggunakan internet untuk mengacak-acak keharmonisan suatu bangsa. Dan salah satu kelompok yang terus bergerilya di internet mengajarkan kekerasan dan permusuhan adalah para teroris. Mereka sadar, internet adalah dunia yang tidak bertepi. Siapapun bisa mengaksesnya selama 24 jam penuh. Dari pembacanya pun berasal dari penjuru dunia. Contoh kongkretnya adalah Bahrun Naim yang menjadi otak teror di berbagai tempat di Indonesia. Pria yang diduga berada di Suriah ini menguasai penggunaan teknologi informasi. Terlebih Bahrun Naim pernah belajar di perguruan tinggi dan mengambil jurusan IT. Orang seperti Bahrun Naim tentunya tidak hanya satu, tetapi banyak sekali dan terus bergentayangan. Jadi tidak heran ketika sedang berselancar di internet, mudah sekali menemukan situs-situs yang mengajak masyarakat untuk melakukan perlawanan kepada pihak lain. Para teroris ini pun menggunakan legitimasi agama untuk menyakinkan pembacanya. Termasuk kelompok teroris ISIS yang memiliki banyak media online yang berafiliasi dengannya dalam beragam bahasa. Mulai dari bahasa Arab, Inggris, Indonesia, dan sebagainya.

Maka di berbagai tempat di dunia, sering muncul serangan teror dan kekerasan yang terinspirasi dari media online. Pelaku pun banyak mendapatkan pelajaran aksi teror di internet. Mulai dari cara merakit bom, menentukan target, menggalang dana, dan sebagainya. Mencermati makin mengkhawatirkannya informasi di internet, maka kita harus makin selektif membaca dan menyebarkan berita tersebut. Termasuk jangan mudah untuk menulis postingan atau komentar yang mengajarkan permusuhan pada pihak lain. Terlebih saat ini aparat keamanan sudah mulai tegas terhadap pelaku penyebaran berita yang mengandung unsur kebencian terhadap pihak lain dan revisi UU ITE yang sudah diberlakukan. Meskipun pemerintah semakin aktif melakukan pemblokiran situs-situs yang dianggap membahayakan, tetapi tampaknya para teroris pun akan terus meningkatkan kemampuan mereka untuk mengakali hal ini. Maka satu-satunya cara yang paling efektif adalah membentengi diri kita untuk semakin cerdas dan selektif dalam membaca informasi.

This post was last modified on 10 Januari 2017 11:19 AM

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

14 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

14 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

14 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago