Kewarasan ruang publik adalah pertanda sehatnya suatu masyarakat. Masyarakat yang waras tergantung pada individu-individu yang waras. Waras dimaksud di sini adalah kemauan menjaga persatuan, persaudaraan, perdamaian, keutuhan Negara, keberagaman, dan segala hal positif lainnya. Dan ternyata menurut survei terakhir, pengguna internet dan media sosial kebanyakan adalah para milenial. Survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa, 25 juta atau sekitar 80% dari pengguna internet adalah kalangan milenial, kelahiran 90an, dan 80an. Dengan demikian bisa disimpulkan, bahwa sehat dan warasnya ruang publik, tergantung pada individu-individu milenial. Bila nilai-nilai positif yang yang suarakan di ruang publik oleh milenial, maka perdamain dan kesatuan yang akan terjadi. Tapi jika sebaliknya, ruang publik dipenuhi dengan ujaran kebencian, hoax, rasisme, dan intoleransi, maka kegaduhan yang akan terjadi.
Mengapa milenial penting dalam merawat kewarasan publik lewat media sosisl? Jawabannya adalah karena hubungan dan relasi manusia di era digital ini berbeda jauh sebelum era digital. Relasi di era digital itu bersifat maya, tidak real, jauh di sana, dan bukan dunia nyata. Relasi ini terjadi melalui media sosial, baik itu Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, dan sederet media lainnya. Hubungan yang berbasis maya, tentu berimplikasi terhadap hubungan manusia di dunia nyata dalam kehidupan sehari-hari. Hal yang sama bisa dikatakan, dunia maya yang sehat, yang suka menyebarkan kedamaian, persaudaraan, dan keutuhan NKRI, menunjukkan dunia nyatanya juga sehat. Begitu juga sebaliknya. Hubungan dunia maya dan dunia nyata dalam konteks merawat kewarasan publik adalah hubungan sebab akibat.
Menghindari Pemelintiran di Media Sosial
Implikasi dari media sosial adalah dunia semakin mengecil, dan mudahnya informasi yang didapat. Kemudahan informasi mempunyai nilai positif di satu sisi, sekaligus nilai negatif di sisi yang lain. Dalam konteks ini, tentu yang perlu di-manage bukanlah Media Sosial, melainkan Manusia penggunanya. Media sosial itu bersifat netral, tergantung siapa dan untuk apa ia digunakan. Media sosial baik, jika manusia penggunanya baik, dan buruk jika penggunanya juga buruk. Maka pertanyaan besarnya adalah bagaimana agar sisi negatif dari medsos bisa dihalau (setidaknya diminimalisir), sehingga tidak ada hoax, ujaran kebencian, rasisme, yang berujung kepada adu domba?
Baca juga : Relawan Literasi Digital: Cerdaskan Milenial Bermedia Sosial
Yang paling penting untuk dilakukan oleh pengguna medsos adalah menghindari pemelintiran. Riset terakhir menunjukkan, bahwa banyaknya dis-informasi, hoax, ujaran kebencian, yang menimbulkan adu domba, karena banyak pemelintiran yang digunakan oleh para pengguna medsos. Pemelintiran di sini bermakna luas, ia bisa bermakna mendramatisir sebuah peristiwa atau kasus, yang sejatinya biasa-biasa saja; atau menginterpretasikan sebuah informasi, yang tujuannya bukan itu atau sesuai dengan kepentingannya; mengedit video kemudian membubuhi bahasa-bahasa provokatif yang membuat orang lain terpancing; atau membelokkan suatu maksud informasi kepada tujuan palsu. Semua bentuk dan pola ini adalah pemelintiran.
Banyak kejadian di media sosial berawal dari pemelintiran. Tentu bukan di sini tempatnya untuk membeberkan semuanya. Nyatanya memang dirasakan dalam kehidupan sehari, bahwa pemelintiran bisa menimbulkan hubungan tidak harmonis antar dan antara masyarkat, agama, dan suku. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa pemelintiran bisa menimbulkan kegaduhan?
Jawabannya, karena pemelintiran bisa mempermainkan emosi sang pengguna media sosial. Ketika ada dramatisasi dan provokasi terhadap sebuah peristiwa, maka emosi para pengguna medsos mau tidak mau akan ikut hanyut dan terbawa, yang pada akhirnya akan me-share, like, berkomentar.
Mempermainkan emosi dengan pemelintiran tentu sangat mudah. Hal ini disebabkan, konten dan informasi di medsos tidak bisa diverifikasi langsung oleh penerima kerena banyaknya informasi yang beredar. Semakin banyak pemelintiran yang beredar, maka semakin besar kemungkinan emosi para pengguna medsos terbawa, yang berujung banyaknya kegaduhan di ruang publik dalam bentuk ujaran kebencian, rasisme, dan semacamnya. Maka kunci agar terhindar dari ketidakwarasan ruang publik di media sosial adalah menghindari sedini mungkin pemelintiran. Pemelintiran adalah biang kerok timbulnya kegaduhan di ruang publik.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
View Comments