Narasi

Muda-mudi Melawan Penjajahan Ideologi

Operasi Gagak (Kraii Operatie) dilancarkan Belanda pada 19 Desember 1948. Peristiwa ini dilakukan 3 tahun 4 bulan sejak Indonesia menyatakan diri sebagai negara yang merdeka. Agresi Belanda ini bertujuan menjadikan Indonesia kembali menjadi jajahan mereka. Tentu saja, rakyat Indonesia begitu marah dengan tindakan penjajah Belanda. Sehingga kembali harus mengangkat senjata.

Saat Agresi Militer II tersebut, Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad Hatta dibuang ke Bangka. Meskipun pemimpin bangsa ini diasingkan, tidak menyurutkan nyali masyarakat untuk melakukan perlawanan. TNI terus melakukan perang gerilya. Panglima Soedirman dan Letkol Soeharto (Komandan Brigade 10 Wehkreise III) berhasil melancarkan Serangan Umum 1 Maret 1949 selama 6 jam. Pertempuran ini dilakukan bersama dengan Laskar Hizbullah, Tentara Pelajar, dan Tentara Genie Pelajar. Melihat kegigihan bangsa Indonesia, Dewan Keamanan PBB -pada 29 Januari 1949- mengeluarkan resolusi. Lima resolusi tersebut adalah Belanda menghentikan Agresi Militernya; RI dan Belanda bersedia berunding dalam Konferensi Meja Bundar; mengembalikan pemimpin RI dari pembuangannya; menyiapkan UUD Indonesia Serikat; Komisi Tiga Negara dan Komisi Jasa Baik digantikan United Nations Commission for Indonesia (UNCI) untuk memperlancar perundingan (Suryanegara, 2017: 265-266).

Yogyakarta, yang saat itu merupakan Ibu Kota negara, berada dalam ancaman. Oleh sebab itu, Soekarno dan Hatta memerintahkan Mr.Sjafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI, untuk membentuk Pemerintah Republik Indonesia Darurat di Sumatera. Peristiwa inilah yang menjadi latar belakang ditetapkannya tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara.

Dulu, bangsa Indonesia pernah dijajah secara fisik oleh bangsa-bangsa lain.  Misalnya diduduki oleh penjajah Belanda, Inggris, dan Jepang. Bahkan setelah bangsa Indonesia menyatakan sebagai bangsa yang bebas dan merdeka pada 17 Agustus 1945, masih ada negara lain yang terus merongrong dan ingin kembali menduduki Indonesia. Tetapi atas perjuangan yang tidak kenal henti, Indonesia kini benar-benar menjadi bangsa yang berdaulatan. Berdiri di atas kakinya sendiri. Di era kontemporer ini, bangsa kita memang tidak lagi mengalami penjajahan secara fisik. Tetapi tidak ada yang bisa menjamin, di masa yang akan datang tidak akan ada lagi penjajah yang hadir di Indonesia. Maka, bangsa ini harus terus waspada terhadap ancaman penjajahan.

Baca juga : Bela Negara Ala Kaum Milenial

Selain ancaman penjajahan fisik yang bersifat langsung dan terang-terangan,. kita pun perlu memperhatikan model penjajahan baru yang bersifat nonfisik, tidak langsung, dan laten. Model penjajahan ini kerap tidak disadari. Padahal efek yang ditimbulkan tidak kalah mematikan dibanding penjajahan fisik. Jika penjajahan fisik menghasilkan kerugian berupa kerusakan bangunan-bangunan di suatu negara, maka penjajahan nonfisik merusak mental-mental manusianya. Penjajahan fisik dilakukan melalui peperangan dan membunuh fisik musuh-musuhnya. Sementara penjajahan nonfisik ditujukan untuk membunuh karakter masyarakatnya. Perbaikan infrastruktur yang rusak dapat dilakukan dengan segera, tetapi perbaikan mental dan karakter yang hancur, membutuhkan proses lebih panjang. Maka, upaya melawan penjajahan nonfisik tidak boleh melemah.

Ada beragam jenis penjajahan nonfisik yang kini kita hadapi. Baik yang berasal dari luar, maupun dalam. Salah satu jenis penjajahan yang semakin gencar dilakukan adalah penjajahan ideologi. Beragam ideologi, yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa ini, terus-menerus menjajah pikiran masyarakat. Sebut saja radikalisme dan extrimisme. Jika ideologi tersebut ditelan mentah-mentah dan diaplikasikan dalam berbagai aktivitas keseharian, dapat mengganggu kualitas keberagaman masyarakat. Ada juga fundamentalisme yang kerap sangat kaku dalam merespons situasi kontemporer.

Untuk melawan penjajahan ideologi ini, maka kita perlu melihat kembali ideologi yang dimiliki bangsa ini: Pancasila. Sebab Pancasila berasal dari karakter asli penduduk nusantara sehingga sangat sesuai diterapkan dalam berbagai lini kehidupan. Ideologi inilah yang perlu dipegang erat oleh bangsa ini. Khususnya generasi muda. Generasi muda adalah kelompok intelektual handal untuk mempertahankan ideologi negara. Dan menjaga Pancasila merupakan bentuk lain dari aktivitas membela negara. Siapapun yang merongrong Pancasila, harus dilawan. Semangat bela negara seperti ini perlu diperkuat dalam diri generasi milenia. Kepada anak muda, kita menyerahkan masa depan bangsa ini. Jika generasi muda saja enggan dalam membela negara, siapa lagi yang akan mengambil tanggung jawab ini?

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

4 menit ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

7 menit ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

8 menit ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago